Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

83 - Jangan Kayak Gitu

"Ba!"

Xania cekikikan saat Melisa menutup dan membuka tangan di wajahnya. Makin menjadi kala Melisa menggelitik kakinya. Melisa ikut senang melihat ekspresi putrinya. Setidaknya bisa menghibur Xania yang sejak kemarin selalu ketakutan.

"Ini Mama. Ini Adik." Melisa menunjuk dirinya sendiri, lalu memegang perutnya. "Adik Xania ada dua. Mereka masih di dalam perut Mama sampai sembilan bulan. Nanti kalau udah keluar, wujudnya sama kayak Xania. Punya mata, punya telinga, hidung, mulut, sama punya perut yang isinya susu."

Saat mengucapkan itu, Melisa menyentuh mata, telinga, hidung, mulut, dan perut Xania, supaya Xania tahu bagian-bagian anggota tubuhnya. Otomatis Xania diam mendengar penjelasan mamanya. Matanya memperhatikan wajah Melisa.

"Kalau sama Mama, Xania belajar bahasa Indonesia, ya. Nanti sama Ayah, Xania bakal diajarin bahasa Inggris, bahasa Jepang, bahasa Jerman, bahasa Cina, bahasa Korea. Nanti kamu jangan kaget ya kalau bahasa Inggris Ayah jago banget. Soalnya pilot harus lancar berbahasa Inggris biar bisa komunikasi sama petugas ATC di berbagai negara."

"Abub!"

"Mama dulu ambil jurusan sastra Indonesia pas kuliah. Mama belajar sintaksis, belajar nulis artikel, nulis puisi, nulis novel juga pernah buat tugas bukan buat dibaca orang, terus belajar penyuntingan, belajar ngasih kritik dan saran. Terus, pas lagi penelitian buat skripsi, Mama ketemu sama Ayah kamu. Kami kenalan terus nggak lama Ayah ngajak serius, Mama terima, deh."

Xania masih menyimak sembari memainkan selimut. Melisa mengelus kepalanya.

"Kalau Ayah nggak kuliah, Sayang. Begitu lulus SMA, Ayah langsung masuk sekolah penerbangan. Terus sekitar berapa tahun kemudian, ya, Mama lupa, Ayah udah boleh menerbangkan pesawat. Terbang ke berbagai kota dan negara untuk mengumpulkan jam terbang. Kata Ayah sampai tahun ini udah ngumpulin hampir 8000 jam terbang."

"Waa."

"Iya. Makanya kalau Ayah nggak ada di rumah selama berhari-hari, Xania jangan sedih, ya. Kalau Ayah nggak kerja, kita nggak makan. Sebelum ada Xania, Mama juga kerja, sih, jadi editor. Dulu Mama sering mengoreksi novel penulis-penulis. Mama juga sering diundang ke acara seminar atau bedah buku gitu."

Xania mulai mengoceh, seolah-olah sedang menanggapi cerita mamanya.

"Nanti kalau Xania udah besar, Mama boleh nggak kerja lagi? Boleh, ya? Boleh, dong?"

"Moh!"

Melisa terbelalak. "Kenapa nggak boleh? Xania masih bisa ketemu Mama, kok. Mama, kan, kerjanya nggak full di luar."

"Gak!"

"Yaaah. Oke, deh. Mama nurut sama Tuan Putri. Mama ngajarin Xania sama adik aja, ya. Maaf, ya, Mama belum bisa jadi mama yang baik buat Xania, tapi Mama akan berusaha dan belajar dari pengalaman sekarang."

Melisa sangat menyesal menyerahkan Xania ke orang asing. Apa yang ditakutinya kini menjadi kenyataan. Desi melalaikan tugasnya. Berani meninggalkan Xania di ruangan kosong saat masih tertidur. Bahkan, sekarang dia kehilangan jejak pengasuhnya. Melisa jadi takut kalau Desi tidak kembali lagi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Mungkin karena sudah bosan, Xania perlahan merangkak, kemudian berdiri dengan berpegangan pada pagar pembatas. Anak itu menoleh ke arah Melisa sembari mengoceh.

"Oh, kamu mau turun? Sebentar, ya, Mama turun dulu."

Melisa mendudukkan Xania di kasur, lalu menurunkan pagar pembatas itu. Melisa menurunkan kedua kakinya lebih dulu, lalu memakai sandal. Perban di kaki kirinya sudah dilepas semalam dan sekarang Melisa mencoba berdiri. Setelah berhasil melakukan itu, wajah Melisa seketika cerah. Dirinya tidak merasakan nyeri pada kaki kirinya.

"Ayo, sini, Mama gendong."

Dengan semangat, Xania menerima uluran tangan Melisa. Ketika berhasil membopong Xania, barulah nyeri di pergelangan kaki itu terasa. Namun, masih bisa ditahan.

"Kita jalan pelan-pelan, ya."

Melisa melangkah pelan-pelan agar sakitnya tidak makin jadi. Sampai di depan pintu, Melisa memutar kenopnya. Saat pintu terbuka, perempuan itu terlonjak kaget begitu melihat dua orang laki-laki berbaju hitam berdiri di depan kamarnya.

"Selamat pagi, Ibu Melisa! Ada yang bisa kami bantu?"

Pada waktu yang bersamaan, Xania mencengkeram erat bahu mamanya. Tidak mau menatap dua orang pria di depan sana.

"Mami ada di sini?" Melisa justru balik tanya.

"Iya, Bu. Tuan dan Nyonya sejak semalam ada di sini."

Melisa makin heran lagi. Kenapa sejak semalam Sintia dan Hutama ada di sini? Tidak mungkin kalo tidak ada alasannya, kan? Apa mungkin Ambar memberitahu semuanya ke mereka?

Karena penasaran, Melisa melanjutkan langkahnya. Namun, Melisa dihadang oleh salah satu pengawal itu.

"Biar saya bantu, Bu."

Didekati seperti itu, Xania justru makin ketakutan. Anak itu mulai merengek.

"Nggak apa-apa, Sayang. Mereka nggak nyakitin, kok." Melisa mengelus punggung anaknya. Setelah itu, beralih menatap sang pengawal. "Nggak usah, Pak. Saya bisa sendiri."

"Kalau begitu kami ikuti di belakang."

Kalau yang ini, Melisa tidak bisa membantah. Toh, tugas mereka memang seperti itu. Jadilah sepanjang menuruni tangga, Melisa terus membujuk Xania agar jangan takut pada orang asing. Gara-gara kejadian itu, Xania benar-benar berubah.

Rupanya benar yang dikatakan pengawal itu. Sekarang Sintia dan Hutama sedang duduk di sofa. Melihat kedatangan Melisa, Sintia spontan berdiri dan menghampiri Melisa.

"Sayang, kok, kamu nggak bilang mau turun?"

"Mami sama Ayah bisa ada di sini?" Lagi-lagi Melisa balik tanya.

"Kamu duduk dulu. Kasih Xania ke Mami." Hutama bersuara.

Xania menolak saat Sintia mencoba menggendongnya. Jemarinya kian erat menggenggam ujung lengan Melisa. Mulutnya mencebik dan air matanya turun membasahi pipinya.

"Itu Oma sama Opa, Sayang. Xania jangan takut, ya. Oma mau ngajak Xania main," bujuk Melisa.

"Iya, ini Oma punya mainan baru, lho. Xania mau lihat nggak?" Sintia melangkah mundur, menarik sebuah baby walker dorong warna pink dan putih dengan berbagai macam tombol di bagian depan. Kemudian, telunjuk Sintia menekan salah satu tombol tersebut dan menghasilkan bunyi.

"Bunyi, tuh. Xania mau main?"

Seketika Xania mengalihkan pandangannya. Saat Melisa mencoba menurunkan, anak itu tidak berontak. Dia merangkak menghampiri mainan barunya dan mulai penasaran.

"Main sama Oma, ya. Kamu mau coba dorong?"

Sintia membantu Xania berdiri sambil pegangan pada dua pedal baby walker-nya. Tak lama, Xania maju satu langkah. Sintia menjaganya di belakang.

"Sini kamu duduk!" Hutama kembali menyuruh Melisa duduk. Kali ini Melisa menurutinya. Dia duduk tak jauh dari pria berambut putih itu.

"Semalam Candra yang telepon Ayah. Dia bilang kalau pengasuh anak kamu bermasalah," kata Hutama. "Ayah sudah suruh pengawal cari dia. Ayah yakin nggak lama lagi pengasuh itu ketemu dan mempertanggungjawabkan perbuatannya."

Melisa hanya diam. Dia tidak bisa menahan Ambar atau Mas Agus, juga tidak bisa menolak bantuan dari mertuanya.

"Kamu mau tahu nggak siapa yang nyuruh Candra telepon Ayah?"

Lho, ternyata bukan inisiatif Candra sendiri. "Siapa emangnya, Yah?" tanya Melisa.

"Ibunya."

Melisa mengerjap, berusaha mencerna. Sarina yang menyuruh Candra telepon ayahnya? Wah, ini sama sekali tidak bisa dipercaya. Sarina sepertinya salah makan.

"Melisa, lain kali kalau ada masalah, jangan sungkan bilang ke kami, ya. Kamu, kan, sekarang jauh dari orang tua, jauh dari suami, dan kamu lagi hamil juga. Ayah nggak merasa direpotin sama kamu. Semoga ini jadi yang pertama dan terakhir ya, Nak."

"Iya, Yah."

"Gimana kaki kamu sekarang?"

"Udah nggak sakit, Yah."

Setelah itu, Melisa pamit pergi ke kamarnya untuk buang air dan mandi. Dia harus pergi diam-diam agar Xania tidak ikut dengannya. Beruntung anak itu masih fokus dengan mainan barunya bersama Sintia.

Usai mandi, Melisa menutupi tubuhnya dengan dres sabrina, sehingga leher, bahu, dan atas dadanya terlihat. Rambutnya sengaja digerai karena habis keramas. Tak lupa merias wajahnya sedikit.

Melisa yang masih duduk di kursi rias mulai menyalakan ponselnya, menghubungi Candra. Sembari menunggu panggilan videonya diterima, Melisa menyandarkan ponselnya di penyangga cermin, lalu merapikan rambutnya. Beberapa detik kemudian, layar menampilkan wajah Candra. Melisa tersenyum lebar.

"Kamu sengaja dandan begitu biar aku nggak marah, kan?"

"Nah, udah tahu." Melisa tertawa kecil.

"Aku nyesel nggak ngecek CCTV setelah telepon kamu. Mulai sekarang aku akan pantau kamu terus."

Melisa pura-pura bergidik sambil menutup sebagian wajahnya. "Ih, takut."

"Mana kaki kamu yang sakit?"

"Udah sembuh, Mas. Ini aku udah bisa duduk di sini."

"Adiknya Xania gimana?"

"Mereka baik-baik aja, Mas. Sampai sekarang nggak ada keluhan. Nanti aku cek lagi biar Mas nggak kepikiran terus."

"Mel, jangan kayak gitu lagi, ya. Aku tahu niat kamu baik, tapi aku tetep nggak suka kamu bohong. Aku mau kita saling terbuka. Jangan diulangi lagi, ya."

Melisa mengangguk dan mengiakan.

"Xania mana?"

"Di bawah sama Mami."

"Desi langsung diberhentikan aja, ya. Aku nggak mau anak kita kenapa-napa."

"Iya, Mas."

Saat Candra hendak menutup teleponnya, Melisa teringat dengan ucapan Hutama. Dia lantas mencegah suaminya memutuskan sambungan telepon.

"Eh, Mas, tadi Ayah bilang kalau Ibu yang nyuruh Mas telepon Ayah, itu beneran?"

"Iya."

Melisa terbelalak. "Serius? Emang Ibu denger?"

"Denger. Kamu pasti nggak percaya, ya?"

"Ya, jelas nggak percaya, lah! Ibu kayaknya salah makan, deh. Tiba-tiba perhatian gitu aku malah takut, Mas."

Di seberang, Candra tersenyum. Seandainya dekat, dia ingin sekali menutup bahu istrinya itu. "Aku awalnya juga nggak percaya, tapi aku mikir mungkin Ibu mau berusaha membuka hatinya buat kamu. Kamu juga mau, kan, Ibu baik sama kamu?"

"Ya, semoga aja Ibu beneran mau berubah."

Untung Mas Can nggak marah. Coba kalo iya, dirujak netijen entar 😂😂😂

Mbak Mel saking nggak pernah lihat Mbah Sarina kalem langsung takut 😂😂😂

Makasih buat yang udah berkenan mampir ke sini. Bab selanjutnya babak penentuan Desi 😪

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro