Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

71 - Dua Wanita Kuat

Candra yang berada di ruangan itu mendengar dan menyaksikan semuanya. Saat punggung Melisa tidak terlihat di ujung tangga, lelaki itu mendekati ibunya.

"Ibu kenapa ngomong kayak gitu ke Melisa?" Candra memulainya dengan hati-hati. Padahal sebenarnya dia ingin sekali langsung berteriak bahwa dirinya yang menyebabkan semuanya terjadi.

"Kenyataannya emang gitu, to?"

"Kenyataan mana yang Ibu maksud? Kenyataan kalau Melisa takut gendut makanya nggak mau KB?"

Sarina mendengkus. Memandang anaknya dengan mata tajam. "Kamu itu selalu belain dia, padahal udah jelas dia itu--"

"Aku yang suruh Melisa nggak pasang KB lagi setelah melahirkan." Candra memotong ucapan Sarina. "Ibu nggak tahu apa pun yang ada di dalam rumah ini, tapi Ibu ngomong seolah-olah tahu segalanya. Orang yang sepatutnya disalahkan atas kehamilan Melisa sekarang itu aku, Bu. Kalau malam itu aku nggak ceroboh, pasti Melisa nggak hamil dengan jarak dekat kayak gini."

Baik Sarina maupun Candra tidak ada yang membuka mulut setelah itu. Candra terus berusaha mengendalikan diri agar tidak meledak di depan ibunya, supaya Sarina mau membuka mata dan telinga. Laki-laki itu tidak terima jika selalu Melisa yang disalahkan. Baru tahu Melisa hamil saja Sarina sudah berani berkata seperti itu, apalagi kalau tahu Melisa sedang mengandung anak kembar.

"Sekarang aku ngerti kenapa Melisa ngasih peraturan begitu setelah Ibu datang, karena Ibu nggak paham tentang batasan. Ibu masih nggak bisa dikontrol. Ibu masih mikir jelek tentang Melisa. Ibu nggak inget siapa yang kasih izin Ibu tinggal di sini? Melisa, Bu. Ibu nggak inget siapa yang dulu merawat Ibu di rumah sakit?"

"Lho itu, kan, sudah kewajiban dia buat rawat orang tua. Gantiin kamu yang nggak ada. Jadi kamu sama Melisa nggak ikhlas kalau Ibu ada di sini?"

Selalu seperti itu. Sarina dan pikirannya yang tidak mau kalah.

"Sudahlah, Bu. Terserah Ibu mau mikir gimana. Aku capek ngomong sama Ibu."

Candra yang kehabisan kata-kata memilih meninggalkan ibunya. Entah harus menggunakan bahasa apa lagi agar hati Sarina tergerak. Sepertinya tidak akan pernah berubah kalau dari Sarina sendiri tidak mau melakukan itu.

"Bu, sudah, to. Yang dibilang Mas Candra itu bener. Ibu kali ini aja nurut sama dia." Mbak Lala yang sejak tadi menyimak akhirnya membuka mulut setelah Candra tidak terlihat.

"Ya, kalau mereka nggak mau saya tinggal di sini, saya bisa pergi."

"Ibu lupa kita udah pernah coba, tapi Ibu nggak betah, terus ke sini lagi, to?"

Benar. Sebulan yang lalu Sarina pernah pulang ke rumahnya. Namun, belum ada seminggu, wanita itu balik lagi ke sini gara-gara hampir jatuh di kamar. Alhasil rumah Sarina kini disewakan dan masih dirawat oleh Pak Sarto. Sudah paling benar Sarina tinggal serumah dengan anak dan menantunya. Apalagi di sini Ambar mau turut membantu menemani Sarina jika Mbak Lala sedang pergi.

"Sekarang, kan, Ibu udah susah ke mana-mana sendiri, menurut saya udah saatnya nurut sama anak, tapi jangan ikut campur urusan mereka."

Sarina tidak membalas. Jauh di dalam hati kecilnya, semua yang dikatakan Mbak Lala itu benar. Kepada siapa lagi Sarina meminta bantuan kalau bukan dari anaknya? Teman-temannya tidak ada yang datang selama ini, padahal dulu Sarina begitu membanggakan kehadiran mereka.

Melisa tidak mengungkit masalah itu. Kehamilan kedua saja sudah sangat menyita waktunya. Saat hamil Xania, dia masih kuat masak atau melakukan kegiatan bersih-bersih. Kehamilan yang sekarang, matanya mengantuk berat, padahal malamnya tidur cukup, paginya tidak makan berat. Badannya juga cepat lelah. Mungkin karena sekarang yang dikandung dua nyawa. Karena keadaan itu, Xania sementara diasuh Candra, Ambar dan Mbak Lala sambil menunggu pengasuh baru yang katanya datang besok.

Xania sudah tidak rewel ketika malam hari. Hanya saja nafsu makannya yang berkurang. Makanan di piringnya selalu sisa. Melisa sudah mengubah menu makanan, pindah tempat duduk, hingga membuat Xania lelah dengan mengajaknya main, tetap saja hanya sedikit makanan yang masuk. Minum susunya yang kuat.

"Papapa!" Xania sudah minta turun dari kursi makannya setelah bosan memainkan pasta. Tentu saja makanan itu sedikit sekali yang masuk ke mulutnya meskipun Melisa sudah mencoba menyuapi.

"Berarti udah selesai, ya? Xania kalau mau makan lagi duduk di sini."

"Mamam!"

"Mau mamam atau udahan?"

Xania memungut makanan yang sudah berserakan itu, lalu dimasukkan ke mulutnya. Setelah itu, kakinya berontak lagi sambil merengek.

"Oke, berarti udahan, ya."

Melisa melepaskan pengaman di tubuh Xania, kemudian mengangkatnya dari kursi makan. Setelah diletakkan di karpet, anak itu mulai berkeliaran mengacak-acak mainannya. Sementara itu, Melisa kebagian menghabiskan sisa makanan anaknya. Beruntung perutnya tidak bergejolak. Akhirnya Melisa bisa menikmati makanan setelah beberapa hari dihiasi dengan mual dan muntah.

"Anak itu harus makan yang banyak. Nanti badannya kurus."

Sarina datang dan bicara lagi. Melisa segera menghabiskan makanannya sebelum menghadapi sang mertua.

"Ya kalau Xania maunya makan sedikit, masa aku paksa." Melisa mengutarakan apa yang ada di pikirannya.

"Lagian makannya di kursi terus. Mbok sekali-kali digendong terus diajak jalan-jalan biar habis banyak."

"Lho, aku itu lagi mengajarkan cara makan yang benar. Kalau makan sambil jalan-jalan yang ada dia bingung. Makin susah makannya."

"Halah kamu dibilangin sama orang tua suka nggak nurut."

Melisa menghela napas. Kesabarannya diuji lagi. Harus dengan cara apa lagi supaya Sarina mau mengerti. Peraturan yang dia buat selalu dilanggar oleh wanita itu.

"Bu, tenang aja. Aku tahu apa yang terbaik buat anak aku. Menurut aku, makan sambil jalan-jalan itu nggak tepat. Mungkin jaman dulu masih oke, kalau sekarang udah nggak. Makan itu ya harus di meja makan. Makan sambil duduk itu salah satu cara dia menghargai makanan. Ibu ini aneh, deh, masa cucunya diajarin sopan santun dari kecil nggak boleh."

"Kamu mau anak kamu kurus gara-gara nggak makan?"

"Aku lebih baik dia kurus daripada aku paksa dia habisin makanannya. Walaupun Xania belum bisa ngomong, belum ngerti, tapi dia punya hak atas dirinya sendiri, Bu. Aku sebagai ibunya yang patut menghargai kemauannya. Ya betul makan sambil jalan-jalan bakal cepet habis, tapi aku nggak mau kebiasaan itu dibawa sampai dia besar."

Selanjutnya terdengar embusan napas berat dari wanita itu. Sarina memasang wajah datar. "Ngomong sama kamu bikin kepala ibu makin pusing."

"Siapa suruh ikut campur?" Melisa tidak mau kalah. "Aku bakal dengerin Ibu kalau sarannya baik. Ini, kan, nggak, aku berhak ngomong, dong."

"Yo wis terserah kamu, Mel."

"Nah, gitu dari tadi Ibu nurut."

Tanpa diperintah, Melisa membetulkan ikat rambut Sarina yang longgar. Dia mengambil sisir di kamar Sarina, lalu mengulang ikatan itu. Apa yang dilakukan Melisa membuat Sarina tertegun. Melisa begitu perhatian tanpa diminta.

"Mulai dari sekarang Ibu kurang-kurangi cerewetnya. Cucunya tiga, entar jantungan semua denger suara mbahnya."

"Tiga dari mana? Wong kamu baru hamil dua kali."

"Emang Mas Candra nggak bilang kalau aku sekarang lagi hamil anak kembar?"

Mata Sarina melebar.

Ayo Mbah, sadarlah. Saya capek 🤣🤣🤣

Mau tanya nih, apa yang bikin kalian bertahan baca sampai sini? Sebentar lagi kita pisah lho 🥺

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro