91 - Babymoon Lagi
Melisa merasakan hangat di kening juga pipinya. Begitu kelopak matanya terbuka sedikit, ia melihat Candra mengenakan seragam tetapi belum memakai atributnya. Saking nyenyaknya, Melisa sampai tidak sadar suaminya bangun. Ya, mau bagaimana lagi, Melisa baru bisa tidur pukul dua pagi setelah sebelumnya bolak-balik buang air kecil dan dua bayinya aktif bergerak.
"Pagi, Sayang. Bangun, yuk! Kamu harus siap-siap."
Perempuan yang masih mengenakan pakaian tidur motif Mickey Mouse mengerjap. "Aku siap-siap buat apa?"
"Kamu sama Xania ikut terbang. Tiketnya udah aku pesan. Kamu tinggal berangkat aja. Pakaian kamu juga udah aku masukin ke koper."
"Ke mana? Kok mendadak?"
"Nanti kamu tahu."
"Nggak bisa dijawab sekarang, Mas?"
"Kalau kamu tahu tempatnya sekarang, nanti ngajak debat. Aku nggak punya waktu. Jadwal keberangkatannya jam delapan."
"Ya udah aku nggak usah ikut aja."
"Jangan, dong. Anggap aja kita mau babymoon karena habis ini aku belum tentu dapet jadwal yang pas."
Kalau sudah begitu, Melisa tidak bertanya lagi. Dia pun mengubah posisinya, dibantu Candra. Kemudian, berjalan menuju kamar mandi. Sementara itu, Candra beranjak ke kamar Xania.
Ketika Melisa membuka lemari pakaian, memang benar beberapa potong pakaiannya lenyap lantaran pindah ke koper dan benda itu sudah tidak ada di kamar ini. Melisa pun memilih merias wajahnya walau hanya memakai pelembab, bedak, dan lipstik. Karena nanti ikut penerbangan suaminya, harus kelihatan rapi dan wangi, dong.
Merasa kostum yang dikenakan kurang, Melisa lantas beranjak membuka pintu yang menghubungkan kamar Xania. Di sana tampak Candra sedang mengganti baju Xania.
"Mas, ini penerbangan domestik atau luar?"
"Domestik," jawab Candra seraya memasukkan tangan Xania ke lengan baju.
"Jadi aku nggak perlu pakai mantel atau jaket gitu?"
"Nggak perlu, Sayang. Lagian kalau ke luar negeri juga nggak pakai itu sekarang, orang lagi musim panas."
"Iya juga." Melisa menggaruk kepalanya. "Jadi sekarang mau ke mana?"
"Nanti kamu tahu."
Melisa mengulum bibir. Kepalanya mulai menebak beberapa tempat yang akan dikunjungi. Mungkinkah ke Bali? Atau ke Lombok? Apa jangan-jangan Candra berbohong, bilangnya penerbangan domestik, tetapi sebenarnya ke luar negeri?
Daripada makin ngawur, Melisa pun akhirnya memilih turun lebih dulu. Setibanya di anak tangga paling akhir, di situlah Melisa menemukan koper-koper yang akan dibawa. Kening perempuan itu seketika berkerut. Kenapa kopernya hanya ada dua? Harusnya tiga kalau pergi bersama Xania, bahkan bisa lebih.
Hal itu lantas menggerakkan hati Melisa untuk memeriksa koper satu per satu. Di koper pertama, hanya berisi pakaian dan perlengkapan Xania, sedangkan di koper kedua yang merupakan koper pilot, diisi pakaiannya dan pakaian Candra. Melisa lagi-lagi kebingungan. Kenapa sedikit? Apa perginya cuma sebentar?
"Mbak Mel udah rapi?"
Melisa menegakkan tubuhnya, mendapati Ambar yang juga berpakaian rapi. "Mbak Ambar juga ikut?"
"Iya, Mbak. Kan, nanti saya yang pangku Xania."
Melisa mengangguk. Pasti yang tersisa hanya dua kursi dan sudah pasti lagi kursi kelas ekonomi. Tidak masalah, yang penting diajak jalan-jalan, Melisa sudah senang setengah mati.
"Mbak tahu nggak kita mau ke mana?" tanya Melisa.
"Nggak, Mbak."
Candra dan Xania muncul. Melisa ingin mengambil alih supaya Candra bisa memasang atributnya, tetapi anak itu tidak mau digendong.
"Ya udah, yuk, masuk ke mobil, ya. Pak Tejo udah datang, tuh."
Benar saja, di luar ada mobil berhenti. Posisinya menghadap ke jalan. Mereka pun beranjak keluar. Satu per satu masuk ke kendaraan itu. Xania duduk sendiri di tengah-tengah kedua orang tuanya. Untungnya mau, kalau tidak kapan Candra bisa pakai atributnya.
"Ayah!" Xania mulai berteriak saat Candra sedang pasang dasi.
"Iya, sebentar, ya. Ayah pasang dasi dulu."
"Kakak makan ini dulu." Melisa menyodorkan snack yang sudah dibuka. Dia membiarkan Xania mengambil makanan itu dan memasukkannya ke mulut sendiri. Namun, itu hanya bertahan sebentar. Anak itu beralih lagi ke arah ayahnya.
"Ayah, nini!" Xania menarik dasi yang baru saja selesai disimpul. Tidak berhenti sampai di situ, Xania juga ingin menarik id card di saku baju Candra.
"Nggak boleh, Sayang. Sini, ayah pangku."
Tentu saja Xania tidak mungkin menolak ajakan ayahnya. Tangannya masih berusaha menggapai dasi. Kali ini Candra membiarkannya. Toh, nanti bisa dibetulkan.
"Coba Kakak pakai ini." Candra iseng meletakkan topi pilot ke kepala Xania. Setelah itu, Xania berontak, berusaha mengentahkan benda itu dari kepalanya.
"Lucu!" Melisa jadi gemas. Topi Candra tampak kebesaran di kepala Xania, apalagi anak itu mengerang karena keberatan.
Candra akhirnya mengambil topinya, lalu diletakkan di atas kepalanya. "Ayah pakai, ya. Ini namanya topi."
Xania memandang ayahnya tanpa kedip. Ketika mendengar musik dari dasbor mobil, otomatis tubuh anak itu bergerak mengikuti iramanya. Spontan seisi mobil tertawa melihat tingkah Xania. Perjalanan menuju bandara serasa menyenangkan karena Xania berhasil menghibur orang-orang dewasa di dalam mobil itu.
Satu jam kemudian, mereka tiba di bandara. Sepanjang jalan menuju terminal keberangkatan, Xania digendong ayahnya.
"Nanti Kakak naik pesawat. Ayah yang jadi pilotnya. Kakak senang?"
"Awat."
"Iya, pesawat. Nanti di dalam, Xania jangan nangis, ya. Sekarang Xania sama mama dulu, ya. Ayah mau hidupin pesawatnya dulu."
Candra mencoba menurunkan Xania ke lantai, barangkali Xania mau jalan sendiri, tetapi anak itu menolak. Hasilnya juga sama ketika akan diserahkan ke mamanya.
"Sama mama dulu, ya. Nanti kita ketemu lagi di pesawat."
Setelah dibujuk dengan makanan dan mainan, barulah Xania mau lepas dari ayahnya. Itupun akhirnya menangis begitu melihat ayahnya menyeret koper dan pergi.
"Jangan nangis, Sayang. Nanti, kan, ketemu lagi sama ayah. Sekarang Xania sama mama dulu, ya." Melisa masih sibuk menenangkan Xania meskipun kepalanya melayang ke mana-mana. Kenapa bisa begitu? Karena sebelum pergi, Candra membisikkan sesuatu di telinga Melisa.
"Kamu yang ambil boarding pass, ya. Sekalian pilih tempat yang cocok buat kita datangi. Kamu yang lebih tahu daripada aku."
Melisa mengernyit bingung. Ingin bertanya, tetapi Candra sudah diburu waktu, harus cek kesehatan dan cek pesawatnya. Melisa yang mencari tempat? Lha, dia sendiri pun tidak tahu tujuannya ke mana. Satu-satunya yang bisa menjawab adalah boarding pass.
Xania akhirnya diam dan mau minum susu sambil dipangku Melisa. Setelah anak itu puas minum, Melisa mengajaknya pergi ke konter check in. Tiba di sana, Melisa menanyakan tiket yang dipesan suaminya.
"Oh, tujuan ke Semarang, ya, Bu? Captain sudah memesan kursi untuk istri dan anaknya."
Mata Melisa melebar sempurna. Jadi, sekarang dia akan pergi ke Semarang? Oh, pantas saja Candra berkata tidak mau diajak berdebat, pria itu sudah tahu kalau ke Semarang pakai pesawat, Melisa akan huru-hara. Pantas saja Ambar diajak, pantas saja Candra meminta Melisa mencari tempat yang cocok didatangi.
"Mendingan naik kereta kalau ke Semarang doang!" gerutu Melisa meskipun percuma. Toh, tujuannya ke Semarang, dia bisa datang ke rumah mama papanya.
"Mbak beneran nggak tahu kalau kita mau ke Semarang?" tanya Melisa pada Ambar. Dia sangsi kalau perempuan ini tidak tahu.
"Sebenarnya sudah tahu, Mbak. Kan semalem saya yang merapikan barang-barang Xania. Mas Candra yang minta dirahasiakan sampai kita ke bandara. Saya juga udah ngabari orang rumah, Mbak."
Melisa terdiam. Bisa jadi di Semarang sana, Ratna dan Hartanto juga sedang mempersiapkan kedatangannya.
"Saya seneng, Mbak, dikasih kesempatan pulang lagi. Makasih, ya, Mbak Mel," kata Ambar lagi.
"Bilang makasihnya sama Mas Candra, Mbak. Ini aja aku nggak tahu apa-apa."
"Sama aja, Mbak. Pokoknya kalian baik sama saya."
Melisa tersenyum. Mamanya pernah berkata jangan suka merendahkan orang lain, apalagi kepada pekerja. Ambar sudah bekerja dengan baik selama ini. Jadi tidak ada salahnya kalau perempuan itu mendapatkan penghargaan.
Setelah satu jam menunggu, pesawat menuju Semarang siap untuk berangkat. Melisa dan Ambar duduk di kursi sesuai nomor yang tertera pada boarding pass. Entah Candra sengaja memilih atau memang kebetulan, letak kursi Melisa berada di paling depan. Jadi aman kalau nanti Xania bosan duduk dan ingin jalan-jalan.
Saat sabuk pengaman terpasang, Melisa mengembuskan napas demi menetralkan degup jantungnya. Kedua kalinya dia terbang dalam keadaan hamil dan membawa bayi. Kemarin aman, belum tentu hari ini nasibnya sama, kan?
"Ayah, Mama!" Xania tiba-tiba teriak saat suara Candra terdengar di kabin. Kepalanya celingak-celinguk mencari sosok ayahnya. Pesawatnya juga mulai bergerak.
"Iya, itu ayah. Ayah juga di dalem pesawat."
"Awat."
"Iya. Pesawatnya jalan karena dikendalikan sama ayah."
"Ayah!"
Melisa memasang headphone ke telinga Xania. "Kamu pakai ini dulu, ya. Pesawatnya mau naik."
"Moh, ayah!"
"Ayah juga pakai ini, lho. Kakak mau nggak sama kayak ayah?"
"Ayah."
"Iya, Kakak pakai, ya. Mau?"
"Au!"
Sebelum Xania berontak lagi, Melisa langsung mengenakan alat itu hingga menutup kedua telinga Xania dengan sempurna, bertepatan pula dengan pesawat yang bergerak cepat. Refleks Melisa menggenggam tangan Xania. Mau naik pesawat berapa kali pun, mau Candra yang jadi pilotnya pun, tetap saja takutnya tidak pernah hilang.
Halo yang mau baca part 95 & 96 bisa ke Karyakarsa 😍
Siapa yang baca jam segini? Wkwkwk jangan heran ya kalau tiba-tiba update tengah malam soalnya sekarang wattpad ada fitur jadwal update. Jadi penulis bisa atur hari dan jam-nya, terus nanti di-update otomatis. Aku seneng banget ada fitur ini karena aku nggak bisa melek tengah malam 😂 tinggal mengatasi kemageran biar bisa nabung bab 😂
Nah yang kemarin minta spill foto, aku kasih ini
Ya maaf baru kaki, besok2 full sebadan 😂
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro