Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

88 - Obat Meriang

Baru beberapa menit bertemu, tetapi Xania sudah lengket dengan Candra. Makan harus disuapi ayahnya, mandi harus dengan ayahnya, main pun harus ditemani ayahnya. Sosok Melisa mendadak terlupakan. Saat Melisa mengambil mainannya, Xania langsung merebut lalu memberikannya ke Candra. Saat Melisa membuatkan susu, anak itu menolak, maunya ayahnya yang membuatkan. Padahal, tadinya Xania sempat menangis minta pulang karena merasa asing dengan rumah ini. Namun, Candra berhasil mengalihkan perhatian anaknya. 

Padahal, mata Candra rasanya berat setelah minum obat penurun panas. Dia baru bisa tidur 30 menit sebelum Melisa dan Xania datang. Pusing yang mendera serta badan terasa menggigil kalah dengan rindu yang dipupuk selama dua bulan ini. Ya, meskipun terpaksa pakai masker supaya tidak menularkan penyakitnya ke Xania. 

Seperti sekarang ini. Xania kini sedang berdiri di depan pintu kamar mandi yang tertutup rapat, di dalamnya ada Candra. Tadinya sudah diam-diam masuk, tapi ternyata anak itu cepat menyadari ketidakhadiran ayahnya. 

"Ayah!" teriak Xania. Tangannya tidak berhenti menggedor pintu. "Ayah!"

"Ayo, Kakak tunggu di sana." Ini untuk keempat kalinya Melisa membujuk sang anak agar mau menyingkir dari tempat itu. Kalau lama begini, berarti Candra sedang membuang sisa-sisa makanannya di kloset. 

Xania menepis tangan mamanya. Anak itu masih tidak mau pindah posisi. "Moh. Ayah!" 

Melisa menggaruk kepalanya. Baru ditinggal ke kamar mandi saja sudah begini, apalagi nanti kalau Candra harus terbang.

"Ayah!" Xania kembali memanggil ayahnya.

"Dalem, Sayang." 

"Ayah!" 

"Dalem, Sayang. Sebentar, ya. Kakak tunggu di luar, boleh?"

"Moh, Ayah!" 

"Masih lama, Mas?" Melisa akhirnya jadi ikut memanggil suaminya. Jujur kakinya pegal. Mau duduk pun jadi tidak bisa mengawasi Xania karena kursinya jauh. Mau tarik kursinya ke sini juga ribet. 

"Sebentar, Sayang. Lagi pakai celana." 

"Mas!" 

"Eeeh?" Spontan Melisa menutup mulut Xania yang barusan menirukan ucapannya. "Bukan Mas, Sayang, tapi Ayah. Coba gimana manggilnya?" 

Xania menatap wajah mamanya. "Ayah." 

"Nah, pinter. Kakak harus panggil ayah, ya."

"Ayah!"

Kenop bergerak, lalu pintu ditarik ke belakang perlahan dan Candra muncul setelahnya. Xania langsung memeluk kaki ayahnya. 

"Ayah, aih!"

Candra menatap istrinya, meminta terjemahan. Melisa yang paham langsung memegang celana Xania. Keningnya berkerut karena popok Xania belum terasa penuh. 

"Perasaan baru ganti pampers-nya, deh. Masa mau ganti lagi?"

"Ayah, aih!" Kali ini Xania menunjuk kamar mandi, menarik tangan ayahnya untuk masuk lagi ke tempat itu. 

"Xania mau pipis di kamar mandi?" tanya Candra.

"Akak, aih."

"Oke, coba, ya." 

Candra mengangkat Xania, membawanya masuk ke kamar mandi. Setelah itu, celana Xania dilepas, lalu didudukkan di kloset. "Begini, iya?" 

Xania tidak menjawab, tetapi air pipisnya keluar dan mengalir di lubang kloset. Kedua orang tuanya berteriak heboh. 

"Yah, anaknya udah bisa pipis di kamar mandi!" seru Melisa. 

"Apa jangan-jangan dari tadi dia manggil-manggil aku terus gara-gara mau pipis di sini?" Candra benar-benar tidak percaya dengan apa yang baru dia saksikan. Sudah banyak hal kecil yang terlewatkan selama berjauhan kemarin. 

"Bisa jadi. Kalau pup-nya keluar dia emang udah risi, sih. Tapi ini baru pertama kali Xania minta ke toilet."

"Xania baru mau 13 bulan. Kecepetan nggak kalau lepas pampers sekarang?" 

"Umumnya, tuh, 18 bulan. Berarti nanti aja, Yah. Sekarang pakein pampers lagi. Takutnya dia belum bisa nahan buang air, apalagi sekarang malam, mau tidur. Ngompol di kasur malah repot."

"Bener juga."

Candra akhirnya membersihkan bekas pipis Xania baik di tubuh anak itu maupun di klosetnya. Pampers dan celana sudah terpasang. Ayah dan anak itu keluar lebih dulu karena Melisa juga ingin memakai kamar mandinya untuk buang air kecil. 

Jam di dinding menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Sebentar lagi waktunya Xania tidur malam. Candra tidak sabar memperlihatkan kamar anak ini. Kamar yang sudah disiapkan sejak lama.

"Ayah kasih lihat kamar Kakak sekarang," kata Candra saat Melisa sudah muncul dari kamar mandi. 

Sambil menggendong Xania, Candra melangkah mendekati sebuah pintu. Begitu dibuka, suasananya berubah. Mereka memasuki sebuah ruangan dengan cat dinding berwarna pink. Terdapat hiasan kepala kucing di setiap sudut ruangan, lemari pakaian empat pintu, rak dorong yang nantinya akan diisi perlengkapan Xania, juga ada rak buku berisi buku-buku cerita. Tempat tidurnya tidak kalah cantik. Masih menggunakan ranjang berpagar bercat putih, tetapi untuk bagian kepalanya berbentuk kepala kucing. Ukurannya cukup luas dan tingginya disesuaikan dengan tinggi badan Xania saat ini. Ada CCTV di bagian atas ranjang supaya Melisa dan Candra bisa memantau pergerakan Xania dari kejauhan, terutama saat malam hari. 

Kamar ini terdapat dua pintu. Satu pintu untuk keluar masuk, satu lagi untuk akses dari kamar kedua orang tuanya. Kelak jika Xania sudah besar dan butuh privasi, pintu itu akan diganti. Namun, untuk sekarang, Candra masih ingin memiliki akses ke kamar anaknya. Memang kamar ini tidak seluas kamar di rumah sebelumnya, tetapi masih ada sisa untuk kamar mandi dalam dan area bermain. Candra juga menambahkan mainan-mainan anaknya di kamar ini. 

"Kakak suka nggak sama kamar barunya?" tanya Candra. 

Sebagai jawaban, Xania mengangguk. Bahkan, sekarang anak itu berontak minta turun. Anak itu sudah tidak sabar menghampiri boneka-boneka rajutnya.

"Mamanya nggak ditanyain suka apa nggak?" Merasa diabaikan lagi, Melisa mengeluarkan suara.

"Lho, kan, ini kamar Kakak, bukan kamar Mama."

Melisa cemberut.

Xania melangkah tertatih mendekati rak buku, mengambil satu buku cerita, dan memberikannya kepada Candra. 

"Ayah, guk!"

"Oh iya, ini anjing. Kakak mau denger cerita tentang anjing?"

Xania menjawab bukan dengan suara, melainkan tarikan menuju tempat tidur. Candra tersenyum. Xania tahu kebiasaannya sebelum tidur karena dibiasakan sejak bayi.

Setelah meletakkan Xania di ranjang, Candra duduk di sebelahnya, lalu membuka buku bergambar anjing itu. Melisa kebagian memasukkan pakaian-pakaian Xania ke lemari. Kalau dia ikut duduk di kasur Xania, takutnya ambruk.

Tak butuh waktu lama, mata Xania terpejam dan napasnya mulai teratur. Candra menutup buku ceritanya, mengecup kening Xania, memasang selimut, dan bangkit menghampiri Melisa.

"Lanjutin besok. Xania udah tidur." Candra menggamit tangan istrinya. Sepasang orang tua itu lantas melangkah pelan meninggalkan Xania di kamar barunya. Doa Melisa saat ini adalah semoga anak itu tidak bangun tengah malam. Katanya bayi tidur di tempat baru suka rewel, semoga Xania tidak termasuk. 

"Kamu duluan masuk, aku yang tutup pintunya."

Melisa menurut. Dia membiarkan Candra mematikan lampu kamar Xania dan menutup pintunya. Melisa berniat membuka koper, memindahkan isinya ke lemari. Namun, tangan Candra melingkar di pinggangnya dari belakang.

"Sekarang gantian mamanya. Aku kangen banget sama kamu."

Saat Candra mengelus perut istrinya, dia merasakan pergerakan dari dalam. "Kalian juga kangen, ya, sama Ayah?" 

"Itu cuma satu yang nendang, Mas." 

"Hah? Emang beda, ya?" 

"Ya, beda. Kadang bareng, kadang sendiri-sendiri. Rasanya juga beda. Kalau yang satu gerakannya kuat banget sampai bikin kebelet pipis, kalau yang satu lagi kalem. Tapi, mereka bakal semangat banget geraknya kalau aku lagi makan."

Candra mengecup pipi Melisa, lalu turun ke leher, menghidu aromanya. Tentu saja sebelum ke bagian selanjutnya, bibirnya meninggalkan jejak di sana. 

"Kamu capek nggak, Sayang?" 

"Lumayan. Tadi, kan, Xania jalan terus, ya aku ikutin. Mau minta tolong Mbak Ambar, dia, kan, udah bawain kopernya. Di pesawat juga nggak tidur."

"Xania rewel di pesawat?" 

"Nggak. Dia malah jalan-jalan di kabin."

"Mau nggak aku pijitin?" 

Melisa spontan tertawa, lalu mengubah posisinya setelah melepas tautan tangan Candra. "Pertama, aku ini editor, walaupun sekarang lagi nggak aktif. Kedua, aku udah hidup sama Mas mau enam tahun. Jadi, bisa nggak, Mas, mintanya pakai kalimat langsung gitu?"

Candra memutar tubuh Melisa ke posisi semula karena sudah tidak memungkinkan memeluk perempuan itu dari arah depan. "Aku lagi begini pun kamu pasti udah tahu, kan, kita mau ke mana?" 

"Mas nggak mau tidur dulu? Kan, lagi sakit."

"Sakitku udah sembuh setelah denger Xania bisa manggil aku. Makin sehat lagi kalau kamu yang obatin. Kata dokter udah aman, kan?" 

Melisa tersenyum dan membiarkan Candra kembali memuja tubuhnya melalui sentuhan. Dua bulan tidak bertemu dan sebelumnya mereka tidak pernah berhubungan lagi setelah tahu kehamilan ini, tentu saja Melisa merindukan suasana ini. 

"Ya, jangan sambil berdiri, dong, Mas. Kaki aku pegel nanti."

Selanjutnya, Melisa memekik saat Candra berhasil mengangkat tubuhnya, padahal bobot tubuhnya tidak seringan saat hamil Xania. Mungkin itu kekuatan datang dari laki-laki yang memendam rindu pada istrinya berbulan-bulan.

"Akhirnya aku nggak tidur sendirian lagi."

Melisa tertawa. Di ranjang, mereka telah siap menebus rindu. Doa Melisa masih sama. Semoga Xania tidak bangun di tengah-tengah aktivitasnya 'menyembuhkan' Candra. 

Ini pertanyaan random, nggak usah dijawab nggak apa-apa.

Apa kalian membutuhkan season 3?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro