65 - Kesundulan
Menunggu kemunculan garis di tes kehamilan ternyata jauh lebih mendebarkan daripada saat menerbangkan pesawat pertama kali. Ini akan menjadi pengalaman pertamanya. Dulu ketika Xania hadir, dia tidak menyaksikan langsung pemeriksaan pertama. Candra sudah menyiapkan hati untuk menerima apa pun hasilnya. Dia sendiri yang berani berbuat.
Satu garis merah pekat muncul. Candra menahan napas. Apa berhenti sampai di situ atau akan muncul garis selanjutnya?
"Kayaknya negatif, Mas. Udah ditungguin dari tadi tapi cuma satu garis," ucap Melisa. Dia sama sekali tidak kecewa. Malah bersyukur kalau benar-benar satu garis. Artinya dia masih memiliki banyak kesempatan untuk dekat dengan Xania. Yang paling penting bisa menyusui sampai dua tahun.
Saat Melisa hendak membuang alat itu ke tong sampah, Candra melihat satu garis lagi muncul samar-samar. Spontan dia meraih tangan istrinya. "Mel, lihat!"
Melisa mengikuti perintah suaminya dan seketika matanya terbelalak. Garis satu lagi terlihat meskipun buram. Itu artinya ....
Melisa membuka bungkus tes kehamilan kedua dan ketiga. Dia coba semua secara bersamaan. Hasilnya masih sama, dua garis. Di alat ketiga pun garisnya tampak semua. Kali ini Melisa tidak berkutik.
"Jadi, sekarang aku hamil lagi, Mas?" tanya perempuan itu dengan suara lirih.
Candra tak langsung menjawab. Matanya memandang test pack yang digunakan tadi berjajar di dekat wastafel. "Iya, Mel."
"Apa jangan-jangan alatnya salah, ya, Mas? Aku, kan, ngeceknya pas malam. Siapa tahu besok pagi hasilnya beda."
"Kamu coba hubungi Dokter Indi. Barangkali bisa cek langsung malam ini."
"Ah, iya juga!"
Melisa keluar lebih dulu. Tak lupa membawa test pack yang sudah dipakai itu. Selanjutnya, dia memotret alat tersebut dan dikirim ke Dokter Indi, sekaligus bertanya apa bisa bertemu malam ini. Selang sepuluh menit, balasan muncul. Ternyata Dokter Indi bisa ditemui besok pagi karena malam ini sedang di luar kota.
"Gimana?" tanya Candra yang sudah menyusul istrinya.
"Bisanya besok pagi, Mas. Soalnya lagi nggak di sini."
"Ya udah, besok pagi kita ke sana."
Melisa mengusap wajahnya. Bersandar pada ujung nakas. Pikirannya tiba-tiba kalut. Kalau dirinya benar-benar hamil, bagaimana dengan Xania? Apa dia bisa mengurus anak itu di tengah kondisi badan yang tidak karuan itu? Melisa masih ingat bagaimana perjuangannya menghadapi trimester pertama.
Melisa memang ingin memiliki anak lagi, tetapi bukan sekarang.
"Mas nggak apa-apa kalau aku hamil lagi?" Ada yang lebih penting dari perasaannya sekarang. Candra yang sejak awal merencanakan ini, bahkan kepikiran untuk vasektomi, kini harus menerima kenyataan bahwa istrinya hamil lagi di luar rencana.
"Aku udah bilang, aku berusaha menerima apa pun hasilnya."
Melisa sedikit lega mendengar itu. Mau bagaimana lagi. Dia tidak bisa mencegahnya. "Terus Xania gimana, Mas?"
"Kita harus pikirkan tentang pengasuh buat Xania biar kamu ada yang bantuin. Nggak apa-apa, kan, Sayang?"
Ini bagian yang paling sulit. Melisa harus berbagi tugas dengan orang asing. Melisa takut jika kelak Xania lebih dekat dengan pengasuhnya ketimbang ibunya sendiri. Melisa takut dirinya tidak adil membagi kasih sayangnya. Masih banyak hal yang ingin dia lalui bersama Xania tanpa terhalang apa pun. Namun, mau bagaimana lagi. Dia sendiri yang mengatakan kehadiran janin ini adalah rezeki.
"Tapi, aku masih boleh menyusui Xania, kan, Mas?" Ini ketakutan Melisa selanjutnya. Dia benar-benar tidak bisa membayangkan akan berpisah dengan Xania.
"Kalau Dokter ngebolehin, aku izinin."
Perempuan itu menghela napas. Kepalanya makin pusing memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Dia berharap kehamilan kedua ini tidak ada kendala sehingga masih bisa menyusui Xania.
"Sini."
Melisa melangkah ke arah suaminya. Candra merentangkan tangan supaya Melisa masuk ke pelukan. Saat tubuh sudah saling menempel, Candra mengecup puncak kepala istrinya.
"Kita hadapi sama-sama, ya."
"Mas beneran nggak apa-apa?"
"Nggak apa-apa. Kamu nggak usah pikirin aku, ya."
Melisa mengangguk dan makin mengeratkan rengkuhannya. Selama Candra masih ada di sini, selama Candra masih mau berjuang bersamanya, Melisa yakin dirinya mampu melewati takdir ini.
Sebelum berangkat ke rumah sakit, Melisa kembali menggunakan test pack yang tersisa. Hasilnya masih sama, dua garis. Bahkan, setelah bangun tidur tadi, Melisa langsung merasakan mual dan muntah-muntah. Sudah dipastikan bahwa dirinya memang sedang hamil.
Yang kedua lebih berat daripada sebelumnya. Melisa merasakan mual dan muntah hebat, payudaranya sangat sakit, apalagi saat sedang menyusui atau memompa ASI, dan sering merasa kelelahan. Melisa tidak tahu apa ini dampak dari kecapaian mengurus bayi atau ada indikasi lain. Yang jelas dia merasakan perbedaan yang jauh.
"Sayang, kenapa lama di situ? Kamu baik-baik aja, kan?"
Terdengar suara Candra juga ocehan Xania di luar. Melisa mengembuskan napas. Jam segini anak itu sudah bangun dan biasanya mencari susu.
Usai mencuci muka, Melisa keluar. Melihat mamanya, suara Xania melengking. Namun, saat ingin menggendong, Melisa merasakan perutnya bergejolak lagi. Perempuan itu seketika balik badan dan berlari masuk ke kamar mandi. Tangis Xania terdengar setelah itu.
Melisa yang sibuk mengeluarkan isi perut itu merasakan lehernya dipijat dari belakang diiringi suara merdu dari Xania.
"Itu Mama di sini. Mama lagi sakit, Sayang. Xania nggak boleh nangis, ya." Sambil memijat Melisa, Candra menenangkan Xania.
Xania tidak kunjung berhenti, Melisa segera menyudahi muntah-muntahnya. Setelah membersihkan mulut, Melisa mengambil alih anaknya. Xania mulai tenang, apalagi saat Melisa membawanya keluar.
"Kamu mau minum?" tawar Candra.
Melisa mengangguk. "Teh aja, Ayah."
"Oke."
Candra keluar kamar, sedangkan Melisa duduk di pinggir ranjang. Xania berontak seraya menarik-narik pakaian mamanya. Keraguan Melisa muncul ketika tangannya membuka kancing bagian atas. Apa dia masih bisa menyusui? Atau malah Xania menolak saat disusui?
Xania kian berontak berhasil menyadarkan Melisa. Perempuan itu lantas membiarkan Xania mengambil minumannya. Melisa mencoba rileks, menata pikirannya, meskipun di tengah-tengah menyusui dia merasakan nyeri.
"Xania ... kamu cantik banget, deh. Hidungnya mancung kayak punya Ayah, matanya juga kayak Ayah. Dari mama kamu cuma kebagian rambut. Maaf, ya, kalau rambutnya jelek. Nanti kalau udah besar, Xania boleh, kok, lurusin rambutnya kalau nggak suka. Mama karena suka, jadinya nggak pernah dilurusin." Melisa mengusap rambut keriting anaknya, lalu tersenyum saat tatapannya dengan Xania bertemu.
"Kamu kalau punya adik sekarang, nggak apa-apa, ya? Mungkin udah waktunya sekarang kamu belajar tentang berbagi. Tapi, mama janji sama Xania, mama nggak akan pernah banding-bandingin kamu sama adik. Mama juga akan berusaha sayang sama kalian. Kamu nanti juga sayang, ya, sama adik. Boleh berantem, tapi habis itu cepet baikannya, ya. Oh, ya, nanti Xania mau dipanggil apa? Mbak, kakak, atau Mbakyu? Terserah Xania aja, ya, sukanya mau dipanggil apa."
Melisa segera mengusap sudut matanya yang basah. Tangannya memeluk erat tubuh sang anak. "Kalau setelah ini Xania nggak bisa minum susu mama lagi, jangan nangis, ya. Kalau Xania sedih, mama juga ikut sedih. Xania tenang aja, sama Allah bakal diganti dengan susu yang lebih baik. Kamu nggak akan kelaparan walaupun udah nggak minum susu mama lagi. Kamu minta sama Ayah beliin susu yang banyak, ya. Kalau perlu sama tokonya. Ini saatnya kamu menguras uang Ayah."
Di depan pintu, Candra yang membawa cangkir berisi teh mendengar semuanya. Dia merasakan terharu dan terpukul secara bersamaan.
Selamat lebaran, Guys. Maaf kalau ada salah2 baik saat menulis atau saat reply komen. Nggak telat kan? Nggak, dong, orang kue kacangku belum habis.
Kayaknya pas di Ibu Negara aku pernah nulis kalau misalnya Melisa nggak pasang IUD, dia bisa cepet hamil karena dua-duanya sama-sama subur. Jadi beginilah kalau tidak hati-hati.
Mungkin sebagian ada yang kasian, tapi mau gimana lagi ya, pernikahan itu nggak lengkap kalau nggak ada ujiannya. Aku sih berharap semoga mereka bisa melewati semuanya.
Buat yang baca Ibu Negara dan lapak ini, dan sedang berjuang mendapatkan momongan, semangat, ya! Selalu percaya sama Allah. Dia yang lebih tahu kapan waktu yang tepat.
Buat ibu-ibu atau kakak-kakak yang juga punya dan dengar pengalaman kayak Melisa ini, yuk, sharing!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro