75 - Lihat Adik
Pagi ini, Melisa dan Candra akan berangkat ke rumah sakit untuk imunisasi sekaligus cek kandungan. Perempuan itu sudah siap dengan tubuh yang dibalut dress ibu hamil. Dia tidak berhenti tersenyum saat melihat perutnya tampak menonjol dari pantulan cermin. Rasanya baru kemarin dia melakukan hal yang sama waktu hamil Xania.
Melisa sempat kepikiran baju-baju hamil yang dulu tidak muat lantaran sekarang sedang mengandung bayi kembar. Namun, Ratna berhasil membuatnya tenang. Baju-baju hamilnya masih cukup meskipun perutnya lebih besar dari kehamilan sebelumnya. Melisa tidak perlu beli baju baru.
"Udah siap, Sayang?" Candra muncul dari balik pintu. Laki-laki itu sudah berganti pakaian sejak dua puluh menit yang lalu.
Melisa memutar badan, tersenyum ke arah suaminya. "Aku cantik nggak, Mas?"
"Cantik," jawab Candra, tetapi mata mengerjap, dahinya berkerut. "Kamu ngga minta aku dandan kayak waktu hamil Xania, kan?"
Spontan Melisa tertawa. "Masih inget aja. Nggak, kok. Aku, kan, cuma tanya."
"Ya, udah, ayo, turun. Xania udah nungguin mamanya di bawah."
Salah satu kelebihan punya pengasuh adalah ini. Xania dan Melisa bisa dandan dalam waktu bersamaan. Ya, sebenarnya kalau Candra di rumah sangat membantu juga, sih. Punya suami pintar pun ada untungnya, kok. Candra sudah hafal urutan skincare Xania.
Candra menggandeng tangan Melisa keluar dari kamar. Tiba di anak tangga paling bawah, mereka melihat Ambar menutup dan membuka wajahnya lalu Xania tertawa renyah di gendongan Desi. Anak itu sangat cantik dengan dress warna pink dengan rempel di bagian lengannya. Untuk bawahan, Xania memakai celana longgar warna putih agar memudahkan ketika divaksin lagi, menutup sampai telapak kakinya. Supaya makin manis, rambut Xania dikuncir dua dan kakinya terbungkus sepatu rajut.
Melihat tingkah itu, Melisa tidak tahan untuk segera menghampiri Xania.
"Ah!" Xania berteriak dan berontak di gendongan Desi. Saat Melisa mendekat, Xania masih menghindarinya. Berbeda saat Candra yang merentangkan tangannya, Xania kegirangan. Anak itu langsung menempel di tubuh ayahnya.
Melisa mengerucutkan bibirnya. "Gitu, ya, sekarang. Xania nggak mau sama Mama?"
"Mama, kan, ada adik bayi sekarang," jawab Candra.
Melisa makin cemberut.
"Sekarang Xania ketemu sama Dokter, ya."
"Saya ikut?" tanya Desi.
"Mbak Desi di rumah dulu, ya. Soalnya ini mau sekalian periksa kandungan," jawab Melisa.
"Iya, Mbak."
Setelah itu, mereka bertiga bergegas masuk ke mobil. Xania mau dipangku Melisa. Tidak duduk di car seat-nya. Sepanjang perjalanan, anak itu minta berdiri di dekat jendela mobil. Xania terus mengoceh di atas paha mamanya.
Sekitar satu jam, mereka sampai di rumah sakit. Xania beralih ke gendongan ayahnya. Tempat pertama yang mereka kunjungi adalah dokter anak. Beruntung Xania masuk di antrean pertama.
"Selamat pagi! Xania cantik sekali. Makin gemoy, ya." Dokter Mira menyapa. "Sekarang ditimbang dulu, ya. Dokter mau lihat, nih, beratnya Xania udah berapa sekarang."
Xania lantas didudukkan di sebuah timbangan digital. Ternyata berat badan anak itu turun dari bulan lalu. Raut wajah Melisa berubah mendung. Padahal, tangan, kaki, dan pipi Xania terlihat gemuk, tetapi kenapa tidak berpengaruh ke berat badannya? Apa karena akhir-akhir ini susah makan? Apa karena sekarang tinggal minum ASI lagi?
"Nggak apa-apa, ya. Bulan depan pasti naik lagi," kata Dokter Mira.
Melisa sempat tertegun mendengar itu. Dia kira dokternya akan bertanya kenapa berat badan Xania turun. "Akhir-akhir ini susah makan, Dok. Terus, sekarang udah nggak minum ASI lagi. Itu pengaruh nggak, Dok?"
"Ya, biasanya emang seperti itu. Bayi juga perlu beradaptasi sama perubahan. Selama masih di grafik hijau, Ibu nggak perlu khawatir. Soal susah makan, coba divariasikan aja makanannya dan tetap pastikan gizinya terpenuhi, ya."
"Iya, Dok."
Selanjutnya, Dokter Mira mengukur lingkar kepala dan panjang badan Xania. Tidak lupa memeriksa bagian rongga mulut anak itu. "Bagus semuanya, ya."
"Dok, kalau gigi bayi itu selesai tumbuhnya kira-kira di usia berapa?" Kali ini Candra yang bertanya.
"Tiap anak beda-beda, Pak. Ada yang satu tahun sudah lengkap, ada yang baru lengkap ketika usianya tiga tahun. Kalau Xania ini pertumbuhan giginya termasuk normal, sesuai dengan usianya. Tapi, jangan khawatir kalau misalnya gigi bagian belakang dulu yang tumbuh atau sebaliknya. Itu wajar terjadi karena setiap anak berbeda pertumbuhannya. Jangan lupa dijaga kebersihan mulutnya, ya, supaya tidak menghambat pertumbuhan giginya."
Melisa dan Candra mengangguk.
Tibalah saatnya Xania diberikan vaksin. Anak itu ditidurkan di sebuah bed. Tangan dan kakinya dipengangi Candra. Melisa kebagian mengalihkan pandangan Xania dari Dokter Mira dengan mengajak anaknya main 'ciluk ba'.
Saat Dokter Mira berhasil menyuntik pahanya, Xania terdiam sejenak, tetapi tak lama wajahnya berubah dan tangisannya melengking. Baru ketika digendong dan dielus punggungnya oleh Candra, tangis Xania perlahan mereda.
"Makasih Dokter udah suntik Xania."
Dokter Mira menyentuh tangan Xania. "Semoga sehat terus, ya. Kalau ada keluhan jangan lupa hubungi saya, ya."
"Oke, Dok."
Urusan di dokter anak selesai, saatnya beralih ke dokter kandungan. Sesampainya di sana, mereka duduk di ruang tunggu karena masih harus menunggu panggilan. Supaya Xania tidak bosan, Melisa memberikan biskuit. Namun, rupanya tidak cukup. Selang beberapa menit, Xania mulai merengek. Memang ruangan ini ada banyak ibu-ibu yang ingin periksa kandungan. Mungkin Xania tidak suka dengan keramaian.
Candra akhirnya mengajak Xania jalan-jalan di sekitar ruangan itu. Sementara itu, Melisa tidak beranjak karena sebentar lagi gilirannya. Tahu begini, harusnya tadi Desi diajak saja supaya bisa membawa Xania main dulu.
"Itu anaknya, ya, Mbak?"
Melisa menoleh ke kiri, menemukan seorang perempuan berambut panjang. Perutnya sudah besar. "Iya, Mbak," jawabnya seraya tersenyum ramah.
"Anaknya masih kecil gitu udah ditinggal hamil lagi, Mbak? Nggak kasihan, Mbak? Emangnya nggak KB, ya?"
Senyum Melisa perlahan luntur. Sepertinya salah meladeni perempuan ini. "Iya, Mbak. Saya nggak KB."
"Ya ampun, nasibnya kayak saya. Ini saya lagi hamil anak keempat, ya gara-gara KB gagal itu. Padahal, saya nggak mau hamil lagi, tapi suami susah dibilangin. Disuruh pakai pengaman nggak mau. Akhirnya kebobolan pas anak sebelumnya masih empat bulan. Saya, tuh, capek hamil lagi. Mana biaya hidup nambah kalau banyak anak. Ini aja saya ke sini pake BPJS."
Melisa hanya mengangguk. Tidak tahu ingin menanggapi bagaimana. Dalam hatinya bersyukur karena diberi kelancaran rezeki dari suami.
Saat perempuan itu ingin bicara lagi, nama Melisa dipanggil. Mau tidak mau obrolan dadakan itu harus terputus.
"Permisi, ya, Mbak. Saya duluan."
Melisa masuk lebih dulu, sementara Candra dan Xania menyusul. Tentu saja kehadiran Xania membuat sang Dokter heboh.
"Wah, ada Xania. Lucu banget sebentar lagi mau jadi kakak, ya."
Melisa langsung menaiki sebuah timbangan. Saat melihat angkanya, mata Melisa terbelalak. Berat badannya melonjak. Yang semula 49, sekarang 57.
"Sus, ini timbangannya nggak lagi rusak, kan?" tanya Melisa pada Suster.
"Coba Ibu ulang aja."
Melisa mengikuti saran itu, tetapi hasilnya sama. Melisa menggaruk kepalanya. Wajahnya memanas karena malu.
"Itu wajar, kok, Bu. Kan, sekarang lagi hamil bayi kembar. Berat badan yang melonjak salah satu ciri-ciri kehamilan kembar." Dokter Indi akhirnya menjelaskan.
Melisa kemudian tiduran di atas bed. Sebagian pakaiannya sudah dinaikkan. Pemeriksaan USG dimulai. Layar di hadapan Melisa dan di depan Dokter Indi mulai menampilkan gambar dua janin yang sedang bergerak.
"Kepala dan badannya sudah terbentuk, ya, Bu. Beratnya cukup. Sebentar lagi jenis kelaminnya ketahuan. Kalau dari USG, mungkin akan terlihat di minggu ke-20. Ibu mau, coba tes NIPT lagi?"
"Boleh, Dok. Saya mau."
"Nanti habis ini Ibu bisa langsung diambil sample-nya, ya."
Melisa mengangguk.
"Ba!" Tiba-tiba Xania bersuara, mengalihkan perhatian tiga orang dewasa.
Candra mengecup pipi Xania. "Itu adik-adiknya Xania. Dulu Xania pernah ada di situ."
Mata Xania begitu fokus menatap layar, kemudian menoleh ke arah ayahnya. Tangannya lantas menunjuk ke arah tombol-tombol yang digunakan Dokter Indi.
"Xania mau pegang? Boleh."
Tentu saja anak itu sangat girang. Namun, saat mamanya selesai diperiksa dan layarnya berubah gelap, Xania merengek.
"Mama udah selesai, Nak."
Rengekan itu berubah menjadi tangisan. Melisa akhirnya dibantu turun oleh suster karena Candra sibuk menenangkan Xania.
"Besok lagi, ya, lihat adiknya."
Yang mau baca part 76, 77, dan 78 bisa ke Karyakarsa. Nah, untuk part 77 & 78 bisa pakai kode voucher ini: LDRLAGI, berlaku sampai besok.
***
Sebenernya seminggu terakhir ini, aku sakit. Sebelumnya pilek, terus pas pileknya sembuh, muncul lagi penyakit baru: diare 🤣🤣🤣 yang diare belum nemu obatnya sampai sekarang.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro