82 - Yang Sebenarnya
Desi tidak pulang sampai hari ini. Ponselnya pun mati. Melisa sama sekali tidak tahu kabar pengasuh anaknya itu. Kalau memang ibunya sakit parah, kenapa tidak mengabarinya? Malah menghilang tanpa jejak. Alhasil, Xania diurus Ambar lantaran Melisa tidak boleh banyak bergerak dan anak itu mengajak main.
Sekarang Xania berhasil tertidur pulas setelah drama tidak mau minum susu. Setelah ditinggal sendirian di kamar kosong, Xania kerap rewel. Tidak mau makan dan minum susu. Kadang-kadang Xania mencengkeram kuat baju Ambar dan Melisa. Seperti sedang ketakutan. Main pun tadi tidak kelihatan bersemangat, padahal biasanya Xania berkeliaran, belajar rambatan, mengoceh, bahkan membanting mainannya. Melisa benar-benar tidak sabar menunggu kakinya sembuh supaya bisa mengembalikan keceriaan anaknya lagi.
Karena Xania sudah pulas, Melisa ikut tidur juga. Ambar baru bisa menyelesaikan pekerjaannya. Mas Agus juga belum pulang. Ambar mulai meletakkan piring-piring kotor di wastafel, kemudian menyabuninya satu per satu.
Di tengah kesibukannya mencuci piring, tiba-tiba saja ponsel Ambar bergetar. Ambar mencuci tangannya lebih dulu, baru mengeluarkan benda itu. Setelah melihat nama di layar, mata perempuan itu melebar dan refleks berlari menghampiri Mas Agus.
"Mas! Mas! Bahaya, Mas!"
Mas Agus membalikkan tubuhnya, menatap Ambar yang napasnya terengah-engah. "Bahaya opo to?"
Sebelum menjawab, Ambar mengejar napas seraya memegang dadanya. Kemudian menyelipkan sebagian anak rambutnya ke telinga. "Mas Candra telepon, Mas. Saya harus bilang apa?"
"Lha, kan, belum mesti Mas Candra tanya keadaan rumah ini. Coba angkat aja."
"Masa, sih? Pasti Mas Candra tanya-tanya keadaan Mbak Mel sama Xania."
"Ya, coba angkat dulu, Mbak. Kalau keceplosan, saya bantuin."
Ambar mengambil napas, lalu membuangnya. Tangannya begitu gemetar saat ingin menggeser ikon gagang telepon warna hijau. "Saya deg-degan banget, Mas. Coba pegang dada saya kalau Mas Agus nggak percaya!"
"Huss! Saru kalau saya pegang dada Mbak!"
"Ya Allah, astagfirullah." Ambar mengembuskan napas. Dia pun akhirnya menerima telepon itu. Tidak lupa menghidupkan pengeras suara supaya Mas Agus juga mendengar percakapan ini.
Dugaan Ambar seratus persen benar. Candra tidak mungkin menghubunginya untuk basa-basi. Sekujur tubuh perempuan itu mulai dingin saat Candra menanyakan keadaan rumah. Berkali-kali Ambar menelan ludah untuk mencerna pertanyaan-pertanyaan dari majikannya.
"Gimana ini Mas? Mas Candra kayaknya udah curiga."
"Tapi gimana bisa, Mbak? Lha, kita, kan, nggak pernah ngomong apa-apa ke Mas Candra."
Ucapan Mas Agus justru membuat Ambar makin bingung. Hanya satu orang yang dia curigai sejak awal kejadian ini. "Bisa aja Desi, kan, yang ngomong aneh-aneh ke Mas Candra."
"Huss, kita belum punya bukti, lho."
Tentu saja mereka bercakap dengan mengecilkan suara. Ambar menjauhkan ponselnya agar Candra tidak mendengar.
"Bismillah aja, Mbak. Bilang yang sebenarnya. Nggak mungkin ngumpet terus. Kita mau muter-muter juga nggak bisa. Mas Candra udah nunggu," ucap Mas Agus setengah berbisik setelah mendengar Candra berkata tidak akan marah kalau berkata jujur. "Lagian, Mbak Mel udah tidur, kan? Nggak akan dia dengerin kita, Mbak."
Ambar memejamkan mata sejenak. Setelah hatinya tenang, mulutnya mulai menceritakan kejadian dari Melisa terpeleset di tangga sampai Xania ditinggal di kamar kosong.
"Maaf, Mas. Saya terpaksa nggak bilang ke Mas karena Mbak Mel yang minta," kata Ambar di akhir cerita.
"Jadi, yang sebenarnya Xania ditinggal sama Desi di kamar itu, bukan Melisa?"
"Ya Allah, Mas. Nggak mungkin Xania sama Mbak Mel wong lagi ke rumah sakit ngobatin kakinya Mbak Mel itu. Saya juga heran kenapa Mbak Desi berani ninggalin Xania di kamar kosong pas masih tidur, dikunci pula pintunya. Kenapa dia nggak nunggu kita pulang dulu? Xania sekarang jadi ketakutan, Mas."
Di tempatnya saat ini, Candra memijat pelipisnya. Dari mana Desi bisa menemukan kunci kamar itu? Dia sama takutnya seperti Ambar. Melisa dan Xania dalam bahaya, tetapi dirinya tidak bisa menolong. Apalagi, Melisa memilih menyembunyikan kejadian ini darinya. Candra tidak habis pikir.
"Sekarang Desi di mana, Mbak?"
"Nggak ada di rumah, Mas. Kata Mbak Mel, ibunya Mbak Desi lagi sakit, terus sekarang lagi nyusul ke rumah sakit. Sampai sekarang belum pulang. Dihubungi sama Mbak Mel juga nggak bisa-bisa."
Candra makin tidak mengerti lagi. Kenapa jadi begini? Dia jadi tidak percaya kalau ibunya Desi sedang sakit. Ini saja Desi berani berbohong. Katanya Melisa tidak memberikan gaji saat diminta, kenyataannya dikasih. Katanya Melisa meninggalkan Xania di kamar kosong, kenyataannya Desi yang berbuat seperti itu.
"Saya sama Mas Agus curiga sama Mbak Desi, Mas. Sebelum Mbak Mel jatuh, saya memang habis ngepel. Mbak Mel ada di luar sama Xania. Sebelum Mbak Mel sama Xania masuk, saya udah pastikan lantainya bener-bener kering. Terus saya tinggal cuci baju dan nggak lama Mbak Mel jatuh, Mas Agus ngeliat lantainya basah kayak habis ketumpahan air gitu, padahal udah jelas-jelas saya ngepelnya jauh sebelum Mbak Mel masuk," kata Ambar.
Kepala Candra makin semrawut. Pekerjaan Ambar selalu bersih, jarang terjadi kesalahan, yang lebih penting selalu jujur, bahkan kembalian seribu rupiah saja selalu dikembalikan. Makanya Melisa betah mempekerjakan perempuan itu. Jadi tidak mungkin rasanya kalau Ambar teledor.
"Akhirnya saya inisiatif ngecek CCTV, Mas. Kecurigaan saya dan Mbak Ambar bener-bener terbukti. Mas bisa lihat sendiri." Mas Agus ikut menimpali.
"Melisa udah tahu?"
"Belum, Mas. Saya nggak berani kasih lihat."
"Oke, kalian nggak usah bilang apa-apa ke Melisa. Biar saya aja. Terima kasih kalian udah mau jujur."
Candra memutuskan telepon lebih dulu. Masih memegang ponsel, Candra beralih membuka tayangan CCTV yang terhubung di semua area rumahnya. Rekaman video dan suara di ruang tengah dan tangga terlihat. Tampak Melisa duduk di sofa, tak lama Desi yang menggendong Xania datang. Candra terus memperhatikan visual di layar itu. Terdengar percakapan Desi yang meminta uang gaji kepada Melisa, lalu Melisa menitipkan Xania untuk mengambil uangnya di kamar.
Di ruangan itu, hanya ada Desi dan Xania. Hingga kemudian, tampak Desi berdiri sambil membopong Xania, berjalan ke dapur mengambil air dan minyak. Yang membuat dada Candra bergemuruh adalah Desi menuangkan air dan minyak itu di anak tangga terakhir. Sekitar tiga menit kemudian, Melisa turun dan terjadilah tragedi itu.
Detik itu juga, Candra mencoba menghubungi nomor Desi lagi, tetapi sayangnya nomor tersebut tidak aktif. Candra terus menelepon Desi meskipun hasilnya sama hingga kesal sendiri.
Candra benar-benar menyesal kenapa tidak dari kemarin memantau CCTV ini? Kenapa saat Melisa berbohong, dirinya tidak ada inisiatif melihat rekaman ini? Sekarang Desi tidak tahu ke mana perginya. Perempuan itu tidak akan mempertanggungjawabkan perbuatannya.
"Gimana perempuan itu?"
Candra menatap wajah ibunya, kemudian melangkah pelan menuju tempat duduknya tadi. Setelah duduk, Candra mengusap kasar wajahnya. Kesal, marah, khawatir bersatu menjadi bola api di dalam dadanya.
"Bukan Melisa yang ngelakuin itu, Bu. Justru Melisa dicelakain sama dia. Melisa jatuh di tangga, kakinya keseleo. Bahkan, Melisa udah kasih gajinya buat biaya rumah sakit ibunya," jawab Candra dengan suara bergetar. Sebisa mungkin dia meredakan amarahnya. Lepas kontrol pun percuma, kan. Keadaan tidak bisa diubah.
"Perempuan itu berani juga, ya. Untung kamu nggak langsung kirim uangnya. Melisa juga kenapa gampang percaya sama orang asing. Giliran celaka begini, siapa yang repot? Kamu, kan."
Ah, Candra lupa kalau Sarina pasti akan mencari kesalahan Melisa. Dia jadi menyesal menceritakan ini ke ibunya.
"Sekarang di mana dia?"
Candra menggeleng sebagai jawaban.
"Sekarang kamu telepon ayahmu."
Mendengar itu, Candra menurunkan tangannya. "Maksud Ibu?"
"Ayahmu, kan, punya pengawal. Siapa tahu mereka bisa menemukan perempuan itu. Tempat tinggal mereka juga dekat. Suruh mereka datang ke rumah, lihat keadaan Melisa sama Xania."
Butuh waktu untuk mencerna semua perkataan Sarina barusan. Sarina, wanita yang dulu pernah menginjak-injak Melisa, sekarang malah memberi saran. Perubahan sikap Sarina ini justru membuat Candra takut kalau ternyata yang sekarang sedang bermimpi.
Part 89 & 90 udah update di Karyakarsa. Yang mau baca duluan bisa ke sana yak.
Mbah udah mulai lunak nih. Semoga nggak tobat sambel, yak. Pedes di awal doang. Hihi.
***
Kayaknya tetep aku tamatin cerita ini, mungkin sampai adik-adiknya Xania lahir. Habis itu aku mau libur sebentar. Nulis marathon dari bulan September ternyata melelahkan wkwkwk. Habis libur aku mau tamatin ceritaku yang judulnya Lengkara, soalnya yang Justifikasi Hati terhalang kontrak 😭 nah kalau udah tamat semua, barulah aku mengeluarkan anak baru.
Selama libur pokoknya kalian jangan tinggalin aku ya. Aku masih pengen terus sama kalian. Aku pengen ngibahin tokoh2 buatanku bareng sama kalian. Liburnya nggak lama kok soalnya bingung juga kalau nggak nulis. Hidup dan matiku ada di sini eaaak.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro