Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

72 - Susah Makan

Jangan salahkan Melisa kalau sekarang lebih banyak tidur daripada terjaga. Dia sudah berusaha keras melawan rasa kantuknya dan tetap saja kalah. Ajaibnya, Xania tidak rewel saat mamanya tertidur. Anak itu masih mau diajak main ayahnya atau Ambar dan Mbak Lala. Melisa, sih, berharap ini terjadi saat trimester pertama saja. Bisa repot kalau sampai persalinan mengantuk terus.

Seperti sekarang ini, Melisa baru saja bangun dari tidur siangnya yang kedua. Iya, kedua. Tadi pukul sebelas dia tidur siang pertama, lalu yang kedua pukul dua. Matanya memang segar kembali setelah bangun tidur, tetapi hanya bertahan beberapa jam.

Saat Melisa menegakkan punggungnya, matanya menemukan Candra duduk di kursi rias, tampak sedang merapikan rambutnya. Di bawahnya ada Xania sedang memegang salah satu sepatu ayahnya dan sikat semir. Laki-laki itu setengah rapi dengan pakaian putih dan celana biru tua. Kenapa setengah? Karena dasi, pin, id card, pulpen, dan sepatu belum terpasang.

Sebelum tidur, Candra sempat bilang malam ini dia akan terbang setelah masa cutinya habis. Melisa baru tahu tadi pagi kalau Candra merelakan cuti tahunannya diambil lantaran sudah pernah mengambil cuti penting sebanyak dua kali. Jadi, akhir tahun nanti, Melisa rela suaminya tidak liburan bersamanya karena harus mengantarkan penumpang liburan. Tidak ada cuti tahun ini.

"Udah kinclong sepatunya. Sekarang ayah pakai, ya."

Candra meminta sepatunya dengan lembut. Sebenarnya lelaki itu bisa melakukannya lebih cepat, bahkan selesai sebelum mobil jemputan datang. Namun, setelah ada Xania, Candra belum siap ketika mobil jemputan datang karena masih harus briefing Xania yang terkadang tidak mau ditinggal terbang.

"Terima kasih, Cantik," ucap Candra setelah Xania mau menyerahkan sepatunya. Buru-buru dia memasukkan kakinya yang terbungkus kaus kaki ke sepatu tersebut sebelum diambil Xania lagi.

Candra berdiri dengan tangan memegang dasi. Xania beranjak, memanjat kaki ayahnya. Ketika berhasil berdiri, anak itu merengek.

"Sebentar, ayah pasang dasi dulu."

Xania terus merengek hingga Candra tidak konsentrasi mengikat dasinya. Takut kalau pegangannya renggang terus Xania tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya, apalagi sekarang dekat kursi rias.

Melisa yang gemas melihat tingkah anaknya itu lantas turun dari tempat tidur, kemudian mengangkat Xania. Namun, anaknya berontak.

"Pegang." Melisa menyerahkan Xania pada Candra, lalu mengambil dasi. Jadilah Melisa yang mengikat dasi dan Xania menempel di tubuh ayahnya.

"Baru satu udah kayak gini. Gimana nanti kalau udah tiga, ya?"

Melisa menatap suaminya dan tersenyum. "Pasti makin seru. Lengket semua ke Ayah kayak perangko."

"Papap!" Xania ikut menimpali.

"Mulai sekarang kamu dipanggil Kakak Xania, ya. Nanti kalau udah besar jagain adik-adiknya," ucap Candra, lalu mencium pipi Xania.

"Ayah mau cewek apa cowok?" tanya Melisa.

"Terserah yang ngasih. Cewek oke, cowok nggak apa-apa. Dua-duanya bisa, kan?"

"Lah, iya juga. Ada dua ya sekarang." Melisa lantas teringat sesuatu. "Ayah nggak bilang sama mbah kalau aku sekarang lagi hamil anak kembar?"

"Nggak. Kenapa emangnya?"

"Mbah kaget lho setelah tahu aku hamil anak kembar." Melisa jadi ingat ekspresi Sarina. Wanita itu kaget luar biasa, bahkan langsung cerewet karena menyangka Melisa tidak menjaga diri dengan baik. Ya tentu saja Melisa mendengar lewat telinga kiri keluar lewat telinga kanan.

"Terus Ibu gimana?"

"Mbah." Melisa meralat ucapan suaminya karena ada Xania. "Ya nggak gimana-gimana. Kalau dilihat dari mukanya, sih, seneng banget. Nggak mungkin lah nggak seneng karena punya cucu kembar."

Dasi biru tua terpasang sempurna di bawah kerah baju Candra. Kalau sudah rapi begini harusnya turun menunggu mobil jemputan. Namun, Xania tetap tidak mau lepas dari ayahnya.

"Sama Mama dulu. Besok lagi main sama Ayah." Melisa membujuk anaknya. Xania menepis tangan mamanya. "Ayah mau kerja dulu. Cari uang buat beli susu Xania."

Xania terus mengalungkan tangannya di leher Candra. Namun, karena sudah waktunya pergi, Melisa tetap mengambil tubuh anaknya pelan-pelan. Rengekan kemudian berubah menjadi tangisan ia abaikan. Setelah itu, mereka bertiga keluar dari kamar. Melisa mengantarkan sampai depan pintu.

"Ayah pergi dulu, ya. Xania sama Mama dulu, ya. Nanti pas pulang ayah beliin sesuatu buat Xania."

Tangisan Xania menjadi pengiring langkah Candra hari ini. Saat Candra masuk mobil dan pergi, Melisa sibuk menenangkan Xania yang mulai sesenggukan.

"Sabar, ya, Nak. Ayah lagi kerja. Nanti kalau pulang, Xania boleh main lagi sama ayah," kata Melisa seraya mengelus punggung anaknya. Butuh waktu yang lama sampai akhirnya tangis Xania mereda dengan sendirinya. Melisa hanya menenangkan, bukan mengalihkan perhatian supaya Xania cepat diam. Takutnya kalau langsung dialihkan, Xania tidak tahu kalau rasa sedih itu perlu dikeluarkan.

"Udah? Xania mau apa sekarang? Mau makan? Laper nggak?"

"Mam!"

"Oke. Kita ke ruang makan, ya. Mbak Ambar masak apa, ya?"

Masih digendong, Melisa membawa Xania ke ruang makan. Di meja sudah ada nasi putih dan bulatan-bulatan dari campuran ayam, telur, wortel, dan tahu putih.

Sebelum piring berisi makanan itu diletakkan di meja, Melisa mendudukkan Xania di highchair, lalu mengelap sisa-sisa air mata di pipi anak itu. Tak lupa juga mengusap kedua tangan Xania menggunakan tisu bersih supaya bersih.

Melisa memperhatikan anaknya. Di tempat duduknya, Xania terlihat tidak minat dengan makanan yang disajikan. Setelah beberapa menit duduk di sana, Xania hanya memainkan bola-bola ayam itu. Tidak ada yang masuk ke mulutnya.

"Mau mama suapin?" Melisa mengambil sedikit nasi dan potongan ayam itu menggunakan sendok dan mencoba memasukkannya ke mulut Xania. Namun, anak itu menggeleng. Melisa tidak menyerah. Dia mencoba sekali lagi tanpa nasi dan berhasil. Lagi-lagi masalahnya nasi.

"Xania nggak suka nasi kayak mama, ya? Mama nggak bisa kasih kamu contoh karena mama nggak bisa makan nasi."

Melisa kembali menyuapi ayam ke mulut Xania dan mau diterima. Akan tetapi, hanya tiga kali suapan. Setelah itu, Xania merengek minta turun dari kursinya. Saat mulut anak itu terbuka, Melisa baru sadar kalau ada gigi baru di bagian atas.

"Kamu tumbuh gigi lagi. Nggak enak, ya, buat makan? Kalau gitu Xania minum air putih dulu, ya. Minum susunya nanti kalau mau tidur. Oke?"

Melisa memberikan botol berisi air putih dan membiarkan Xania memegang botolnya sendiri. Sembari menunggu anaknya, Melisa memakan makanan yang tersisa. Sungguh perutnya sangat lapar. Semoga saja tidak berakhir di wastafel.

"Pa!" Xania selesai minum dan berontak minta turun. Melisa buru-buru menyelesaikan makannya sampai tersedak.

"Sabar, Nak. Sabar."

Usai mencuci tangan, Melisa membuka sabuk pengaman, lalu mengangkat Xania. Sebelum anak itu berontak lagi, Melisa membawanya ke ruang tengah. Setelah diletakkan di karpet, Xania bergerak mengambil mainannya. Sementara itu, Melisa duduk di sofa. Menyandarkan punggung seraya mengelus perutnya. Tidak sakit. Hanya saja terasa rontok semua.

"Semoga aja pengasuh kamu beneran datang, ya. Mama kayaknya nggak sanggup ngejar kamu kalau perut mama udah besar."

Xania perlahan sibuk dengan dunianya. Anak itu sudah melupakan aktivitas minum susu dari mamanya. Semalam anak itu tidur tanpa menangis, bahkan mau menerima susu botol. Melisa antara senang dan sedih. Senang karena berhasil menyapih, sedih karena Xania tidak menarik bajunya lagi. Tinggal bagaimana caranya agar nafsu makan Xania meningkat seperti semula.

Seperti biasa, ada voucher senilai 1000 buat yang mau baca part 73 dan 74 duluan di Karyakarsa. Ketik aja: Bab7374

Yang punya akun Cabaca, setiap hari Selasa tolong ramein ceritaku yang ini, ya. Bab satu sampai tiga gratis, nah dari bab 4 sampai tamat bayar pakai kerang. Murah kok cuma 20-25 kerang. Kalian juga bisa beli pakai kerang bonus yang kalian dapat dari misi harian. Satu dukungan dari kalian sangat berarti buat aku. 😍

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro