Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

77 - Terpisah Sementara

Paginya, mereka sarapan bersama. Melisa sudah bisa makan sedikit-sedikit saat pagi hari. Namun, tahu sebentar lagi akan berpisah dengan suaminya, selera makan Melisa tiba-tiba hilang. Dia tetap makan karena tidak mau membuat Candra khawatir dengan keadaannya.

"Udah siap semua, kan, Mbak?" tanya Candra kepada Mbak Lala.

"Sudah, Mas. Semalam sudah saya beresin semua, terus tadi saya cek lagi, nggak ada yang ketinggalan."

"Habis ini minta Mas Agus buat taruh di dalam mobil, ya, Mbak."

"Iya, Mas."

Suara sendok ketika diletakkan di atas piring terdengar. Melisa menyudahi makannya padahal masih tersisa di piringnya. Melihat itu, Candra ikut berhenti makan dan beralih menatap Melisa.

"Kenapa nggak habis, Sayang?"

Melisa menyesap air putih sebelum menjawab suaminya. "Udah kenyang, Yah," jawabnya sembari meletakkan gelas kosong.

"Apa!" Xania bersuara kencang di kursinya. Sekitar pipi dan tangannya penuh dengan warna ungu karena makan buah naga disuapi Desi.

Candra tersenyum memandang anaknya. "Oh, kamu juga mau ditanyain?"

"Babab."

"Xania makan apa?"

"Bah."

"Oh, buah. Xania makan yang banyak, ya. Jangan disisain kayak Mama."

Xania kemudian menerima suapan selanjutnya dari Desi. Tentunya tangan dan kaki tidak berhenti bergerak. Sampai-sampai minumannya tumpah di meja. Desi dengan sigap membersihkannya. Tidak masalah meja, kursi, bahkan tubuh Xania penuh dengan buah naga. Asalkan anak itu mau makan sampai habis.

Selesai makan, Xania ganti baju dulu karena terkena percikan air dan buah naga. Sementara itu, Candra membantu Mas Agus memasukkan koper-koper ke dalam bagasi. Melisa sendiri tidak melakukan apa pun. Dia memilih menyingkir untuk menegakkan hatinya yang sebentar lagi akan ditinggal Candra. Ah, tinggal beberapa jam lagi, tetapi hati sudah ketar-ketir.

Setelah semuanya sudah siap, mereka lantas menaiki mobil dan berangkat ke bandara. Di dalam mobil, Xania tidak berhenti mengoceh. Agar tidak bosan, Melisa memberikan mainan yang biasa anak itu mainkan ketika di rumah. Boneka rajut juga tidak boleh ketinggalan.

Sampai di bandara satu jam kemudian, Sarina dulu yang harus dipindahkan ke kursi roda. Mereka bergerak menuju terminal keberangkatan. Candra masuk ke konter check in, menunjukkan tiket, paspor, dan surat keterangan kesehatan milik Sarina. Usai berbincang sebentar, petugas konter check in memberikan boarding pass dan barang-barang mereka masuk ke bagasi pesawat setelah ditimbang dan diberikan label, termasuk kursi roda milik Sarina. Selama menunggu keberangkatan, Sarina menggunakan kursi roda yang disediakan maskapai.

Mereka pindah ke ruang tunggu karena waktu penerbangan masih sekitar 30 menit lagi. Candra memanfaatkan waktu tersebut dengan mengajak Xania melihat pesawat yang terparkir dari jendela besar. Xania tampak melongo menyaksikan penumpang yang terlihat seperti semut keluar dari pesawat.

"Ada pesawat yang lagi pushback, Nak!" seru Candra seraya menunjuk pesawat yang sedang didorong mundur menggunakan semacam traktor kecil. "Pesawat itu nggak bisa mundur sendiri, Sayang. Jadi, harus dibantu dari bawah. Nanti traktor kecil itu bakal menarik mundur pesawat keluar dari tempat parkir sampai landasan pacu. Terus yang nyetir traktornya itu akan komunikasi terus sama pilot sampai selesai."

Daripada menyaksikan pesawat itu, Xania justru menatap ayahnya tanpa kedip. Seolah-olah mencoba memahami penjelasan dari sang ayah. Melihat tingkah anaknya, Candra tersenyum. Memang secara fisik anak ini mirip dirinya, tetapi tingkah lakunya persis seperti Melisa. Masih terlalu dini untuk menyimpulkan karena Xania masih bayi. Namun, Candra tidak bisa berbohong ada sifat Melisa yang menempel di dalam diri anak ini.

"Buh!" seru Xania seraya tangannya menunjuk jendela besar. Candra mencium pipi Xania.

"Ayah tinggal sebentar nggak apa-apa, ya. Kamu nggak boleh nakal, ya. Jangan bikin Mama susah."

"Abu."

"Nanti kalau tinggal di rumah baru, Ayah beliin mainan baru, ya. Tapi, kamu jangan nakal."

Pengumuman boarding untuk penerbangan tujuan Jakarta pun terdengar. Ini momen paling mendebarkan. Sebenarnya Candra tidak rela berpisah dengan anaknya. Berat meninggalkan Melisa dalam keadaan hamil. Andai bisa, Candra ingin mengajak mereka sekarang. Akan tetapi, pindah tempat juga butuh proses. Tidak bisa seenaknya.

"Sekarang Xania lihat pesawatnya sama Mbak Desi, ya."

Xania mau saat dipindahkan ke tangan Desi. Namun, ketika tahu ayahnya akan pergi, Xania mulai merengek dan memberontak. Desi kemudian membawa Xania jalan ke tempat lain.

Sementara itu, Melisa mulai berpamitan dengan Sarina.

"Ibu di sana baik-baik, ya. Jangan bikin Mbak Lala sama Mas Candra susah. Pokoknya jangan aneh-aneh."

"Kamu seneng, kan, Ibu pergi?"

"Ya ... kalau Ibu doang yang pergi, Mel seneng banget, Bu! Kayak surga dunia itu ada di depan mata."

Sarina menatap tajam, sementara Melisa meringis. Tangannya melambai menyentuh bahu Sarina.

"Bercanda, Bu. Jangan masukin hati. Damailah kita. Mau punya cucu tiga, nih, Bu," kata Melisa seraya mengelus perutnya.

Sarina tidak membalas. Karena itu pula Melisa meraih tangan ibu mertuanya untuk dicium.

"Kalau pesawatnya mau naik, Ibu berdoa yang banyak. Kena turbulensi itu nggak enak, Bu."

"Kamu jangan aneh-aneh. Jangan karena anakku tinggal jauh, kamu bisa seenaknya main sama laki-laki lain."

Melisa tersenyum demi menahan tawanya. "Ngomong sama Ibu nggak ada habisnya. Udah, ah, Mel mau peluk-pelukan sama anak Ibu yang perkasa."

"Gilani!"

Melisa melengos pergi, menghampiri Candra yang sejak tadi menunggunya. Sama seperti Sarina barusan, Melisa mencium tangan suaminya. Namun, mulutnya tidak mengeluarkan satu kata pun karena bola matanya mulai memanas. Tenggorokannya tercekat.

"Kamu sehat-sehat, ya. Aku nggak mau denger kamu kenapa-napa di sini." Candra mengelus kepala istrinya.

Diperlakukan seperti ini, Melisa tidak bisa menahan diri lagi. Untuk menyembunyikan tangisnya, Melisa merengkuh tubuh Candra, menyandarkan kepalanya di dada.

"Sebentar, ya, Mas."

Candra mengangguk seraya mengusap punggung Melisa. Padahal, hanya dua bulan, tetapi kenapa rasanya seperti ditinggal bertahun-tahun? Padahal sering meninggalkan Melisa terbang ke berbagai negara, tetapi kenapa rasanya begitu berat? Candra terpaksa merelakan melewati perkembangan Xania selama dua bulan ke depan. Dia akan menjadi orang terakhir yang mendapat kejutan dari Xania.

Belum ada lima menit, Melisa melepas pelukannya. Kemudian, menyeka air mata yang telanjur keluar. Setelah itu, dia mencium tangan Candra lagi. Kali ini, Candra membalasnya dengan mengecup kening, kedua pipi, dan bibir Melisa, lalu turun untuk mengelus dan mencium perut istrinya.

"Sehat-sehat di sana, ya, Nak. Dua bulan kita ketemu lagi."

Tidak mau menangis lagi, Melisa beralih ke arah Mbak Lala. Mereka bersalaman sebentar.

"Titip Ibu sama Mas Candra, ya, Mbak."

"Iya, Mbak. Mbak juga hati-hati, ya, di sini."

"Jangan lupa kabarin kalau udah sampai. Mel pantau, lho, dari flight radar."

Melisa justru balik badan saat Candra, Sarina dan Mbak Lala melangkah menuju boarding gate. Dia tidak mau menyaksikan mereka terus menangis lagi. Sungguh bagian paling berat ketika berpisah dengan orang-orang yang disayang, meskipun hanya sementara. Melisa dipaksa tegar dengan keadaannya sekarang. Ya, suka tidak suka Melisa harus menjalaninya, kan?


Halo, di Karyakarsa udah sampai bab 82 lho. Yang mau baca part 81 & 82 bisa pakai voucher ini ya: SatnightbarengXania.

***

Santai dulu ya. Habis ini bakal ada ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro