Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

78 - Potong Rambut

Rumah terasa hampa setelah tiga penghuninya pergi. Malam ini Melisa membawa Xania tidur bersamanya. Namun, beberapa kali perempuan itu terbangun. Bukan karena Xania rewel, melainkan karena teringat Candra. Melisa baru tertidur pulas pada pukul tiga pagi dan bangun ketika Xania menepuk wajahnya.

Setelah memandikan Xania, Melisa mengajak anak itu turun ke dapur. Namun, Xania terus berontak di gendongan mamanya, minta turun. Melisa menurutinya. Begitu menapaki lantai, Xania merangkak menuju tangga. Melisa sempat panik melihat anaknya, tetapi Xania tahu dirinya harus berhati-hati. Anak itu menuruni tangga dengan posisi menghadap ke anak tangga.

"Ya ampun, mau turun sendiri. Jauh tau."

"Babab!"

"Iya, iya. Ya udah silakan turun sendiri."

Melisa turun tiga anak tangga supaya bisa menjaga Xania dari bawah. Anak itu benar-benar tidak mau diangkat. Setiap kali Melisa merentangkan tangannya, Xania berteriak. Yang harusnya turun ke lantai dasar memakan waktu semenit sampai lima menit, sekarang lebih lama karena harus menunggu Xania.

Akhirnya Xania berhasil turun dan merangkak lagi menuju ruang tengah. Melisa tidak mampu mengejar lagi. Perutnya engap setiap kali melangkah cepat. Perempuan itu belok ke dapur, mengambil makanan untuk sarapannya dan Xania.

Alunan musik dangdut menggema dari luar. Ada Mas Agus yang sedang merapikan tanaman-tanaman milik Sarina di teras rumah. Melisa tidak pernah mempermasalahkan apa yang dilakukan para asistennya. Toh, mereka sudah mengerti tidak akan mengganggu ketenangan Xania.

Mendengar musik, Xania yang sedang berdiri berpegangan pada sofa itu menggerakkan pantatnya. Melisa yang baru datang spontan tertawa. Ini pertama kalinya Xania joget-joget saat terdengar musik.

"Goyang terus, Bu!"

Xania tertawa renyah dan tidak berhenti menggoyangkan tubuhnya. Tentu saja Melisa mengabadikan tingkah anaknya dalam bentuk video dan mengirimkan hasilnya ke Candra. Tidak lama, musik mati karena Mas Agus sepertinya menerima telepon. Ruangan seketika hening dan Xania menggerakkan kepalanya, seolah-olah sedang mencari sumber suara.

"Yah, udah mati. Berarti Xania harus makan dulu. Sini sama Mama."

Xania yang menurut langsung menghampiri mamanya. Selanjutnya, Melisa mendudukkan Xania di highchair. Tidak lupa memasang sabuk pengaman supaya Xania tidak lari-lari saat makan.

Usai berdoa, Melisa mulai menyuapi Xania. Hingga suapan ketiga, Xania masih menerima. Namun, suapan selanjutnya, Xania terus menolak. Jari anak itu menunjuk piring Melisa.

"Punya Mama keras, Sayang. Xania belum bisa makan."

"Mamam!"

"Iya. Xania makan yang ini, ya."

"Moh!"

Melisa tertawa kecil. Tangannya menoel pipi Xania. "Siapa yang ngajarin bilang moh?"

"Ababab!"

"Ya, udah, iya."

Melisa lantas meminta tolong Desi mengambilkan makanan Xania tapi pakai piring dan sendok biasa.

"Nih, sama, kan, kayak punya Mama. Sekarang Xania makan lagi, ya."

Melisa mencoba menyuapi Xania lagi. Setelah peralatan makannya diganti, Xania mau makan lagi. Melisa jadi bersemangat.

Piring sudah kosong, bahkan makanan yang tadi ada di piring Xania juga habis. Xania berhasil makan banyak pagi ini. Tentu saja Melisa bahagia melihat anaknya lahap makan lagi meski sebelumnya kesulitan.

"Yeay, makanan Xania udah habis!" seru Melisa seraya bertepuk tangan.

Xania memperhatikan Melisa sebentar, lalu mengikuti gerakan mamanya. Melisa kian senang. Katanya memang sedang masanya bayi meniru gerakan orang tuanya.

Sekarang giliran Melisa yang menyantap oatmeal yang sudah mekar karena ditinggal lama, sementara Xania bermain bersama Desi. Karena belum kenyang, Melisa pergi ke dapur lagi untuk mengambil empat potong nugget ikan lele yang tadi jadi lauk Xania. Menjelang trimester dua, Melisa tidak merasakan mual dan muntah lagi. Sebagai gantinya sekarang sering merasa lapar.

"Mbak Mel setuju nggak kalau rambutnya Xania dirapiin?" tanya Desi. "Soalnya saya lihat dari kemarin Xania mainin rambutnya mulu. Mungkin kena matanya atau gatel pas kena telinga."

Melisa terdiam sejenak. Saran dari Desi cukup bagus juga. Sejak acara akikah itu, Xania memang belum pernah potong rambut lagi. Sekarang rambut anak itu panjang, tetapi keriting. Sama seperti milik Melisa. Kadang-kadang Melisa ikat biar tidak mengganggu aktivitas anaknya.

"Boleh, deh, Mbak. Nanti siang kita bawa Xania ke salon."

"Nggak perlu ke salon, Mbak. Saya bisa, kok."

Mata Melisa melebar. "Serius, Mbak?"

"Iya, Mbak. Saya udah biasa motong rambut anak-anak. Asal di sini ada guntingnya, saya bisa, Mbak."

"Oh, kayaknya ada gunting yang buat rambut. Ya udah, deh, kalau gitu enaknya potong di mana?"

"Potong di sini aja, Mbak. Kalau di luar takutnya ada angin."

"Oke, nanti Xania duduk di highchair-nya."

Selanjutnya, Melisa meminta tolong Ambar mencari gunting rambut. Di waktu yang bersamaan, Melisa mendudukkan Xania di highchair-nya, lalu memasang celemek yang tadinya sering untuk menyusui. Xania yang kebingungan itu menatap wajah mamanya.

"Xania potong rambut dulu, ya. Cuma sedikit, kok. Kalau rapi, kan, Xania yang senang."

Desi sudah berdiri di samping highchair Xania, sementara Melisa di depan, mengajak Xania bertepuk tangan. Desi mulai menyisir rambut Xania, mengambil sedikit yang akan dipotong. Namun, Xania menggerakkan kepalanya saat Desi ingin menggunting rambutnya.

"Lihat sini. Mama punya mainan!" Melisa berusaha mengalihkan perhatian anaknya, tetapi Xania justru berontak, merengek, dan menarik kain yang melilit di lehernya.

Akhirnya Melisa mengangkat Xania dari tempat duduknya, kemudian duduk di kursi dan Xania berada di pangkuannya. Melisa memegangi kedua tangan Xania supaya tidak berontak. Saat Desi ingin memulai aksinya lagi, Xania merengek.

"Nggak apa-apa, Sayang. Mbak Desi cuma potong rambutnya Xania," kata Melisa menenangkan anaknya.

"Mbak Desi boleh potong rambut Xania? Sedikit aja." Giliran Desi yang berbicara dan mulai memotong rambut Xania. Anak itu mulai menangis.

"Nggak apa-apa. Itu namanya gunting. Nggak akan melukai Xania, kok. Mbak Desi hati-hati." Melisa mengusap air mata di pipi Xania.

Desi tetap melanjutkan pekerjaannya meskipun Xania terus menangis. Melisa sekuat tenaga menahan tubuh anaknya yang terus memberontak. Sampai bunyi ponsel di dalam saku diabaikan.

"Udah selesai! Rambut Xania udah rapi," ucap Desi setelah menyisir rambut Xania. Sekarang rambut anak itu pendek. Tidak menutup telinganya lagi. Melisa cukup puas dengan hasilnya.

Begitu potong rambut selesai, Melisa berdiri sambil menggendong Xania. Kain yang menutup tubuhnya kini dilepas. "Wah, Xania rambutnya baru. Makasih, Mbak Desi."

Melisa mengelus punggung Xania supaya tangisnya mereda. Setelah itu, merogoh ponsel dari dalam saku baju. Begitu layarnya dihidupkan, rupanya panggilan video tak terjawab dari Candra. Melisa kemudian memanggil ulang. Semoga saja Candra belum pergi.

Tidak butuh waktu lama, Candra menerima panggilan itu. Dari layar, terlihat laki-laki itu sedang di dalam mobil. Melisa duduk di sofa, menyorotkan kamera ponselnya ke wajah Xania.

"Itu Ayah. Halo, Ayah, gitu."

Xania beralih menatap layar ponsel yang menampilkan wajah ayahnya.

"Xania habis nangis, ya?" Candra bertanya.

"Iya. Barusan Xania potong rambut. Dipotongin sama Mbak Desi. Gimana, Yah? Bagus nggak rambut Xania sekarang?"

"Kependekan, sih, tapi bagus, kok. Habis ini nggak usah dipotong lagi, ya. Biar panjang kayak punya mamanya."

"Oke, Ayah. Bilang oke, gitu, Nak."

"Abab!" Xania hendak mengambil ponsel di tangan mamanya. Melisa memberikannya. Sambil memegang ponsel Melisa, Xania mengoceh panjang lebar. Seolah-olah sedang bercerita pada ayahnya.

"Iya, Ayah lagi di jalan mau ke bandara. Xania jangan nangis lagi, ya. Potong rambutnya, kan, udah selesai."

"Auh!"

"Xania tadi joget-joget, ya? Pinter banget anak Ayah."

"Udah bisa tepuk tangan juga," timpal Melisa.

"Oh, ya? Ayah jadi kangen sama kamu."

Belum sempat Melisa bicara lagi, Xania melempar ponsel mamanya hingga terkapar di lantai. Ambar yang membantu Melisa mengambil ponselnya.

"Nggak mati tapi panggilannya terputus, Mbak. Mungkin Xania yang mencet sebelum dibuang."

Melisa mengucapkan terima kasih, lalu mencium kedua pipi Xania karena gemas.

"Jangan dilempar lagi, ya. Kalau udah nggak mau langsung kasih Mama."


Wahai kalian yang ingin double update. Tunjukkan pesonamu. 💃💃💃

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro