76 - Terpaksa LDR
Hari yang Melisa ingin hapus akhirnya datang juga. Malam sebelum berangkat, setelah Xania tidur, Melisa membantu Candra memasukkan pakaian ke koper. Pakaian pria itu tergolong sedikit dan harusnya memakan waktu yang singkat. Namun, Melisa sengaja melambat karena tahu besok akan berpisah.
"Mas, nggak bisa ditunda, ya? Perginya dua bulan lagi gitu, nggak bisa?"
Candra yang baru selesai meletakkan koper di dekat pintu lantas duduk di samping istrinya, kemudian memandang lekat-lekat wajah Melisa. "Nggak bisa, Sayang."
Melisa memainkan bibirnya. Hatinya makin tidak karuan. Dia tidak siap menyambut hari esok. "Aku ikut sekarang sama Mas, ya."
"Lho, dokter, kan, belum bolehin kamu bepergian jauh, Sayang. Lagian cuma dua bulan."
"Dua bulan itu lama, Mas. Udah, ya, aku ikut aja. Aku kuat, kok, duduk di pesawat."
"Ya, tetep nggak bisa. Kamu harus beli tiket pesawatnya dan itu belum pasti dapet. Lagian, wanita hamil diperbolehkan naik pesawat kalau usia kandungannya di atas 21 minggu. Lah, kamu, kan, belum ada 21 minggu."
Perempuan itu menghela napas. Padahal, sebelumnya dia sudah yakin akan kuat kalau berpisah sementara selama dua bulan dengan Candra. Akan tetapi, begitu harinya tiba, berat menggelayut hatinya. Melisa jadi tidak yakin bisa melalui hari-hari selanjutnya tanpa Candra di sini. Apa ini karena bawaan bayi?
Soal Sarina, setelah dibujuk berkali-kali, akhirnya wanita itu mau dibawa ke Jakarta. Di kamarnya, Mbak Lala sedang mempersiapkan keperluannya dan Sarina selama di sana. Rencananya barang-barang lainnya akan diangkut setelah Melisa pindah.
Setelah beberapa menit, Melisa merasakan bahunya dipeluk dari samping. Tidak mau membuang kesempatan, Melisa menyandarkan kepalanya di dada suaminya.
"Kayaknya aku nggak bisa, Mas," ucap Melisa pelan.
"Kan, belum dicoba. Lagian, sebelumnya kita sering begini, kan?"
"Ya, kan, beda. Kalau kemarin-kemarin Mas bisa pulang. Sekarang nggak."
Candra mengecup puncak kepala istrinya. "Nanti kalau udah selesai training-nya terus ada rute ke sini, aku bakal pulang."
"Mas jangan genit di sana."
"Emang aku pernah begitu?"
"Ya, siapa tahu, kan? Karena nggak ada aku, Mas bisa bebas bawa perempuan ke rumah."
"Amit-amit!" Candra makin mengeratkan pelukannya. "Kamu aja nggak habis-habis, masa mau cari makanan yang lain."
Sekarang posisinya ganti. Candra tiduran di paha Melisa. Tangannya mengelus perut sang istri yang sudah terlihat. Sesekali dicium juga.
"Mereka udah bisa nendang belum?" tanya Candra.
"Belum, sih, Mas. Aku belum ngerasain dari kemarin. Mungkin minggu depan atau minggu depannya lagi. Kok, lupa tanya, ya, kemarin pas ketemu Dokter Indi." Melisa pun memainkan rambut suaminya.
"Mel, kalau misalnya habis anak ini lahir, kamu berhenti hamil nggak keberatan, kan?"
"Nggak apa-apa. Aku juga pengennya begitu. Buat aku, tiga anak udah cukup. Daripada waktunya dipakai buat produksi terus, ya mendingan dipakai buat membesarkan yang udah lahir aja. Terus aku juga nggak mau memberatkan Mas. Biaya hidup kita pasti makin banyak kalau punya anak banyak."
Mendengar jawaban istrinya, Candra merasa lega. Dia pun memikirkan semua itu semata-mata tidak ingin memberatkan istrinya. Mengurus anak tidak mudah, ditambah jaraknya dekat, meskipun dibantu pengasuh. Dia ingin fokus membesarkan Xania dan kedua adiknya supaya kasih sayangnya merata.
"Kalau nanti anak kita cewek semua, Mas nggak apa-apa?"
"Aku nggak pernah ada masalah sama jenis kelamin, Sayang. Yang penting mereka sehat, mereka sempurna. Malah bagus, kan, tiga cewek. Aku yang paling cowok sendiri dikelilingi bidadari cantik."
"Terus Mas ada niatan pensiun pas masih muda nggak?"
"Ada. Mungkin nanti pas anak-anak umurnya sepuluh tahun, aku kira-kira udah umur 45."
Alis Melisa terangkat sebelah. "Kenapa di umur segitu?"
"Aku nggak mau kehilangan masa kecil mereka. Kalau mereka udah remaja, pasti sibuk sama urusan masing-masing, kan."
"Terus, kalau udah nggak kerja jadi pilot, Mas mau kerja apa?"
"Nanti, kan, kita pulang ke sini lagi, ya. Aku mau bikin usaha peternakan sapi kayak Papa."
"Apa?" Tentu saja Melisa terkejut mendengar itu. Selama ini, Candra tidak pernah membahas tentang itu. Bahkan, Melisa tidak pernah membayangkan suaminya kepikiran ingin punya usaha seperti Hartanto. "Jangan bercanda, dong, Mas. Buka usaha itu nggak gampang, lho."
Candra lantas menegakkan tubuhnya, menatap Melisa sembari memperbaiki anak rambut di sekitar pipi perempuan itu. "Jadi pilot juga nggak gampang, Sayang. Aku harus ikut akademi dulu, terus latihan terbang bareng pilot senior, ujian biar dapet lisensi, sampai akhirnya boleh terbang sendiri. Apa bedanya sama ini, kan? Aku juga nggak asal-asalan. Udah dari sekarang aku belajar sama Papa."
"Jadi, Mas udah ngomong sama Papa juga?"
"Iya."
Melisa tertegun. Sungguh dia tidak pernah membayangkan ini sebelumnya.
"Kalau aku boleh kerja lagi nggak, Mas?" Melisa memberanikan diri bertanya seperti itu.
"Boleh kalau anak-anak udah besar."
"Anak-anak udah besar itu pastinya kapan, Mas?"
"Ya, kalau mereka udah ngerti mamanya kerja."
Melisa menggaruk kepalanya, berusaha mencerna. Berarti antara anak-anak sudah bisa bicara atau kalau mereka sudah sekolah. Oke, berarti mulai dari Xania dulu harus diajak ngobrol tentang orang tua yang bekerja.
"Sekarang tidur, yuk. Besok aku nggak mau ketinggalan pesawat."
Candra bangkit, kemudian merapikan bantal-bantal dan mengganti lampu tidur. Melihat suaminya bersiap untuk tidur, Melisa yang tadinya mendung justru kepikiran sesuatu.
"Mas, nggak mau bikin salam perpisahan gitu sebelum tidur?"
Ucapan Melisa otomatis menghentikan Candra yang sedang membetulkan tali guling. "Maksudnya?"
"Kita, kan, sebentar lagi LDR. Ya, masa Mas nggak mau seneng-seneng sama istrinya sebelum pergi," jawab Melisa seraya menaikturunkan alisnya.
Tahu ke mana arah pembicaraan istrinya, Candra meletakkan guling itu. "Kita bisa ngelakuin itu pas babymoon nanti."
"Ih, kelamaan. Sekarang juga aku udah bisa, kok. Kata dokter udah boleh." Untuk kalimat terakhir, Melisa mengucapkannya setengah berbisik. Padahal, di kamar ini hanya berdua. Ini salah satu cara supaya keraguan Candra terkikis.
Candra berusaha mengabaikan dengan rebahan di kasur. Demi Tuhan, kalau Melisa yang begini dia akan mudah terpancing. Namun, dia masih waras memikirkan kesehatan Melisa. Toh, hal seperti itu bukan sesuatu yang mendesak. Waktu hamil Xania, Candra kuat menahan hasratnya sampai usia kandungan Melisa tujuh bulan. Sekarang apa bedanya?
Tidak ada pergerakan dari suaminya, Melisa akhirnya pindah posisi, mendekati suaminya. "Mas beneran nggak mau?"
"Aku nggak mau kamu kenapa-napa setelah itu. Besok aku pergi dan itu nggak bisa ditunda. Kalau kamu sakit, aku yang kepikiran, kan? Aku masih kuat. Waktu Xania juga begitu. Intinya aku nggak mau bikin kamu kenapa-napa."
Melisa terperangah. Sebenarnya dia juga belum yakin mampu melayani Candra. Dia baru saja melalui mual dan muntah yang parah. Namun, Melisa juga kepikiran sebentar lagi mereka berjauhan dan Candra kesulitan menyalurkan keinginannya. Melisa khawatir kalau akhirnya Candra sampai melakukan hal di luar batas.
Melisa berusaha meneguhkan hatinya. Hampir enam tahun hidup bersama, harusnya dia sudah sangat percaya. Toh, selama ini, Candra tidak pernah aneh-aneh, padahal di luar sana kesempatannya lebih banyak. Candra selalu kembali kepadanya. Selalu membutuhkannya. Tidak ada gunanya memikirkan sesuatu yang belum tentu terjadi.
Tidak ada tanda-tanda Candra akan menarik kata-katanya, Melisa akhirnya ikut berbaring dan tangannya melingkar di pinggang Candra.
"Makasih, ya, Mas, udah mau ngerti. Aku makin sayang sama Mas."
Di Karyakarsa, aku sudah sampai bab 80 lho. Yang mau baca part 79 & 80, bisa pakai voucher ini ya DESIKENAPA berlaku sampai hari ini.
Waah nggak nyangka udah sebanyak itu jumlah babnya 😂😂😂
Meskipun tidak jadi tamat di bab 80, cerita ini tetep tamat, ya. Kemungkinan besar tamat di akhir bulan ini. Habis itu aku mau move on bentar, bikin cerita baru 🙂
Mas Ahsan bakal ada ceritanya kok. Penasaran kan gimana red flag-nya si Mutia? Aku udah kepikiran plotnya, cuma masih bingung siapa yang bakal jadi calon mama baru Tiara. Mungkin ada saran dari kalian?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro