Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

66 - Kebingungan

"Sudah kelihatan kantung janinnya, ya, Bu. Sudah delapan minggu."

Melisa hanya tersenyum tipis. Dia lirik Candra yang sejak tadi berdiri di sisi bed pemeriksaan, tidak berhenti mengelus kepala, membantunya turun dan duduk di kursi setelah selesai diperiksa. Tidak hanya itu, Candra juga yang lebih sering bertanya ketimbang dirinya. Tangannya tidak lepas menggenggam jemari istrinya. Melisa justru merasa lega karena sejak tadi pikirannya melambung ke Xania yang kini sedang dititipkan pada Ambar.

"Hormon HCG Bu Melisa lebih tinggi dari kehamilan sebelumnya. Saya curiga kalau Ibu sekarang sedang mengandung bayi kembar. Tapi, kita bisa memastikan lewat USG kalau usia kandungannya sudah sepuluh minggu."

Mendengar ucapan itu, Melisa tidak tahu harus menanggapi bagaimana. Dia sendiri masih berusaha menerima kenyataan ini, apalagi kalau ditambah prediksi Dokter Indi benar-benar terjadi. Melisa terus memikirkan Xania. Ternyata begini rasanya hamil di saat anak masih kecil.

"Istri saya masih bisa menyusui, kan, Dok?"

Melisa memiringkan kepala. Lagi-lagi, dia memandang takjub ke arah suaminya.

"Masih bisa jika tidak ada keluhan selama menyusui," jawab Dokter Indi.

"Kalau boleh tahu kapan harus berhenti?"

Sekali lagi, bukan Melisa yang bertanya, melainkan Candra.

"Kalau Bu Melisa merasakan nyeri pada payudara saat menyusui. Kalau tidak berhenti, nanti bisa memicu kontraksi dan itu sangat berbahaya."

Melisa tercekat. Apa yang dikatakan Dokter dia alami selama ini. Rasa yang Melisa kira adalah tanda-tanda menstruasi ternyata pertanda lain. Kalau dia bilang sekarang, pasti Dokter Indi akan menyarankannya berhenti menyusui. Melisa belum siap. Dia belum sanggup meninggalkan Xania.

Adiknya Xania, kerja sama, yuk! Mama masih mau menyusui kakak kamu, batin Melisa seraya mengelus perutnya.

"Karena jarak kelahiran sebelumnya dengan kehamilan sekarang terlalu dekat serta punya riwayat  operasi caesar, sebaiknya merencanakan kelahiran caesar supaya bisa siap-siap dari sekarang."

Untuk kesekian kalinya, Melisa dibuat jatuh oleh penuturan Dokter Indi. Pupus sudah harapannya untuk bisa merasakan melahirkan normal.

Usai dokter memberikan resep beberapa vitamin, barulah sepasang suami istri itu keluar dari ruang pemeriksaan. Melintasi ruang tunggu, ada beberapa pasangan yang sedang menunggu giliran dipanggil. Melisa menatap ibu hamil tersenyum seraya mengusap perut besarnya. Dulu, dia juga bahagia setiap kali bertemu dengan Dokter Indi, akan tetapi kenapa sekarang rasanya berbeda? Kenapa Melisa tidak merasakan hal yang sama ketika memeriksakan Xania?

Sampai di parkiran, Candra membukakan pintu mobil untuk Melisa, kemudian baru dirinya yang masuk. Melisa mengenakan sabuk pengamannya sendiri dengan tatapan kosong.

"Mas."

"Iya?" Candra juga baru selesai memasang sabuk pengaman, menoleh ke samping.

"Apa kita harus bilang ke orang tua sekarang?"

"Kamu maunya gimana?"

Melisa menghela napas. "Nanti aja, Mas. Aku masih bingung. Mereka pasti kaget, apalagi aku lagi nggak mau denger ocehan Ibu, Mas."

Tangan Candra terangkat, menyuruh Melisa mendekat, lalu dikecupnya kening perempuan itu secara singkat. "Nggak usah pikirin itu. Kita cari waktu yang tepat buat ngomong, ya."

Melisa mengangguk. Setelah itu, membiarkan Candra mengoperasikan mobilnya.

"Mas nanti berhenti di supermarket, ya," kata Melisa ketika mobil sudah melaju di jalan. "Aku mau keripik kentang."

"Di rumah bukannya masih ada?"

"Aku maunya langsung dari supermarket, Mas."

"Oke, nanti kalau ketemu supermarket langsung berhenti."

"Maunya supermarket yang dekat rumah itu, Mas. Bukan yang deket-deket sini."

Candra tersenyum. Rasanya baru kemarin dia mendengar permintaan-permintaan aneh dari istrinya. Ternyata dalam waktu singkat dia menghadapinya lagi. "Iya, nanti aku berhenti di sana."

"Bener, lho, Mas. Aku mau tidur sekarang. Di mobil ngantuk."

"Iya, Sayang."

Melisa benar-benar tertidur selama perjalanan. Sesekali Candra membetulkan rambut istrinya yang turun ke wajah. Melisa jarang tidur di dalam mobil, justru dia akan mengoceh panjang. Melihatnya terlelap bahkan sedikit mendengkur, Candra memaklumi. Mungkin bawaan bayi.

Begitu tiba di supermarket dekat rumahnya, Candra berhenti. Tanpa membangunkan Melisa, dia turun dan membeli keripik kentang sesuai permintaan Melisa.

Hari-hari berikutnya, Melisa masih menyusui Xania meskipun harus bergelut dengan mual, muntah-muntah hebat, dan melawan kantuk serta lelah yang berat. Nyerinya makin hari makin terasa. Karena itu, dia mulai mencoba mengurangi frekuensi menyusuinya, terutama di malam hari.

Melisa memanfaatkan waktu dengan Xania sebaik mungkin, apalagi sekarang Candra sedang terbang, berangkat tadi malam. Dia memiliki firasat sebentar lagi akan berpisah dengan anak ini. Saat menyusui, dia selalu mengajak komunikasi anaknya.

Setelah Xania tertidur pulas, Melisa turun ke dapur dengan kaki lunglai. Dia sebenarnya pusing, tetapi ingin makan sesuatu. Rupanya di sana masih ada Ambar yang sedang menutup lemari kabinet.

"Mbak Mel belum tidur?"

Melisa menggeleng. "Aku mau makan, Mbak."

"Bukannya tadi sudah, ya?"

Iya, Melisa makan dua jam yang lalu, tetapi entah kenapa dia merasa seperti belum makan berhari-hari. Mungkin karena sejak pagi, perutnya tidak kemasukan makanan atau bisa jadi prediksi Dokter Indi benar, di dalam rahimnya sekarang ada dua janin sedang berkembang.

Tinggal sedikit lagi Melisa tahu prediksi Dokter Indi benar atau salah.

"Namanya masih menyusui. Xania udah kenceng nyusunya." Melisa terpaksa berbohong pada Ambar. Dia masih belum mau memberitahu yang sebenarnya.

"Makanannya mau saya buatin, Mbak?"

"Nggak usah, aku bisa sendiri, kok. Xania udah tidur."

"Kalau Mbak mau duduk dulu, nggak apa-apa, Mbak. Biar saya aja. Soalnya muka Mbak Mel pucet banget."

Melisa tetap teguh, menolak bantuan Ambar. Dia tidak mau terlihat lemah di depan Ambar, apalagi sampai didengar oleh Sarina.

Panci berisi air sudah dipanaskan. Melisa ingin membuat spageti sebagai pengganjal perut. Namun, saat akan memasukkan mi, Melisa merasakan kram di bagian perut. Spontan perempuan itu memegangi perutnya.

"Mbak Mel kenapa?" Ambar masih ada di situ dan bertanya pada Melisa.

"Aku mau ke kamar mandi kayaknya. Boleh pegang sebentar, Mbak?"

"Iya, Mbak."

Melisa melangkah cepat menuju toilet yang letaknya tidak jauh dari dapur. Sesampainya di tempat itu, Melisa masuk, menutup pintu, lalu duduk di kloset. Melisa mengatur napas agar sakitnya hilang. Akan tetapi, tidak berefek apa pun. Pusing serta nyeri terus mendera tubuhnya.

Dirasa kakinya cukup kuat untuk berdiri dan melangkah, Melisa keluar dari tempat itu. Kepalanya semakin berdenyut. Matanya pun berkunang-kunang. Sepertinya dia harus segera masuk ke kamar supaya Ambar tidak curiga.

"Mbak Mel, kok, lama banget di kamar mandinya? Nggak ada apa-apa, kan, Mbak?" Ambar menghampiri sang majikan. Menyentuh kedua bahu Melisa.

Melisa menggeleng. Dia masih tidak mau jujur dengan keadaannya pada Ambar. "Nggak ada apa-apa, Mbak. Tadi agak sedikit susah. Spageti aku udah jadi apa belum?"

"Udah, Mbak."

"Kalau gitu aku mau bawa ke kamar, Mbak. Mau makan di sana. Takutnya Xania bangun terus cariin aku."

Melisa melangkah pelan, mengambil nampan, lalu meletakkan piring berisi spageti serta garpunya di sana. Perempuan itu mengembuskan napas sebelum mantap menaiki tangga. Namun, belum sempat melangkah, Melisa merasakan tubuhnya goyah dan pandangannya gelap. Hanya suara Ambar serta suara piring jatuh yang terdengar terakhir kali.

Buat yang mau baca duluan part 67 & 68 bisa pakai voucher ini: ayahdananak, berlaku sampai besok untuk 30 orang tercepat.

***

Aku penasaran deh, kalian mau konflik yang seperti apa? Soalnya aku merasa selama ini menebar banyak konflik. Mulai dari Melisa harus di SC, terus ASI-nya seret, diomongin sama kakak ipar dan mertua, Melisa ngurus anak sama mertua yang lagi sakit, anak jatuh, terus yang sekarang kesundulan. Itu menurut aku berat lho. Jadi aku tuh bingung pas ada yang minta konflik. Apa karena aku nulisnya ringan makanya nggak berasa kalau ada konfliknya?

***

Percaya nggak kalau bentar lagi tamat? 🤭

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro