97 - Pergi ke Kandang
Pagi-pagi sekali, rombongan keluarga itu kembali ke rumah karena Tiara harus ke sekolah. Padahal bagi Melisa, dirinya baru tidur sebentar. Di perjalanan pun, perempuan itu sesekali menguap, tetapi tidak bisa tidur lantaran tidak nyaman.
Di depan gerbang mereka sudah ditunggu oleh Ahsan dan Fyan. Tiara turun lebih dulu dan langsung menghampiri papanya. Ryan, Hartanto, dan Ratna juga keluar dari mobil. Ryan melempar kunci ke arah Fyan, menyuruh saudaranya yang memasukkan mobil.
"Pantesan aku pulang nggak ada orang, ternyata lagi jalan-jalan," celetuk Fyan.
Melisa turun dari mobil, menghampiri Fyan. "Bang, udah selesai?"
"Belum, sih. Ini aku mau istirahat bentar. Di sana nggak bisa tidur."
Begitu Xania yang keluar bersama Candra, Melisa tampak tidak menarik lagi di mata Fyan. Lelaki itu lantas mendekati Xania. Anak perempuan yang kini rambutnya dikuncir dua itu lagi-lagi kebingungan melihat wajah Fyan.
"Ini Payan, Kakak. Masih inget nggak?"
Xania tidak menjawab, bahkan menghindar saat disentuh Fyan.
Ahsan pun ikut mendekati Xania setelah menyuruh Tiara mandi. "Xania, kenal nggak sama aku?"
"Akak."
"Oh, Kakak. Aku Pakde Ahsan. Coba bilang Pakde Ahsan."
Agak lama Xania mencerna ucapan Ahsan. Sesekali anak itu menatap wajah ayahnya, lalu beralih ke arah Ahsan lagi. "Decan."
Mendengar itu, Ahsan lantas mencubit pipi Xania. "Ah, gemes banget dipanggil Decan."
Hartanto lantas menyuruh anak-anaknya masuk. Ketika anak kucing dan induknya muncul, Xania berontak minta diturunkan. Anak itu bergegas menghampiri anak kucing usai diturunkan dari gendongan ayahnya.
"Pus, pus!" Xania ingin membopong anak kucing, tetapi tidak bisa. Anak itu tidak menyerah. Dia mencoba menarik buntut anak kucing itu dan induk kucingnya yang melihat mulai meraung. Melihat itu, kedua orang tua Xania panik. Ngeri kalau tiba-tiba induk kucing ini menggigit tangan Xania.
"Nggak boleh ditarik, Sayang," tegur Candra. "Nanti ibu kucingnya marah sama Kakak."
"Aaargg!"
Candra terkekeh. "Iya, kalau marah begitu."
Xania yang semula berjongkok, kini berdiri. Kepalanya bergerak ke kanan-kiri, seperti sedang mencari sesuatu. "Oyan, Oyan!"
"Apa, Kakak?" Bukan Ryan yang menghampiri, melainkan Fyan. Lelaki itu sampai melepas kacamatanya supaya Xania mengenalnya sebagai Ryan.
"Pus, Oyan!"
Fyan tersenyum lebar karena berhasil mengelabui Xania. Namun, setelah itu, dia justru mendapat tatapan tajam dari mama anak perempuan kecil ini.
"Abang! Jangan bohong sama anak kecil!"
"Iya, iya. Ampun." Fyan kemudian mengenakan kecamatanya lagi dan menyentuh kedua lengan Xania. "Ini Payan, bukan Oyan. Payan juga bisa main sama kucing."
Ketika ada seorang anak kucing mendekat, Fyan mengambilnya, dan menunjukkannya ke Xania. "Nih, pus-nya kecil, ya. Sama kayak Kakak."
Mata bulat Xania mengamati Fyan. Tak lama, anak itu mau main kucing bersama Fyan.
Hartanto muncul dari arah kamarnya. Pakaian pria berusia 58 tahun itu sudah berganti. Yang tadinya pakai kemeja, sekarang pakai kaus oblong. Biasanya kalau berpakaian seperti itu, Hartanto akan berangkat ke kandang.
Hartanto berlutut, mendekati Xania yang asyik mengelus badan anak kucing. "Kakak, mau lihat embek nggak?"
"Embek!"
Xania berdiri, melepas anak kucing yang sejak tadi dikurung. Hartanto pun merentangkan tangannya, bersiap untuk menangkap tubuh cucunya.
"Kakek kasih lihat kandang embek dan mo, ya!"
Hartanto menggendong Xania dan ajaibnya anak itu tidak berontak. Mungkin karena dia senang karena sebentar lagi akan bertemu dengan kambing dan sapi.
"Ayah, tut!" Xania menggerakkan tangannya. Seolah-olah sedang mengajak Candra.
"Iya, Ayah ikut, kok," kata Hartanto. Ya, memang rencananya Candra akan ikut ke kandang. Katanya mau lihat proses mengelola peternakan.
"Kamu nggak mau ikut, Sayang?" tanya Candra pada Melisa yang kini sedang duduk di sofa.
"Nggak, Mas. Aku kayaknya mau tidur aja, masih ngantuk."
Saat yang bersamaan, Melisa menutup mulutnya yang menguap. Melihat itu, Candra justru tersenyum. Tangannya terulur mengacak rambut sang istri.
"Ya udah, kamu istirahat, ya. Aku pergi dulu."
Candra menyusul Hartanto yang sudah melangkah lebih dulu. Tampaknya Xania masih betah di gendongan sang kakek meskipun ada ayahnya. Kebetulan mereka berjalan kaki karena kata Hartanto letak kandangnya tidak terlalu jauh dari rumah.
Sekitar lima belas menit kemudian, mereka tiba di sebuah rumah kandang milik Hartanto. Kepada pegawai dan tetangga saat melintas tadi, Hartanto dengan bangga memperkenalkan Xania. Anak itu juga tidak rewel saat pipi atau tangannya disentuh. Candra sangat bahagia melihatnya. Dia langsung teringat cerita Melisa kalau kedua orang tuanya tidak mendapatkan kesempatan ini saat Tiara masih kecil. Seandainya saja dia mempertahankan keputusan itu, mungkin saja sekarang dia tidak melihat raut wajah bahagia Hartanto.
Apalagi, sejak tadi Candra tidak mendengar Hartanto menyuruh teman dan tetangganya untuk segera menikahkan anaknya atau cepat-cepat hamil supaya dapat cucu menggemaskan. Suatu hal yang selalu dia takutkan. Memang benar kata orang, kalau sudah tahu rasanya pasti tidak akan mengajak orang lain merasakan hal yang sama.
"Nah, ini kandang kambing."
Candra mengedarkan pandangannya ke sekeliling kandang. Di area sebelum pintu masuk, disediakan sepatu boots serta alat pelindung diri lainnya, juga alat-alat untuk mengambil pakan. Rumah kandang ini didominasi dengan kayu dan bambu, atapnya menggunakan asbes.
Sebelum masuk, Hartanto menyuruh Candra mengganti sandalnya dengan sepatu boots. Begitu masuk, semua kambing mengeluarkan suara. Candra cukup takjub melihat kambing-kambing ini sangat bersih, bulunya berwarna putih. Lantai kandang, wadah pakan dan minumnya juga tampak rapi. Jumlahnya ada banyak.
"Embek, akek!" seru Xania, menepuk lengan Hartanto.
"Iya, embek." Hartanto lantas mengambil rumput dari sebuah karung. "Kakak mau kasih makan?"
Xania menerima rumput itu, lalu menyodorkannya ke kambing di sisi kirinya. Segerombolan kambing pun mulai berebutan ingin makan. Xania melepaskan rumput dan bergidik.
"Aget," kata Xania seraya menepuk dadanya. Hartanto tertawa kecil.
"Ini ada berapa jumlahnya, Pa?" tanya Candra.
"Delapan puluh ekor. Lebih banyak yang jantan daripada betina."
"Dimandikannya harus setiap hari, Pa?"
"Nggak harus, kok. Cuma dua hari sekali, seminggu sekali atau setiap 15 hari sekali untuk induk. Nah, kalau induk yang lagi bunting nggak boleh dimandikan sampai melahirkan. Takutnya nanti mengganggu pertumbuhan janin terus keguguran."
Hartanto melangkah, memeriksa kambing-kambing lain. Candra mengikutinya. Di ujung kandang, ada seorang laki-laki yang sedang membersihkan bawah kandang, tepatnya di bagian tempat kotoran kambing.
"Nah, yang wajib dibersihkan setiap hari itu kandangnya biar kambingnya nggak kena penyakit. Wadah pakan sama minumnya disikati, kotoran sama sisa sampah makanan di bawah harus rajin diambil."
Candra mengangguk paham.
"Kek, adu!" Xania bersuara dan menepuk lengan kakeknya lagi.
"Pindah, yuk. Sekarang kita lihat sapi."
"Mo!"
"Iya, sapi bunyinya mooo."
Tembus dari kandang kambing tadi, mereka melangkah menuju sebuah kandang berukuran lebih besar. Semakin dekat, tampak satu ekor sapi sedang dimandikan.
"Mo!" Xania menunjuk ke depan. Namun, ketika mendengar suara sapi yang asli, anak itu spontan menyembunyikan wajahnya di dada kakeknya. Hartanto lantas menenangkan Xania.
"Kalau sapi memang jumlahnya lebih sedikit daripada kambing karena papa fokusnya hanya ke sapi potong. Kamu harus tahu sapi yang siap untuk dipotong itu seperti apa. Harus bersih dari luka, gemuk, sehat, hidung dan mulutnya nggak berlendir, tubuhnya tegap, bagian anusnya bersih, nafsu makan dan minum. Nah, khusus sapi kurban harus sapi jantan, jadi buah zakarnya harus ada dua. Usianya juga diperhatikan. Sapi siap potong itu usianya dua tahun."
"Terus, Pa, rumah itu kandang juga?" Candra menunjuk sebuah rumah kecil di dekat kandang sapi.
"Bukan. Itu rumah khusus untuk daging. Jadi, papa juga terima pemotongan sapi dan kambing. Nanti habis disembelih, dagingnya dipotong-potong di sana."
"Jadi harus punya lahan luas, ya, Pa?"
"Iya. Kamu tentukan saja mau buka peternakan seperti apa."
"Akek, pis!" seru Xania. Matanya memperhatikan seekor sapi yang sedang mengeluarkan urine.
"Oh, iya, sapinya lagi pipis. Kakak mau pegang kepalanya? Mau coba?"
Xania menggeleng. "Idak. Mo. Hii."
Ayah Can sepertinya sudah sangat siap menjadi bakul wedus dan sapi kayak Kakek Har 😂
Kesenangan Xania ngeliat embek sama mo setiap hari 😂 nggak papa, sayang anak sayang anak 😂
Yang mau baca semua spesial part dan bab 99 & 100 duluan bisa ke Karyakarsa ❤️
Oh ya, aku mau tanya dong, aktor Korea yang cocok jadi Mas Ahsan kira-kira siapa ya? Yuk kasih tau aku.
Hmmm tapi kira-kira ada yang mau baca kisahnya Mas Ahsan nggak nih?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro