Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

94 - Pertama Kali Ditinggal

Punya toddler yang aktif membuat kedua orang tuanya tidak perlu melakukan olahraga berat. Cukup dengan mengejar anak saja, sudah bisa memeras keringat. Seperti yang dialami Melisa dan Candra saat ini. Baik dalam keadaan terjaga maupun tertidur, Xania tetap aktif bergerak. Alhasil, kasur yang harus muat tiga orang jadi hanya dikuasai Xania. Tadinya, Xania tidur di ranjang sendiri yang memang tersedia di rumah ini. Akan tetapi, tengah malam dia menangis. Candra memindahkannya ke kasur ini dan berakhir seperti sekarang. 

"Yaaa, bapaknya dikasih ompol ke muka." Melisa terkikik melihat Xania menungging persis di depan wajah Candra, dengan celana setengah basah tentunya. Entah kenapa semalam Xania tidak mau dipakaikan popok. Sudah segala cara dilakukan, tetapi anak itu terus menolak. Karena tidak mau memaksa, Melisa akhirnya membiarkan Xania tidur tanpa popok, hanya dialasi perlak. Namun, ternyata tidurnya Xania mirip gangsing yang diputar. Posisinya tidak karuan saat bangun tidur tadi. 

Xania memutar tubuhnya, menghadap ke arah Candra. Mulutnya tidak berhenti memanggil ayahnya. 

"Ayah, aih!" seru Xania seraya menarik kaus ayahnya.

"Ayo, sama mama." Melisa mencoba mengangkat tubuh anaknya, tetapi Xania menolak. Anak itu menggeleng dan menepis tangan mamanya.

Candra menegakkan tubuhnya setelah kesadarannya penuh. Begitu ayahnya duduk, Xania merentangkan kedua tangannya.

"Siapa yang kemarin nggak mau pakai pampers? Basah, kan, sekarang?" Candra mengecup pipi Xania. Tidak peduli anaknya masih bau pesing. Setelah Melisa, aroma tubuh Xania menjadi sesuatu yang paling dia sukai. 

"Ayah, aih!"

"Habis mandi pakai pampers, ya? Xania nggak boleh nolak lagi biar nggak basah celananya."

"Coba promise sama Ayah gimana?" sela Melisa.

Tak lama, Xania menunjukkan jari kelingkingnya. Melisa lantas meminta Candra mengaitkan jari kelingkingnya ke jari Xania. Candra tertegun sejenak. Tentu saja bangga melihat pertumbuhan Xania.

Melisa tersenyum riang. "Udah janji, ya, sama Ayah."

"Ayah, naih!"

"Yuk, kita mandi!"

Xania yang digendong ayahnya meluncur ke kamar mandi. Sementara itu, Melisa melepaskan sprei basah dari kasur yang perlu dijemur juga. Nanti biar Candra yang membawanya ke balkon. Setelah itu, Melisa keluar dari kamar, mencari kamar mandi yang kosong untuk buang air kecil. 

Selesai mandi, Candra masih harus mengerahkan tenaganya untuk meladeni Xania yang selalu lepas dari pegangannya. Baru selesai pakai lotion dan minyak telon, jalan lagi. Baru popok yang masuk, berontak lagi. 

"Nah, kalau pakai baju, kan, jadi cantik," kata Candra setelah berjuang memakaikan baju Xania yang memakan waktu hampir tiga puluh menit. Tangan kiri mendekap erat tubuh Xania, sedangkan tangan kanan menggerakkan sisir di atas kepala anaknya. Tentu saja tidak rapi karena Xania selalu berontak.

"Ayah ajarin pakai sandal jepit, ya." 

Candra berlutut di dekat Xania. Tangannya memegang salah satu kaki Xania dan sandal jepit motif stroberi. "Kakinya masuk ke sini, terus jempol sama empat jari lainnya dijepit di sini. Habis itu, pasang karet di belakang. Ayo, sekarang Kakak yang coba pakai sendiri di kaki kiri."

Xania mencoba. Kakinya perlahan masuk ke lubang sandal. Namun, semua jarinya masuk ke lubang yang besar.

"Ayah betulin, ya." Candra memperbaiki posisinya, kemudian mengaitkan karet di belakang tumit Xania supaya tidak lepas saat jalan. "Sekarang digendong, ya."

"Emoh!" Xania menggeleng. Kakinya mulai bergerak dan terdengar bunyi 'cit-cit'. Spontan anak itu tertawa dan bertepuk tangan. 

Candra kemudian menggenggam tangan Xania. "Ya udah, Ayah pegangin, ya. Jalannya hati-hati biar nggak jatuh."

"Atit." 

"Iya, kalau jatuh sakit." 

Melihat kedatangan Xania, Ryan dengan sigap berdiri di bawah tangga. Namun, karena tidak sabar, Ryan akhirnya naik. 

"Ikut Oyan, yuk!" Ryan merentangkan tangannya, bersiap untuk mengangkat tubuh Xania. 

"Idak." Xania mundur sambil menggeleng.

"Di situ ada kucing. Xania mau liat kucing lagi nggak?" 

"Pus!" 

"Iya, ada pus. Yuk, liat sama Oyan."

"Idak." Xania menepis tangan Ryan yang hendak menggapai tubuhnya.

"Dia nggak mau digendong. Maunya jalan," kata Candra sebelum Ryan kembali ingin menggendong Xania.

"Oh. Kalau gitu, yuk, jalan sama Oyan. Pegangan tangan sama Oyan."

Xania menatap ayahnya dulu, baru mau menerima uluran tangan Ryan. Hal itu menjadi kesempatan Candra untuk kabur mandi. Xania sempat merengek, tetapi Ryan berhasil mengalihkan perhatiannya.

"Itu anak kucingnya lagi belajar jalan. Sama kayak Xania."

Seketika Xania diam. Mata bulatnya memperhatikan seekor anak kucing warna abu-abu sedang berjalan tertatih-tatih. Kucing yang baru saja melahirkan lima ekor anak itu milik Tiara. Katanya, sih, kiriman dari neneknya di Jakarta. Sejak pertama kali melihat kucing tersebut, Xania yang suka tentu saja tidak mau beranjak. Kemarin saja makan harus di depan kandang kucing, mandi pun harus dibujuk rayu dulu baru mau. 

Melisa baru saja menumpang mandi di kamar orang tuanya itu menyusul Xania. 

"Mama, pus!" pekik Xania. 

Melisa tersenyum. "Gimana suara pus?" 

"Aargh!" 

Mata Melisa dan Ryan terbelalak. Tak bisa menahan tawa melihat tingkah Xania. 

"Itu suara harimau, Kak. Kalau kucing meong. Gimana suaranya?" 

"Meong, Ma."

Anak kucing yang belajar jalan itu menyahut. Suaranya terdengar nyaring. Xania tertawa renyah. Tangannya hendak menarik telinga kucing. Melisa pun mencegahnya. 

"Bukan kayak gitu. Disayang gini." Melisa mengelus badan kucing. Tak lama Xania menirunya.

Karena sebentar lagi Xania akan ditinggal pergi, seperti rencananya kemarin, Melisa mulai bicara dengan Xania. "Xania main sama kucing di sini mau, ya? Ayah sama Mama mau pergi sebentar."

"Mama, nini."

"Nanti Xania main sama Oyan juga!" Ryan ikut merayu keponakannya. 

Xania menoleh ke arah Ryan. "Oyan."

"Iya, main sama Oyan. Ayah sama Mama boleh pergi, ya?" 

"Emoh, Mama!" Xania yang sudah paham akan ditinggal pergi spontan memutar badan, lalu mencengkeram dress Melisa.

"Mama sama Ayah cuma sebentar, kok. Besok pulang." 

Xania menggeleng. Matanya mulai berkaca-kaca. 

Melisa kembali memutar otak. Sebenarnya tidak apa-apa juga mengajak Xania. Toh, ini jadi kesempatan yang bagus untuk puas bermain dengan Xania sebelum kerepotan mengurus bayi lagi. Lagi pula, rumah ini bukan pos penitipan anak. Harusnya Ratna bisa istirahat malah harus mengurus Tiara, apalagi ditambah Xania. Bodoh sekali kemarin Melisa kepikiran ingin pergi berdua saja dengan Candra. Tujuannya ke sini bukan mau merepotkan orang tua. 

Untung Melisa belum jadi booking hotel dan sekarang hari Minggu, dia pun akhirnya mendapatkan ide bagus. 

"Bang Fyan bawa mobil nggak, Bang?" tanya Melisa pada Ryan. 

"Nggak. Kenapa?" 

"Abang, Mama, Papa, sama Tiara ikut aja. Anggap aja jalan-jalan keluarga. Kita ke Umbul Sidomukti."

"Wah, boleh, tuh!" 

"Tapi, kalian berangkatnya belakangan, ya. Aku sama Mas Candra mau pergi berdua sebentar. Jadi, aku mau titip Xania dulu. Soalnya kasian kalau ikut."

"Emang mau ke mana, sih?" 

"Ke SMA tempat aku sekolah."

"Lah, ngapain?" 

"Ada, deh, nggak usah kepo. Pokoknya Abang jagain Xania yang bener."

"Siap! Kalau disuruh jaga Xania mana mungkin bisa nolak. Heran banget anak segemes ini keluar dari perut cabe rawit."

Melisa melotot. Ryan tetaplah Ryan. Tidak akan berubah meskipun sudah diberi keponakan yang cantik dan pintar.

"Mama, nini!" Xania mulai merengek. Melisa lantas memegang tangan mungilnya.

"Xania nggak jadi ditinggal, kok. Nanti siang, Xania jalan-jalan sama Nenek, Kakek, Kakak Tiara, Oyan. Xania mau?"

"Mama!"

"Iya, ada Mama sama Ayah juga. Jadi, Xania nggak perlu sedih. Maafin Mama, ya." 

Halo, yang mau baca part 97 & 98 bisa ke Karyakarsa ❤️

***

Secara nggak langsung Xania belajar tiga bahasa wkwkwk. Nggak bikin speech delay kok, asalkan tepat aja ngajarinnya, sama tunggu dia lancar ngomong dulu. Jangan dipaksa juga. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro