98 - Menjalin Hubungan Baik
Sayangnya kebersamaan Melisa bersama keluarganya harus berakhir sore hari ini. Candra harus kembali bertugas mengantarkan penumpang di udara. Ini akan menjadi liburan terakhirnya sebelum lahiran dan mengurus bayi lagi. Melisa tidak sabar hal baik apa lagi yang akan Allah kasih kepadanya.
Melisa dan Candra sudah siap, tetapi Xania masih berat melepaskan anak kucing peliharaan Tiara. Anak itu kukuh ingin membawa salah satu anak kucingnya. Tentu saja hal itu tidak mungkin dilakukan. Melisa tidak punya pengalaman mengurus kucing. Apalagi, sebentar lagi dia melahirkan. Waktunya sangat terbatas. Belum lagi kalau Sarina tahu. Wah, bisa terjadi perang dunia.
"Kucingnya biar di sini dulu ya, Kak." Melisa membujuk Xania untuk kesekian kalinya.
"Emoh, pus!" Xania merengek. Matanya mulai berkaca-kaca. Senjata anak kecil adalah menangis dan Xania sedang mempersiapkan itu.
"Kalau mau bawa satu, bawa aja, Dek. Entar biar Ryan cari kandang yang bisa masuk ke bagasi pesawat," kata Ahsan.
"Nggak usah, Mas. Biarin aja. Nanti kalau udah naik pesawat bakal lupa," tolak Melisa. Ya, kalau dipikir-pikir memang mudah. Namun, Melisa tidak mau hal itu menjadi kebiasaan meskipun sekarang Xania belum mengerti. Karena belum mengerti, maka Melisa akan bicara pelan-pelan.
"Kakak kalau bawa anak kucing ini, kasihan ibu kucingnya. Nanti dia sedih karena pisah sama anaknya. Anak kucing ini nggak mau pisah sama ibunya."
"Pus, Mama." Mata Xania sudah berair. Pipinya pun basah. Tangannya hendak menggapai anak kucing di tangan Tiara.
"Coba Kakak dengerin, tuh. Anak kucingnya meong-meong karena nggak mau pisah sama ibu dan adik-adiknya."
Melisa tidak mengada-ada. Anak kucing itu memang sedang bersuara kencang. Seolah-olah menandakan tidak ingin berpisah dengan ibunya.
"Kakak kalau ditinggal mama juga nangis, kan? Sama, anak kucing ini juga nangis kalau pisah sama mamanya. Jadi, biarin, ya, kucingnya di sini. Nanti di rumah, Kakak punya kucing baru. Nggak apa-apa, ya?"
Xania yang belum mengerti itu hanya bisa menangis saat digendong mamanya menuju mobil. Sebelum pergi, Melisa dan Candra pamit kepada kedua orang tua dan kakak-kakak Melisa.
"Sehat-sehat di sana, ya. Nanti kalau udah waktunya, Mama pasti ke sana," kata Ratna. Melisa mengiyakan.
Akhirnya, mereka harus terpisah jarak lagi dengan keluarga. Kembali sibuk dengan urusan masing-masing. Melisa tidak akan melupakan pengalaman ini seumur hidupnya.
Mereka tiba di Jakarta pada pukul tujuh malam. Sarina yang sedang menonton televisi bersama Mbak Lala itu seketika berdiri dan berjalan menghampiri Xania. Anak itu memang tidak tidur selama perjalanan ke rumah.
"Kalian ini kenapa lama perginya to? Apalagi Melisa. Kamu lagi hamil malah ikut Candra terbang!" protes Sarina.
Melisa memutar bola matanya. "Cuma dua hari, Bu. Lagian, aku diajak, bukan minta ngikut."
"Lha, sama aja. Kamu, kan, bisa nolak. Mbok mikir kamu lagi hamil besar. Nggak usah ngoyo jalan-jalan."
"Mbah!" seru Xania, menarik tangan Sarina.
Melisa terkekeh. "Tuh, cucunya nggak terima mamanya digituin."
Sarina mendengkus. Namun, ketika di hadapan Xania, wanita itu memasang raut muka paling ramah, kemudian melambaikan tangan. "Ayo, sini!"
Xania menurut. Anak itu lantas dituntun menuju ruang tengah. Televisi pun diganti menjadi saluran anak-anak. Sarina duduk, kemudian meminta Mbak Lala mengangkat Xania naik ke sofa.
"Awat, Mbah!" Xania menunjuk layar yang menampilkan animasi pesawat.
"Iya, itu pesawat. Ayahmu yang nyupir."
"Ayah!"
Xania celingak-celinguk di balik lengan Sarina. Sadar sedang dicari, Candra melambaikan tangannya seraya tersenyum.
"Adu, awat, Mbah!"
"Kamu tadi habis naik pesawat, to? Sini tiduran biar capeknya hilang."
Lagi-lagi, Xania menurut saat Sarina menepuk pahanya, memintanya untuk meletakkan kepala di sana. Setelah itu, Sarina menyanyikan lagu 'nina bobo' sambil mengelus kepala Xania. Siapa pun yang melihat ini pasti tidak percaya. Sarina benar-benar luluh di hadapan Xania. Melisa dan Candra tidak tahu bagaimana mengekspresikan perasaannya saat ini.
Namun, itu hanya bertahan sebentar karena Xania menegakkan tubuhnya. "Mbah, cucu."
Sarina mendongak ke arah anak dan menantunya.
"Biasanya sebelum tidur emang minum susu dulu, Bu," jelas Melisa. "Biar aku buatin dulu susunya."
"Kamu ini kalau dibilangin sama orang tua susah banget! Mbok kamu duduk aja. Anteng di sini. Masih ada Candra juga yang bisa bikin!" protes Sarina.
"Iya, iya, Bu. Nggak usah pake urat gitu ngomongnya."
Melisa tidak jadi berdiri. Dia membiarkan Candra yang pergi ke dapur. Entah sadar atau tidak, Sarina berkata seperti itu. Entah Melisa harus bersyukur atau takut melihat Sarina sekarang. Yang jelas ini merupakan suatu pertanda baik.
Candra kembali membawa sippy cup bergambar kucing berisi susu Xania. Melihat botol yang dibawa bukan bentuk dot, Sarina mendelik.
"Lho, nggak pakai dot, to?"
"Nggak, Bu. Xania udah bisa minum pake itu," jawab Candra.
"Lho, kenapa nggak pake dot? Nanti kalau keselek piye?"
"Nggak akan keselek, Bu. Xania bisa, dia udah belajar minum pakai itu semenjak disapih. Lagian, kalau pakai dot, nanti nyapih lagi. Kerja dua kali, dong." Kali ini Melisa yang menjawab.
Xania yang tidak sabar itu berdiri di atas sofa, hendak meraih botol di tangan ayahnya. Takut jatuh, Sarina lantas mendekap tubuh anak itu, lalu meraih botol dari tangan Candra.
"Bilang apa sama Mbah?" tanya Melisa setelah Xania menerima botol dari Sarina. "Makasih. Coba bilang, maka ...."
"Ciii," sambung Xania. Matanya menatap wajah Sarina.
Melisa tersenyum, lalu mengelus kepala Xania. "Pinternya anak mama."
Dengan tangannya sendiri, Xania memasukkan ujung sedotan ke mulutnya. Posisinya pun setengah bersandar di paha Sarina.
"Pelan-pelan, ya, minumnya," ucap Sarina.
Xania menyedot susunya kuat-kuat sampai tersisa setengah. Setelah itu, dia meletakkan botolnya di sofa, kemudian tiduran lagi di paha Sarina. Lama-lama mata anak itu tertutup rapat. Xania tertidur pulas.
"Aku bawa ke kamar dulu, ya, Bu."
Candra mengangkat badan Xania pelan-pelan. Anak itu sempat bangun dan merengek, tetapi Candra berhasil memenangkannya. Ketika Candra masuk ke kamar, Melisa pindah duduk di sebelah Sarina.
Sarina melirik sekilas sebelum akhirnya kembali menatap layar televisi. "Kamu ngapain duduk di sini?"
Melisa menoleh. "Mau nemenin Ibu. Emang Ibu nggak mau ditemenin?"
Sarina tidak menjawab.
"Gimana Ibu sekarang? Udah nggak sakit lagi, kan?" Melisa mencoba mengajak Sarina bicara.
"Kamu mau tahu aja," jawab Sarina dengan nada datar.
Karena merasa Sarina tidak mau diganggu, Melisa memilih menutup mulutnya. Maunya langsung pergi, tapi pasti nanti mertuanya ini mikir yang macam-macam lagi, apalagi barusan Melisa bilangnya mau menemani. Jadinya, Melisa mencoba bertahan, matanya fokus ke tayangan di depan.
"Ibu, aku boleh deket sama Ibu?" Tiba-tiba saja Melisa bertanya seperti itu. "Kan, aku udah mau lima tahun jadi istri Mas Candra, tapi aku belum pernah deket sama Ibu. Kalau misalnya mulai sekarang kita nyoba akrab gitu, Ibu mau nggak?"
"Lho, dari dulu kamu yang nggak mau akrab sama ibu," balas Sarina. Ya, seperti biasa melemparkan kesalahan ke Melisa.
Melisa menghela napas, mencoba tersenyum setelah mendengar ucapan Sarina. "Ya, makanya itu sekarang aku mau coba akrab sama Ibu. Ibu ngomong aja, deh, Mel harus ngapain biar kita bisa deket?"
"Ya, kamu harus bisa masak, mau di rumah nggak usah kerja, terus kamu nggak usah marah kalau ibu mau momong Xania."
"Kalau masak, ya, Mel akan usaha. Kalau di rumah aja, ya, bisa diusahakan juga, sekarang aja Mel lebih sering di rumah daripada di luar. Kalau Ibu mau momong Xania, silakan aja, Mel nggak akan larang, tapi Mel cuma punya satu permintaan, Ibu harus menghormati cara didik aku. Soalnya aku pernah denger, didiklah anak sesuai pada zamannya. Zaman Ibu, zaman Mas Candra, zaman Mel, sama zaman Xania dan adik-adiknya nanti itu udah beda. Kalau Ibu mau mengusulkan sesuatu, Mel akan terima dengan senang hati, tapi kalau udah sampai mengatur apalagi sampai menjelekkan, aku akan menolak. Bisa, kan, Bu?"
Tidak ada jawaban dari Sarina. Di sini, Melisa bukannya mau dilihat sok pintar. Dia hanya mengutarakan keinginannya. Mengingat akan lama tinggal seatap dengan Sarina, Melisa rasa harus terbuka dari sekarang supaya tidak terjadi perdebatan di masa yang datang. Sifat Sarina yang seperti itu memang akan sulit untuk beradaptasi, tetapi Melisa yakin kelak wanita itu akan mengerti.
Sifat serta perilaku Sarina tidak akan bisa diubah, yang Melisa bisa lakukan hanya berdamai dan menerima.
Bentar lagi kita berpisah, tapi cuma sementara kok. 🥺
Sekali lagi, yang butuh S3 mana suaranya?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro