Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

70 - Seandainya Bisa

Tangisan Xania memenuhi ruangan. Sejak tadi anak itu mengantuk dan lagi-lagi minta susu dari Melisa langsung. Tentu saja tidak akan dituruti. Melisa hanya menyaksikan Candra yang sibuk menimang-nimang Xania, berusaha memberikan susu. Perasaan perempuan itu campur aduk melihat Xania meraung karena dipisahkan dari mamanya. Dia tidak sanggup membayangkan malam-malam sebelum Xania juga seperti ini.

Setelah satu jam penuh dengan drama, akhirnya Xania mau minum susu dan perlahan tertidur di gendongan ayahnya. Candra langsung meletakkan anak itu di kamarnya, bukan jadi satu di kamar ini. Dari situlah Melisa semakin kehilangan. Biasanya kalau malam tidur bertiga, kecuali kalau sedang ingin berdua.

"Mas, kenapa Xania ditaruh di kamarnya?" tanya Melisa setelah Candra muncul.

"Kamu perlu istirahat dan Xania butuh tidur yang cukup. Aku rasa Xania lebih bagus kalau di sana."

"Tapi, kalau dia nangis gimana? Kalau dia cari aku gimana?"

"Nggak akan. Xania bakal tidur sampai pagi. Kalau nangis juga bakal diem sendiri. Di deketnya udah aku kasih botol susu."

Melisa tetap tidak tenang meskipun yang dikatakan Candra benar. Dia berusaha untuk percaya bahwa Xania akan baik-baik saja di kamarnya.

"Kasian Xania. Dia mau minum susu sama aku, tapi udah nggak boleh. Aku ibunya tapi nggak bisa nolongin anak sendiri. Aku bukan ibu yang baik, ya, Mas?" Mata Melisa berkaca-kaca. Sesak yang dia rasa sejak tadi mendesak keluar.

"Siapa yang bilang begitu? Kamu nggak seperti itu."

Candra duduk di dekatnya dan Melisa langsung menyandarkan kepalanya di bahu pria itu. Tangan Candra mengelus kepala istrinya. Mengecup rambutnya.

"Aku mau kamu jangan mikir yang aneh-aneh lagi. Kamu ibu yang hebat. Xania bakal baik-baik aja. Janji jangan punya pikiran kayak gitu, ya?"

Melisa mengangguk pelan. Dia mulai mengatur napas.

Setelah itu sunyi. Mereka sama sekali tidak mengubah posisi. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Bagi Melisa, berdiam diri di pelukan Candra merupakan salah satu cara untuk menenangkan pikiran. Dia merasa terlindungi. Merasakan kasih sayang yang meluap hingga secara perlahan segala gundah menghilang.

"Mas pasti capek banget soalnya badan Xania berat," kata Melisa pelan.

"Biasa aja."

"Kalau sama aku beratan siapa, Mas?"

"Mel, kenapa kamu selalu kasih pertanyaan menjebak?"

Spontan Melisa tertawa kecil. Tangannya mencubit perut Candra. "Menjebak gimana, sih? Kan, tinggal dijawab aja."

"Ya kalau aku jawab salah, kamu marah."

Melisa semakin mengeratkan pelukannya. "Mas udah ngantuk belum?"

Candra menunduk, Melisa mendongak. Melisa sedikit menggerakkan kepalanya untuk mencium pipi suaminya.

"Belum ngantuk. Kenapa?"

"Aku pengen makan mi gacoan, Mas."

"Oke habis ini aku beliin."

"Kok, beliin? Aku mau makan di sana. Xania, kan, udah tidur, aman kalau ditinggal sebentar. Aku udah tahan-tahan dari tadi pagi, Mas." Sebenarnya Melisa sudah melupakan keinginannya itu, tetapi tadi tidak sengaja melihat mi gacoan di ponsel. Jadilah kepengen lagi.

"Beneran makan di sana?"

"Iya. Ayolah, ada dua anak yang harus Mas turuti permintaannya. Xania nanti dititipin dulu ke Mbak Ambar."

Candra terkekeh. Tangannya turun ke perut Melisa. "Halo, dua penghuni kos-kosan mama yang baru! Sehat-sehat di sana, ya, baby X nomor dua sama tiga."

Melisa memutar bola matanya. "Kenapa harus X lagi, sih, Mas?"

"Karena bagus."

"Kan bisa pakai huruf yang lain, Mas ...."

"Huruf X itu unik, Sayang."

Kalah. Sama seperti ketika merumuskan nama Xania dulu, Melisa tidak punya stok kosa kata untuk melawan suaminya. "Terserah Mas, deh. Pokoknya sekarang Mas harus anterin aku makan mi gacoan!"

Puas makan mi gacoan, Melisa dan Candra pulang, lalu tidur sampai pagi. Keesokan harinya, mi dan makanan lain yang sudah tertelan dimuntahkan lagi di kamar mandi.

"Aaa! Aaah!" Teriakan Xania terdengar di luar pintu kamar mandi. Tidak hanya teriakan, tetapi gedoran pintu juga terdengar.

"Iya sebentar, Nak!"

Usai mencuci muka dan mulutnya, Melisa melangkah lebar, kemudian membuka pintu dengan hati-hati karena takut Xania sedang berdiri di sana. Benar saja, anak itu sedang berdiri di depan pintu, diawasi bapaknya.

"Aah!"

"Xania udah laper, ya? Ayo, ikut Mama!"

Melisa mengangkat tubuh Xania, lalu mengajaknya turun ke ruang makan. Tadi Ambar sudah membuatkan menu sarapan untuk Xania. Sekarang giliran dirinya yang menyuapi anak itu.

Setelah Xania duduk di highchair, Melisa meletakkan nugget udang, potongan brokoli dan wortel rebus, dan sedikit nasi di meja makan Xania. Melisa memulai suapan pertama dengan bulatan nasi dan sedikit potongan nugget, tetapi Xania menggeleng.

"Ya udah, Xania mau makan yang mana dulu?"

Seolah-olah mengerti pertanyaan mamanya, Xania mengambil wortel yang dipotong memanjang, lalu dimasukkan ke mulut. Saat coba disuapi nasi lagi, Xania menolak.

"Nonono!"

"Ih, sok inggris." Melisa mengacak rambut Xania.

Akhirnya Melisa membiarkan Xania makan sesuka hati. Xania hanya menyisakan nasi, sedangkan yang lainnya dilahap habis, bahkan minta nambah. Melisa dengan senang hati menurutinya.

"Nanti siang Xania mau makan apa? Kentang apa mi?" tanya Melisa seraya menunjukkan satu buah kentang dan sebungkus mi spageti. Dia menunggu Xania memilih sendiri makanannya.

Xania menunjuk kentang dengan kaki bergerak lincah.

"Oke, nanti siang mama masakin kentang rebus, ya. Xania harus makan karbohidrat biar sehat. Kalau Xania nggak suka nasi biasa, nanti mama beliin beras yang paling enak biar Xania suka."

Di sela-sela menemani Xania, Melisa muntah-muntah lagi saat ingin mencoba makan brokoli. Dia meminta Candra mengawasi anaknya. Xania harus ada yang mendampingi supaya tidak melompat dari highchair-nya.

Melisa keluar dari toilet, di saat yang bersamaan Mbak Lala muncul bersama Sarina. Sejak kepulangannya, Sarina tidak membuka mulut sama sekali. Takutnya sekarang ini di saat suasana hati Melisa sedang bagus, Sarina berulah.

"Kamu hamil lagi?"

"Iya," jawab Melisa singkat. Dia sama sekali tidak menatap ibu mertuanya karena sedang membersihkan mulut dan tangan Xania.

"Kok, bisa? Emangnya kamu nggak KB?"

"Nggak." Melisa menjawab singkat lagi.

"Lha kenapa kamu nggak KB? Kamu, kan, masih punya anak kecil. Kasian kalau ditinggal hamil lagi. Kamu pasti takut gendut makanya nggak mau KB, to?"

Oke, cukup. Melisa berhasil menebak apa yang akan terjadi kalau Sarina sudah bersuara. Manusia selalu menilai dari apa yang dilihatnya, tanpa mendengar penjelasan langsung.

"Ya Ibu coba aja tanya ke anak Ibu, kenapa aku nggak boleh KB lagi. Seandainya bisa, aku juga nggak mau punya anak dulu sekarang. Ibu ini gimana, sih? Punya cucu kelamaan ditanyain, kecepatan juga ditanyain. Nggak capek mulutnya?"

Setelah mengucapkan itu, Melisa mengangkat Xania dari tempat duduknya. "Kita pindah ke ruangan lain aja, Nak. Di sini panas."

Melisa benar-benar naik ke lantai dua. Antara ke kamarnya atau ke kamar Xania. Dia malas mendengar celotehan Sarina. Kalau disuruh memilih, mendingan Xania saja yang mengoceh daripada neneknya.


Yang mau baca duluan part 71 & 72 di Karyakarsa bisa pakai voucher ini: Bab7172. Makasih ❤️

***

Aku lagi seneng banget kemarin dikabari kalau ceritaku di Cabaca sebentar lagi bakal terbit. Yeay! Yang punya akun Cabaca mohon dukungannya, yak. Semoga aja dikasih harga yang murah. Nanti bab satu sampai tiga aku spill di sini juga.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro