Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

74 - Pengen Megang Burung

Mamanya Xania: Mas harus lihat salah satu keajaiban dunia.

Pesan yang dikirim istrinya dua jam yang lalu berhasil menyita atensi Candra. Matanya tak berkedip setelah melihat potret ibunya sedang memangku Xania, bahkan menyuapi anaknya dengan sepotong apel. Sungguh tidak bisa dipercaya. Meskipun sudah lama tinggal serumah, Sarina tidak pernah dekat dengan Xania. Kalau Xania yang mencoba menarik perhatian, Sarina cuek.

Foto ini membuat Candra jadi tidak sabar untuk segera tiba di rumah. Namun, karena ini penerbangan terakhirnya di sini, setelah mendarat dia tertahan di bandara lantaran banyak rekan yang ingin memberikan ucapan selamat, bahkan diajak makan bersama. Candra pun menerima banyak buket bunga hari ini.

Harusnya Melisa dan Xania juga ada di sini. Rencana awalnya Candra ingin mengajak mereka terbang di penerbangannya yang terakhir. Namun, karena usia kandungan Melisa belum cukup untuk naik pesawat, terpaksa batal.

Melihat para kru berkumpul di satu meja, Candra teringat dengan Martin. Harusnya kalau masih hidup, dia juga ikut bergabung. Mungkin Martin akan memberikan ucapan selamat, memeluknya, dan melempar candaan. Sudah berbulan-bulan berlalu setelah kematian Martin, Candra tidak bisa melupakannya. Jika mengunjungi tempat-tempat yang pernah mereka datangi, Candra merasa Martin hadir di sampingnya.

Sayangnya Candra tidak bisa mendatangi makam temannya ketika rindu. Abu Martin disemayamkan di rumahnya dan hanya sekali Candra melihat karena privasi, seperti yang diinginkan Martin semasa hidupnya. Dia hanya bisa berdoa semoga Martin tenang di alam sana.

Selesai berkumpul, Candra memutuskan langsung pulang. Dia sudah tidak sabar bertemu dengan Xania. Kopernya terisi baju baru untuk anak itu. Omelan Melisa sepertinya tidak manjur. Dia tidak kuasa menahan diri agar tidak masuk ke toko pakaian anak-anak.

Candra tahu apa yang dilakukannya salah. Dia kalap membeli pakaian Xania dan berakhir tidak terpakai karena tidak muat. Mainan-mainan pun menumpuk di rumah. Candra ingin berhenti. Namun, di kepalanya selalu terekam bagaimana rasanya ditolak setiap kali ingin sesuatu. Sederhana minta dibelikan permen pun tidak pernah dikabulkan ibunya.

Sudah dikatakan dari awal Candra tidak ingin anak-anaknya merasakan hal yang sama. Sebisa mungkin dia menuruti keinginan mereka.

Hawa dingin berembus saat Candra membuka pintu mobil dan menapakkan kakinya di jalan menuju rumahnya. Lampu penerangan menyoroti tubuhnya. Setelah mengucapkan terima kasih, sang sopir melajukan kendaraan itu, sementara Candra mendorong kopernya memasuki rumah. Mas Agus adalah orang pertama yang ia temui.

"Mas Agus mau ke mana?" tanya Candra.

"Eh, Mas, sudah pulang. Anu ... saya mau pulang, Mas."

"Sudah makan?"

"Ini saya bawa, nggak bisa makan di sini. Sudah ditunggu soalnya," jawab Mas Agus seraya menunjuk kantung plastik berisi makanan.

"Kalau gitu hati-hati di jalan, ya, Mas."

"Siap, Mas!"

Candra melanjutkan langkah. Ruang tamu dan ruang tengah tampak kosong, berarti keluarganya ada di ruang makan. Sampai di tempat itu, ia melihat Melisa sedang menyuapi Xania. Ada Sarina, Mbak Lala, Ambar, dan satu perempuan lagi yang baru ia lihat hari ini.

"Kamu sudah pulang?"

Suara Sarina berhasil mengalihkan perhatian Melisa dan Xania. Sontak anak itu berteriak. Tangan dan kakinya berontak ingin digendong.

"Makanan kamu belum habis, Sayang," kata Melisa. "Xania habisin dulu makanannya, ya."

Akan tetapi, Xania tidak mau menerima suapan mamanya. Tangannya menunjuk ke arah ayahnya. Candra lantas mendekati Xania. Anak itu semakin lincah hingga kursinya bergerak.

"Ayah suapin, ya." Candra mengambil alih sendok dan piring dari tangan Melisa, kemudian mendekatkan sendok ke mulut Xania, tetapi anak itu menolak lagi.

"Kalau digendong, berarti udah selesai, ya, makannya."

"Babab!" Xania mengeluarkan jurus selanjutnya, yaitu merengek. Mau tidak mau, Candra luluh. Ia akhirnya menggendong Xania.

"Mamam!" seru Xania seraya tangannya menunjuk piring makanannya.

"Xania mau makan lagi? Duduk di situ, ya." Saat Candra hendak menaruh Xania di kursinya, anak itu berontak, tapi tangannya masih menunjuk makanan.

"Duduk sama Ayah, ya. Ayah duduk boleh?"

"Mamamam!"

"Oke. Duduk sama ayah, ya."

Candra duduk di kursi kosong sembari memangku Xania. Anak itu diam dan mau menerima suapan dari ayahnya. Ternyata Xania masih lapar. Terbukti piringnya bersih setelah beberapa kali suapan.

Sementara itu, Melisa bisa makan rawon buatan Ambar dengan tenang. Sejak tadi Melisa ngidam makan rawon dan Ambar bersedia membuatkannya.

"Amam, abu, baba!" Xania tidak berhenti mengoceh setelah diberikan air putih.

"Xania sama Mbak Ambar dulu mau, ya? Ayah sama Mama mau ngomong dulu sama Mbah. Xania main sama Mbak Ambar sebentar, ya."

"Biar sama saya aja, Pak," ucap Desi. Membuat Candra menatapnya.

Sebelum suaminya bertanya, Melisa langsung meluruskan. "Ini Mbak Desi, Yah. Dia pengasuh Xania."

"Oh. Salam kenal. Saya Candra."

Candra dan Desi berjabat tangan sebentar. Setelah itu, Candra kembali fokus ke Xania, sedangkan Desi memandangnya tak berkedip. Perempuan itu begitu kagum dengan lelaki di hadapannya saat ini. Jarang ada lelaki yang mau repot mengurus anak setelah pulang kerja. Pantas saja ada aturan Xania tidak boleh diganggu saat ayahnya pulang.

Setelah beberapa kali dibujuk, akhirnya Xania mau diajak pergi oleh Desi dan Ambar. Kini tersisa Melisa, Candra, Sarina, dan Mbak Lala di meja makan.

"Mumpung kita lagi kumpul, ada yang mau aku omongin ke Ibu sama Mbak Lala." Candra mengawali pembicaraan. Sementara itu, Melisa sudah tahu topik yang ingin dibahas malam ini.

"Aku udah pernah bilang kalo aku bakal pindah tugas di Jakarta. Minggu depan aku udah harus training. Jadi dalam waktu dekat aku berangkat ke sana. Ibu sama Mbak Lala yang ikut duluan, sedangkan Melisa, Xania sama Mbak Ambar masih di sini karena Melisa belum boleh perjalanan jauh. Kita perginya naik pesawat."

"Ibu di sini aja nggak apa-apa, to?" Sarina bersuara.

"Ya nggak bisa, Bu. Kasian Melisa."

"Ibu itu nggak mau pergi-pergi. Repot. Kalau kalian mau pindah, silakan. Ibu masih mau di sini."

"Bu, ayolah. Itu juga buat kebaikan Ibu."

"Ibu nggak mau, Candra. Jangan paksa Ibu!"

Otomatis Candra mengunci rapat mulutnya. Pertanda dia tidak cukup memiliki tenaga untuk membujuk ibunya.

"Ayo, Lala, kita ke kamar."

Mbak Lala mengerjap. "Tapi, Bu--"

"Ayo!"

Mau tak mau, Mbak Lala menurut. Dengan rasa sungkan, dia pamit ke kamar kepada Melisa dan Candra.

Terdengar embusan napas dari Melisa setelah ibu mertuanya pergi. "Susah, Mas. Harusnya kita bujuk dari dulu."

"Ibu emang nggak suka perjalanan jauh."

"Tapi, pas Mas ke Semarang mau tuh nyusul ke sana."

Tangan Candra terulur mengacak rambut istrinya. "Masih inget aja."

"Perempuan itu memori ingatannya luas. Kejadian berapa tahun yang lalu bakal diinget kalau membekas."

"Jadi gimana sekarang?"

"Udah diemin dulu. Kita masih punya waktu, kan?"

Candra menghela napas. Sulit sekali untuk menembus dinding pertahanan Sarina. Wanita itu benar-benar tidak bisa dibantahkan. Namun, waktu terus bergulir. Sesuai rencananya, mereka akan berangkat empat hari lagi. Candra hanya punya waktu segitu untuk meluluhkan ibunya.

"Tapi Mas yang ngomong, ya. Kalau aku yang ngomong, aku bilang A sama Ibu bisa jadi B, C, bahkan Z. Aku pusing, lho, Mas. Bisa-bisa, nih, rambut aku berubah jadi kribo gara-gara Ibu."

Kali ini Candra tidak bisa menahan senyum. "Aku jadi bayangin rambut kamu yang kribo."

"Ih, jangan!" Melisa meninju lengan suaminya. "Yang ini aja udah repot nyisirnya."

"Itu kamu lagi ngidam?" Candra menunjuk mangkuk yang masih ada sisa rawon.

"Iya. Tadi dimasakin sama Mbak Ambar."

"Kamu nggak ada ngidam yang aneh-aneh, kan?"

"Kalau pengen megang burung termasuk aneh nggak, Mas?"

"Burung apa dulu?"

"Itu, lho, burung yang ada di dalam kurungan. Tadi aku lihat Pak Soleh kayaknya habis beli burung baru. Lucu tahu, Mas. Aku pengen megang kepalanya."

Wajah Candra berubah kikuk. Pak Soleh adalah tetangga dekat rumah. Meski dekat, mereka jarang berinteraksi karena beliau pun seringnya tidak ada di rumah.

"Harus, ya?"

"Harus, dong. Kalau bisa sekarang," jawab Melisa seraya mengedipkan mata.

Kalau sudah begini, artinya tidak ada alasan untuk menolak. Semoga saja Pak Soleh berkenan burung peliharaannya dipegang Melisa.


Aku juga udah update part 75 & 76 lho di Karyakarsa, silakan baca pakai kode voucher ini, ya: KAKAKXANIA, berlaku sampai besok. Tapi sepertinya notif di aplikasi itu lagi eror, ya. Nanti kalau kalian belum nemu partnya, komen aja, ya.

***

Kemarin ada yang bertanya gaji Mas Candra itu berapa, aku jelaskan sedikit saja, ya. Mungkin ada yang belum tahu atau yang sudah tahu boleh menambahkan.

Jadi, gaji pilot itu tergantung maskapai, tergantung jam terbang, dan tergantung pangkat. Pangkat pilot itu ada empat. Yang paling bawah itu namanya Cadet, yang kedua second officer, yang ketiga itu first officer, dan yang tinggi itu captain/kapten. Kalau di maskapai besar kayak Garuda Indonesia, gaji kapten itu antara 40-60 juta. Belum termasuk tunjangan dan buntut-buntutnya.

Bisa dibayangkan kenapa Mbah Sarina ngotot sekali anaknya jadi pilot. Terus kenapa aku tidak bisa kasih konflik Xania susah minum susu. Ya karena pertama, Xania tidak punya alergi. Kedua, bapaknya banyak duit. Nggak cocok satu susu, bisa beli lagi 😭😭😭

Kenaikan pangkat itu berdasarkan jam terbang, ya. Naik jadi kapten itu kalau sudah mengumpulkan 5000 lebih jam terbang.

***

Aku mau kasih dua kabar baik buat kalian. Pertama, aku mau bilang kalau salah satu novelku berhasil tayang di Cabaca. Update setiap hari Selasa dan tidak akan PHP karena udah tamat draftnya dan editor yang unggah. Yuk dukung aku di sana. Murah, kok, cuma 20-25 kerang. Ini bentuk covernya. Linknya udah aku taruh di bio wattpad.

Terus yang kedua, sebentar lagi Konjungsi Rasa juga terbit jadi buku. Ada sedikit perubahan dari versi sebelumnya. Jadi jangan lupa nabung, ya ☺️

***

Sekian AN terpanjang dalam sejarah 😂😂😂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro