86 - Berangkat ke Jakarta
Barang-barang milik Melisa, Ambar, dan Xania sudah dimasukkan ke koper masing-masing. Sebagian akan dibawa dalam bentuk paket, sisanya akan masuk ke bagasi pesawat. Mobil yang biasa dipakai Candra pun sudah dikirim ke Jakarta sejak dua hari yang lalu.
Melisa mengambil waktu penerbangan pukul sembilan pagi karena biasanya jam segitu Xania tidur siang pertama. Harapannya, sih, Xania benar-benar tidur saat di udara, jadi Melisa bisa mengurus dirinya sendiri yang masih takut naik pesawat dan tentu saja tidak merepotkan Ambar.
Sebenarnya sebelum memutuskan untuk ke Jakarta, Melisa sempat berdebat dengan Candra karena dirinya mau naik kereta. Namun, suaminya itu menyarankan naik pesawat untuk alasan keamanan dan hemat waktu. Kalau naik kereta bisa berjam-jam. Candra tidak mau terjadi sesuatu saat di perjalanan. Terpaksa Melisa menuruti kata suaminya.
Untuk sampai di bandara, mereka diantar oleh Sintia dan Hutama. Inayah juga ikut serta. Perjalanannya sangat mulus. Xania tidak menangis karena diajak main oleh Yumna dan Yusna.
Sesampainya di bandara, Melisa yang melakukan proses sebelum keberangkatan. Setelah itu, mereka semua menunggu di ruang tunggu pesawat. Xania yang baru bisa jalan itu mulai tidak terkendali. Anak itu lagi senang-senangnya memakai sepatu baru yang ada bunyi 'cit-cit'. Badannya juga ditutup dengan dress warna pink dengan ruffle di bagian lengan dan bawah. Untuk kakinya dibalut celana panjang warna putih. Jangan lupa bando pom-pom menghiasi kepala Xania.
Barang-barang yang dikenakan Xania sekarang Candra yang membelikan. Ya, akhirnya terpakai. Terutama sepatu, sudah muat di kaki Xania.
Sekitar 20 menit menunggu, petugas mengumumkan bahwa pesawat menuju Jakarta akan terlambat mengudara selama 30 menit akibat perbaikan teknis. Melisa yang awalnya santai jadi gugup karena pertama kalinya naik pesawat tanpa Candra. Maka, perempuan itu langsung menghubungi suaminya yang sejak dua hari yang lalu katanya sedang di rumah.
"Mas, pesawatnya delay. Katanya lagi ada perbaikan gitu," kata Melisa setelah teleponnya tersambung.
"Berapa menit katanya?"
"Sekitar 30 menit."
"Oh, itu termasuk ringan, Sayang. Biasanya karena masih pengecekan dokumen, perizinan terbamg, kondisi pesawat, sama kargo. Jadi kamu tungguin aja. Nanti sama maskapainya dikasih minuman ringan sebagai kompensasi delay."
"Yaah, aku ambil jam segini biar Xania tidur di pesawat. Kalau telat, Xania juga telat tidurnya, dong."
"Semoga nggak lebih dari 30 menit, ya. Cuaca di sana gimana, Sayang?"
"Cerah, sih, Mas."
"Oke, berarti nggak ada kendala di cuaca, ya. Kamu tunggu aja. Tapi, Sayang, maaf, ya, aku nggak bisa jemput kalian. Soalnya---"
Perkataan itu terputus dan tak lama terdengar suara bersin sampai empat kali. Kening Melisa berkerut. Pantas suara Candra terdengar berbeda. "Mas lagi sakit?"
"Iya, Sayang. Aku demam setelah pulang dari Medan."
Melisa menghitung hari. Kalau pulang dari Medan berarti sudah sejak dua hari yang lalu, dong? Pantas saja ada di rumah. "Mas udah minum obat?"
"Udah."
"Kalau Mas nggak bisa jemput, aku bisa pesen taksi."
"Nggak perlu, Sayang. Aku udah suruh orang buat jemput kalian. Namanya Tejo. Dia udah sering anter Ibu dan Mbak Lala ke rumah sakit. Nanti kalau kamu udah terbang, dia langsung berangkat ke bandara. Nanti aku kirimin foto sama nomor yang bisa dihubungi."
"Oh, oke kalau gitu. Mas istirahat lagi sana."
"Xania mana? Kok, nggak kedengeran suaranya."
"Lagi asik lihat pesawat, Mas. Udah nggak mau duduk sekarang. Maunya jalan terus."
"Xania udah bisa jalan?"
Saat itu juga, Melisa menepuk keras mulutnya sendiri. Selalu seperti ini kalau ingin membuat kejutan, mulutnya tidak bisa diajak kerja sama. "Jalan, tapi masih dipegangin gitu, Mas."
"Oh, aku pikir udah bisa jalan."
Melisa meringis. Candra tidak boleh tahu yang sebenarnya sebelum melihatnya sendiri. "Aku tutup teleponnya, ya, Mas. Istirahat sana. Kita lewat chat aja."
Candra mengiakan. Sebelum ditutup, Melisa sempat mendengar bersin dan batuk lagi. Tahu kondisi suaminya seperti itu, rasanya Melisa ingin cepat-cepat tiba di Jakarta.
Melisa mengalihkan pandangannya ke arah Xania yang sedang berdiri di jendela besar bersama Yumna, Yusna, dan Inayah. Melihat Xania yang bisa jalan dan ceriwis seperti sekarang, benar-benar membuat mamanya gemas. Sayangnya, anak itu bukan bayi lagi yang bisa dipeluk dan dicubit pipinya. Menunggu pesawat jadi menyenangkan. Melisa terus berdoa supaya anaknya tidak bosan.
"Tina, Kana," kata Xania saat Yumna memperkenalkan diri sebagai Aunty Yumna dan Yusna sebagai Kakak Yusna.
"Kakak Yusna," ulang Yusna.
"Akak." Xania menunjuk dirinya sendiri. Yusna tertawa kecil.
"Oh, iya, Xania mau jadi kakak, ya? Iya, Kakak Xania."
"Akak Yaya."
Inayah yang mendengar itu gemas sendiri. "Lucu banget anak ini."
Seperti yang sudah-sudah, Xania tidak mau digendong. Anak itu seperti belut saat orang lain mencoba menggendongnya.
"Awat!" seru Xania saat melihat pesawat parkir dari jendela besar. Setelah itu, dia melangkah pelan menghampiri Melisa.
"Mama, awat!" Xania menarik tangan Melisa.
"Tunggu sebentar, ya, Nak. Pesawatnya belum datang."
"Tu awat!"
"Itu bukan pesawat kita. Pesawat kita belum datang, pesawat itu udah selesai terbang, Sayang."
Namun, Xania tetap ingin pesawat itu. Sudah dibujuk juga oleh Sintia, Hutama, Yumna, Yusna, Inayah, bahkan Ambar, tetapi tidak ada yang manjur. Xania tetap menarik tangan mamanya.
"Xania kenapa? Ngantuk, ya?" Akhirnya Melisa berdiri, kemudian mengangkat tubuh Xania. Jujur saja menggendong Xania menambah beban di tubuhnya. Apalagi sekarang Xania tidak bisa ditaruh di depan. Sakit pinggang adalah makanan sehari-hari Melisa selama hamil sambil mengurus Xania.
Xania sudah hampir terlelap, tetapi pengumuman keberangkatan pesawat menuju Jakarta berhasil membuat Xania terjaga lagi. Melisa menghela napas. Mau tidak mau dia harus beranjak dari tempat ini kalau tidak mau ketinggalan pesawat.
"Semuanya, aku, Xania, sama Mbak Ambar pergi dulu, ya. Doain selamat sampai tujuan," kata Melisa.
"Mama!" Xania berontak minta turun. Tentu saja Melisa dengan senang hati menurunkan anak itu.
"Sebentar, ya, kamu jangan jalan dulu," kata Melisa saat Xania ingin pergi. Tangannya langsung menahan tangan Xania.
"Xania udah nggak sabar mau ketemu ayah, ya?" Sintia menyentuh pipi Xania.
"Kayaknya mamanya yang nggak sabar," sahut Inayah.
Melisa tersipu malu. "Tahu aja. Nggak betah jauh-jauh kayak gini."
"Salam buat Candra, ya." Hutama bersuara.
"Oh, ya, kalian jangan lupa datang di acara ultah Xania, ya."
Sintia mengangkat kedua jempolnya. "Kamu minta mami pindah ke sana juga bisa, kok."
Namun, kata-kata itu justru tidak disambut baik oleh kedua anaknya.
"Mamiii, aku masih sekolah, lho!" seru Yusna.
"Aku juga nggak mau pisah sama Mami!" timpal Yumna.
"Oke, berarti kalau kalian udah selesai sekolah, mami bebas, ya, mau ke mana aja?"
Yumna dan Yusna kompak mengerucutkan bibirnya.
Akhirnya Melisa mencium tangan Sintia dan Hutama, lalu memeluk Yumna, Yusna, Inayah, dan itu harus dilakukan secepat mungkin karena Xania sudah tidak sabar ingin jalan.
"Xania salim dulu sama Oma, Opa, Tina, Kana, sama Kanay."
Xania menurut. Dia menghampiri satu per satu sesuai instruksi mamanya.
"Xania berangkat dulu, ya. Kiss bye-nya gimana, Nak?"
Tahu apa yang dimaksud mamanya, Xania meletakkan salah satu telapak tangannya ke mulut, lalu mengucapkan kata 'muah'. Apa yang dilakukan Xania membuat tante-tantenya gemas.
"Kak, Xania nggak apa-apa, ya, di sini aja? Bakal diurus dengan baik, kok!" kata Yumna. "Gemes banget. Pengen dikarungin terus bawa pulang!"
Hutama geleng-geleng merespons ucapan anaknya. "Sudah. Nanti kakak kamu ketinggalan pesawat."
Tak mau ketinggalan pesawat, Melisa lantas melangkah menuju gate sembari menggenggam tangan Xania. Anak itu tidak mau digendong, maunya jalan.
Sampai di pintu pesawat, Ambar langsung mengangkat Xania agar tidak berdesakan dengan penumpang lain. Melisa memesan tiga seat business class yang kursinya lebar. Xania nanti akan duduk di kursi sendiri, tepatnya di samping Melisa, sedangkan Ambar di belakang. Memang Melisa sengaja memesan satu kursi untuk Xania agar mainan serta snack dan susunya bisa jadi satu sehingga anak itu tidak bosan.
Setelah menemukan tempat duduknya, Melisa langsung mendudukkan Xania dan memasang sabuk pengamannya. Barulah dia duduk. Beberapa menit kemudian, saat pesawat mulai bergerak, Melisa memasangkan headphone ke telinga Xania dan memberikan susu. Katanya ini ampuh mengatasi anak rewel ketika pesawat sedang lepas landas.
"Mama!"
"Iya, Sayang?"
Xania ingin melepas headphone, tetapi Melisa berhasil mencegahnya.
"Kakak sebentar lagi ketemu ayah, lho. Kakak seneng nggak?"
Xania tidak membalas. Mungkin kata ayah terdengar asing di telinga Xania. Padahal hampir setiap hari Candra menghubungi Melisa. Namun, kadang-kadang waktunya tidak tepat, saat Xania sudah tidur.
"Coba bilang 'ayah'."
"Yah."
"Ikuti Mama, A ...."
Xania menatap wajah mamanya. Tak lama mulutnya bergerak. "A ...."
"Yah ...."
"Yah!"
"Ayah."
"Yah."
Melisa mengulum bibirnya. "Kalau papa, coba bilang papa."
"Papa!"
Wajah Melisa langsung semringah mendengar itu. "Nanti minta ganti panggilan, ya. Papa mudah, ya, buat Kakak?"
"Mama, nini!" Xania berusaha menarik sabuk pengaman yang sudah terpasang, padahal sebentar lagi pesawat akan lepas landas.
"Tunggu sebentar, ya, pesawatnya lagi naik. Kakak harus pakai seatbelt-nya dulu. Sabar, ya. Gimana sabarnya?"
Spontan Xania mengelus dadanya. Melisa tersenyum sembari menggenggam tangan Xania. Pesawat makin bergerak cepat dan jantung Melisa makin tidak karuan rasanya.
Huaa aku belum nulis lagi. Entah kenapa lagi macet, padahal Kamis mau ada acara 😌
Mungkin ada yang ngerasain perbedaan dari Ibu Negara dan lapak ini. Kalau di Ibu Negara cukup mature karena belum ada bocil. Di sini ada bocil, kok kalau mau mature nggak bisa, ya 😂 udah ketutup sama ke-gemoy-an Xania 😂
***
Btw, aku mau nanya tapi agak random. Kan aku sering banget lihat di base Twitter terkait ini: sebagai pembaca kalian risi nggak kalau aku sebagai author bales komen2 kalian? Atau kalau aku nulis AN gini, kalian risi nggak sih?
Soalnya aku bingung mau komunikasi sama pembaca di mana lagi kalau bukan di AN atau balas komentar. Lagian, wp itu termasuk bebas. Nggak kayak pf lain yang ina-inu rulesnya.
Ya salam, kayaknya aku butuh healing lagi 😂😂😂
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro