79 - Kejadian Tidak Terduga
Melisa sangat bersyukur Xania bukan anak yang takut pada orang asing atau takut dengan suasana baru. Awalnya memang malu-malu, tetapi lama-lama anak itu bisa beradaptasi. Seperti sekarang ini. Xania kini sedang di teras bersama Mas Agus. Tadinya karena penasaran dengan musik dangdut dari ponsel laki-laki itu, terus sekarang lagi merangkak di rumput yang basah karena habis disiram. Lalu, ketika ada tetangga yang mendekat, Xania tidak takut sama sekali. Padahal, sebelumnya jarang bertemu.
Kalau sekadar dipegang tangan dan pipi, Melisa masih memaklumi, tetapi tidak dengan mencium. Selagi Xania merasa aman dan nyaman, Melisa tidak akan melarang orang ini-itu. Toh, ini salah satu pelajaran untuk Xania. Sejak kecil harus dibiasakan membaur dengan orang lain. Beda ceritanya kalau Xania mulai rewel terus tetangganya tidak peduli, Melisa yang turun tangan.
Meski dirinya tidak ada masalah, Melisa tidak akan melakukan hal yang sama ke anak-anak lain. Padahal dia sedang gemas melihat anak laki-laki yang sepertinya sebaya dengan Xania. Apalagi saat ini Xania dan anak itu sedang main tanah, Melisa makin gemas.
"Ini dikasih makan apa, to, pipinya bisa bulet kayak gini?" tanya salah satu ibu-ibu yang kini sedang menggendong bayi laki-laki tadi. Ibu ini tadi juga yang menyentuh pipi Xania.
"Sama kayak anak-anak lainnya, Bu. Tapi, sekarang Xania lagi susah makan," jawab Melisa kalem.
"Oh, sama kayak Rafi, ya. Udah seminggu ini dia kalau makan cuma sedikit yang masuk ke perutnya, tapi minum susunya kuat banget. Kalau Xania masih minum ASI?"
"Nggak, Bu. Saya udah nggak boleh menyusui lagi. Jadi sekarang minumnya susu formula."
Seketika mata ibu-ibu itu terpaku pada perut Melisa yang tertutup dress ibu hamil. Setelah itu, mulutnya terbuka lebar. "Lho, Mbak Mel sekarang lagi hamil lagi, to?"
Melisa tersenyum kikuk, lalu mengiakan. Tidak mungkin berbohong, kan. Wong, perutnya sudah kelihatan membesar.
"Emang Mbak Mel nggak KB?"
"Nggak, Bu." Melisa hanya menjawab itu. Tidak perlu dijelaskan yang sebenarnya. Bisa panjang nanti.
"Ya, pantesan. Makanya Mbak Mel, habis ini langsung pasang KB aja. Kasian anaknya masih kecil ditinggal hamil lagi. Biasanya, sih, kebanyakan anak-anaknya nanti ditelantarkan. Dikasih ke pengasuh biar nggak ribet urus anak."
Lagi-lagi Melisa hanya bisa tersenyum simpul. Hatinya terasa disentil setelah mendengar ucapan itu. "Saya nggak berniat menelantarkan anak-anak saya, kok. Pengasuh juga hanya bantu-bantu sedikit. Saya yakin kalau dikasih segini, berarti Allah percaya sama saya. Kalau suatu saat saya lalai, saya juga yang menanggung dosanya. Doakan saja, Bu, semoga saya amanah."
"Aamiin. Kalau Mbak Mel nggak akan pusing mikirin biaya. Lha, wong, suaminya pilot."
"Ah, sama aja, kok, Bu. Namanya rumah tangga nggak jauh-jauh dari masalah."
"Mbak Mel nggak tahu aja itu si Eta berantem terus sama suaminya gara-gara suaminya itu pengangguran. Mana anaknya ada tiga. Beda sama Mbak Mel yang keliatannya adem-adem aja."
Beruntung pekerjaan Mas Agus selesai sehingga Melisa bisa membujuk Xania masuk ke rumah. Ibu-ibu itu juga pergi karena anaknya menangis. Melisa bisa menghirup udara bebas. Bukannya tidak mau bersosialisasi, hanya saja obrolan ibu-ibu tidak jauh dari perbandingan, perundungan, dan pamer. Melisa masih ingin sehat secara rohani. Menghindari gosip itu sangat susah.
Xania malah tidak mau beranjak. Anak itu kian asyik mencabuti rumput, padahal pakaiannya basah dan banyak noda tanah.
"Mas Agus udah selesai, Nak. Ayo, ganti baju, ya."
"Abab!" Xania menepis tangan Melisa yang hendak menggendongnya.
Namun, Melisa tidak menyerah. Dia mencari akal supaya Xania mau masuk. Dia menyuruh Mas Agus menyalakan ponselnya. "Itu Mas Agus nyetel musik lagi di dalam. Xania mau joget-joget lagi nggak?"
Akhirnya Xania mau diajak masuk setelah Mas Agus kembali menyalakan musik di ponselnya. Tentu saja tidak mau digendong. Xania merangkak sendiri hingga menyebabkan lantainya terkena tanah.
"Coba diganti lagu anak-anak, Mas Agus!" perintah Melisa.
Mas Agus menurut. Saat lagu berganti jadi 'Baby Shark', Xania tetap duduk dan menggoyangkan tubuhnya, bahkan kini sambil bertepuk tangan. Wajahnya tampak semringah.
Melisa akhirnya paham. Anak itu sekarang memang sedang senang joget-joget. "Besok setelin lagu anak-anak aja, Mas, kalau lagi pakai volume keras. Kayaknya Xania yang penting ada lagunya."
"Siap, Mbak Mel."
Begitu lagunya habis dan Mas Agus pergi, Xania mau diajak ke kamar mandi oleh Desi. Sementara itu, Melisa mengambil buah mangga dari kulkas. Buah itu kemudian dikupas dan dipotong memanjang. Setelah potongan buah itu diletakkan di piring, Melisa beranjak duduk di sofa, mulai menyantapnya.
Xania datang bersama Desi sekitar 25 menit kemudian. Anak itu minta duduk di samping Melisa. Tangannya terbuka dan mulutnya berteriak.
"Kamu mau ini?" Melisa menunjuk sepotong mangga. "Duduk yang bener dulu, ya."
Seolah-olah mengerti apa yang dikatakan mamanya, Xania duduk tegak di sofa. Setelah itu, barulah Melisa menyodorkan potongan buah mangga. Tangan Xania langsung mengambil buah itu dan dimasukkan ke mulut.
"Mbak Mel, saya boleh bicara sebentar?" Desi tiba-tiba bersuara. Wajahnya tampak sendu saat Melisa menatapnya.
"Boleh. Mau ngomong apa?"
"Saya boleh nggak ambil gaji saya bulan ini?"
"Mau buat apa, ya, kalau boleh tahu?" Tentu saja Melisa heran kenapa Desi meminta gajinya sekarang, padahal baru sebentar bekerja di rumahnya.
"Ibu saya sakit, Mbak. Tadi pagi dibawa ke rumah sakit sama adik saya, tapi dia nggak megang uang. Terus, uang saya di ATM juga nggak cukup. Kalau boleh saya mau ambil gaji itu sekarang biar ibu saya cepet dapet tindakan. Katanya harus hari ini bayarnya."
Setelah itu, raut wajah Melisa berubah. "Ya ampun, aku ikut prihatin, ya. Kalau Mbak Desi beneran butuh uang itu, aku bisa kasih sekarang."
"Terus, kalau hari ini saya keluar sebentar, boleh nggak, Mbak? Saya mau ke rumah sakit."
"Boleh banget, Mbak. Silakan kalau Mbak mau nemenin ibunya. Aku kasih izin," jawab Melisa tanpa berpikir panjang. Namanya anak pasti akan khawatir kalau ibunya lagi sakit. Melisa tidak mungkin melarang Desi pergi.
Mata Desi berbinar. Entah untuk yang keberapa dia kagum dengan perempuan di hadapannya sekarang. "Makasih banyak, lho, Mbak. Saya nggak tahu mau bales apa."
"Sama-sama, Mbak. Uangnya ini mau transfer atau dalam bentuk cash?"
"Kalau ada cash aja, Mbak."
"Oke, aku ambil sebentar di atas, ya."
Melisa beranjak ke kamar. Sesampainya di sana, perempuan itu mendekati lemari, membuka sebuah laci yang letaknya di dalam lemari tersebut. Dia mengambil dua gepok uang seratus ribuan. Setelah menutup pintunya, Melisa bergegas turun.
Melisa menuruni tangga pelan-pelan seraya membawa amplop cokelat berisi uang. Saat tiba di dua anak tangga terakhir, entah karena kurang hati-hati atau memang lantainya licin, kaki Melisa melayang dan dia mulai kehilangan keseimbangan.
Wah, parah nih, Nisa, bikin bumil ada masalah mulu 🙄
Di Karyakarsa udah sampai part 84, lho.
Oh ya btw, yang minta Inayah dipersatukan dengan Mas Ahsan, pertanyaannya gimana caranya? 😭 Secara Inayah, kan, di Jogja, Mas Ahsan di Semarang. Ada ide dari kalian mungkin?😭
Habis ini aku mau nulis yang uwu2 ah. Walau tema yang kemarin voting itu nggak ada uwu-nya sama sekali 😭😭😭
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro