64 - Komunikasi Adalah Kunci
Sejak bangun tidur hingga saat ini Melisa bolak-balik masuk ke kamar mandi. Muntah-muntah karena perutnya mual. Dia ingat semalam tidak makan gara-gara merias diri dan menunggu Candra.
Keluar dari kamar mandi, Melisa duduk di sofa. Xania masih terkurung di tempat tidurnya dengan berbagai macam mainan supaya tidak menangis saat ditinggal. Sebenarnya Melisa bisa saja masuk ke kamar lalu menitipkan Xania ke ayahnya, tetapi kalau ingat lagi apa yang dilakukan Candra, Melisa mengurungkan niat itu.
Dirasa tubuhnya mulai enteng, Melisa bangkit dan melangkah mendekati tempat tidur Xania. Dia membuka pintu pagar ranjang, menurunkan Xania sekaligus mainannya ke lantai yang dilapisi karpet. Seketika anak itu merangkak sembari cekikikan. Tangannya menggerakkan boneka beruang.
"Xania ganti popok dulu, ya."
Melisa mulai melepaskan celana Xania. Tentu saja dengan penuh perjuangan karena Xania terus bergerak ke segala arah. Celana berhasil dilepas, saat yang bersamaan pintu terbuka. Melihat ayahnya datang, Xania bersemangat menghampiri. Saat berhasil menjangkau, Xania berdiri bertumpu pada kaki sang ayah.
"Bababa!" Xania mendongak. Mulai oleng dan dengan sigap Candra mengangkat anaknya. Anak itu kegirangan.
Saat Candra duduk di dekatnya, Melisa memalingkan wajah ke arah lain.
"Aku aja yang gantiin popoknya."
Melisa langsung menyerahkan popok bersih beserta tisu basah dan krim ruam tanpa mengeluarkan suara. Ekor matanya melirik Candra yang mulai mengganti popok Xania. Namun, entah kenapa Melisa merasa tubuh suaminya bau sekali, seperti belum mandi berhari-hari. Padahal, dia sangat tahu kebiasaan lelaki itu selalu mandi setelah bangun tidur.
Melisa sudah tidak tahan lagi. Dia berlari masuk ke kamar mandi dan kembali memuntahkan isi perutnya di wastafel sampai tidak ada yang bisa dikeluarkan lagi. Melisa membalikkan tubuhnya agar bisa bersandar pada dinding wastafel sekitar 15 menit kemudian. Tangannya menyeka keringat di kening.
"Mel, kamu kenapa?" Candra muncul sambil menggendong Xania. Melisa spontan menutup hidungnya.
"Mas nggak mandi, ya!"
"Aku mandi. Kamu nggak lihat rambutku masih basah? Aku juga udah pakai parfum."
Melisa mendongak. Memang benar rambut lelaki itu tampak basah. Aneh. Harusnya tidak bau, kan? "Tapi, Mas bau. Aku nggak tahan."
"Bau apa?"
"Ya, pokoknya bau! Udah sana pergi!"
"Kamu kenapa?"
"Aku nggak tahu. Udah sana minggir, aku mau keluar!"
Candra menyingkir. Membiarkan Melisa jalan sendiri pelan-pelan. Ingatannya terlempar ke masa-masa kehamilan Melisa. Yang terjadi pada istrinya barusan persis seperti awal hamil Xania. Tidak mungkin, kan, satu perbuatannya tanpa pengaman itu meninggalkan jejak?
"Mel kalau kamu--"
"Jangan deket-deket, jangan ngomong. Aku masih marah sama Mas." Melisa memotong ucapan Candra sambil memijat kepala.
"Kamu sakit, Mel."
"Iya, aku tahu, tapi aku nggak mau deket-deket sama Mas. Jarak kita satu meter."
Melisa menghela napas. Sisa-sisa kemarahannya kemarin rupanya masih ada. Ditambah lagi sekarang tubuhnya tidak karuan. Dia butuh sesuatu untuk melegakan hati serta perutnya.
"Xania sama Ayah dulu, ya. Mama mau makan."
"Mel, biar aku--" Candra masih membujuk istrinya. Namun, Melisa kembali memotong ucapannya.
"Sst! Jarak kita satu meter!"
Setelah mengucapkan itu, Melisa bergegas pergi. Dapur menjadi tujuannya sekarang. Entah kenapa dia ingin makan gorengan. Secara kebetulan, Ambar baru saja selesai menggoreng tahu.
"Itu tahu buat siapa, Mbak?"
"Eh, Mbak Mel. Ini buat sarapan saya, Mbak Lala, sama Mas Agus."
"Boleh minta satu nggak? Aku pengin makan gorengan."
"Oh, boleh, Mbak. Kalau tahu Mbak mau gorengan, saya bikin banyak tadi."
Melisa mengambil satu buah tahu. Setelah digigit Melisa baru tahu ternyata makanan ini dilapisi tepung lalu didalamnya diisi irisan wortel dan daun kol. "Mbak, kok, nggak asin?"
"Masa, sih, Mbak?" Akhirnya Ambar mengambil satu, memasukkannya ke mulut. "Asin, kok, Mbak. Sebelum goreng juga sudah saya cicipi."
Melisa tertegun sejenak. "Aku beneran sakit kayaknya."
"Mbak kayaknya kecapean. Mukanya pucet gitu. Mendingan Mbak Mel istirahat mumpung Mas Candra lagi libur, to."
Ambar ada benarnya. Candra libur dan pasti Xania akan anteng dengan bapaknya. Toh, Candra akan dengan senang hati mengurus Xania. Mungkin dengan tidur tubuhnya kembali seperti semula.
***
Sampai malam Melisa belum mau bicara dengan Candra. Dia hanya memperhatikan suaminya yang mengurus Xania. Anak itu tampak bahagia saat keliling rumah menggunakan mobil-mobilan Lamborghini bersama ayahnya. Bisa dibilang seharian ini Xania penuh bersama Candra. Melisa masih bolak-balik muntah. Tidur hanya jadi wacana.
Sekarang Xania tidur dan Melisa berada di kamarnya. Candra sedang pergi, katanya mau beli sesuatu. Melisa enggan bertanya lebih lanjut. Ketiadaan Candra dimaafkan Melisa untuk menghubungi mamanya.
"Mama sama Papa sehat?"
"Alhamdulillah, sehat. Kita, kan, baru aja ketemu, Sayang."
"Iya, sih."
"Ada apa emangnya? Tumben kamu telepon mama."
Melisa tidak langsung menjawab. Dia juga tidak tahu kenapa tiba-tiba ingin mendengar suara Ratna. "Nggak ada apa-apa, Ma. Xania udah tidur, Mas Candra lagi keluar, aku sendirian."
"Ternyata Xania udah tidur, ya. Ini barusan Papa colek mama minta diubah ke video call."
"Besok aja kalau Xania lagi anteng. Dia sekarang kayak gangsing, ke sana-sini terus."
"Persis kayak kamu dulu."
Melisa tersenyum. Teringat dulu ketika pikiran sedang kalut karena kesibukan kuliah dan jauh dari orang tua, seketika tenang setelah mendengar suara Ratna. Meskipun saat bertelepon obrolannya ngalor-ngidul, Ratna pun tidak mencela setelah mendengar keluhan anaknya. Mamanya justru menenangkan.
"Ma, Mama sama Papa pernah nggak kalau mau ngelakuin atau mau beli sesuatu nggak bilang dulu?"
"Pernah waktu masih awal-awal menikah dan masih berjuang dapetin momongan. Dulu ada kejadian yang bikin kami bertengkar besar."
"Terus cara menyelesaikannya gimana?"
"Ya kami ngomong setelah hati tenang. Kami coba cari akar masalahnya dan ternyata masalahnya cuma di komunikasi. Dulu mama sering menganggap minta izin itu hal remeh, ternyata kalau udah punya suami itu ya bukan bercandaan lagi. Mau sekecil apa pun hal yang mau dilakukan, pasangan harus tahu."
Mendengar itu, nyali Melisa menciut. Dia pernah diam-diam melepas alat kontrasepsi dan itu membuat Candra marah. Sekarang apa bedanya? Harusnya dia tidak perlu kesal saat Candra diam-diam mengikuti konseling vasektomi. Melisa sadar selama ini tidak pernah meluangkan waktu untuk bicara. Selama ini dia terlalu sibuk dengan keinginannya tanpa melihat bagaimana rumitnya pikiran Candra.
Bukankah seharusnya Melisa mencari tahu alasannya alih-alih mengancam Candra?
"Kamu lagi berantem sama Candra?"
Suara Ratna mengembalikan Melisa dari lamunan. Tanpa mengatakan langsung pun, Ratna pasti bisa menebak.
"Nggak, Ma. Aku sama Mas Candra baik-baik aja."
"Syukurlah. Intinya Mel, salah satu kunci sukses pernikahan itu saling terbuka. Mama yang ngurus kamu dari kecil aja masih suka nggak paham sama perasaan kamu, apalagi orang lain. Dengan bicara, kamu jadi ngerti."
"Iya, Ma."
Setelah itu, telepon terputus saat Candra muncul dari balik pintu. Melisa langsung meletakkan ponselnya di nakas. Dia tidak beranjak sedikit pun ketika Candra mendekat, bahkan duduk di dekatnya.
"Mel, aku minta maaf."
Melisa bergeming, tapi tidak menolak kala Candra meraih tangannya.
"Alasan aku ngelakuin itu karena kamu, Mel. Aku nggak mau kamu kenapa-napa. Aku nggak mau bikin kamu susah. Aku sayang sama kamu, sayang sama Xania juga. Aku mau kita besarin Xania sama-sama. Tadinya kalau bisa, aku mau bilang ke kamu, tapi ternyata banyak syarat yang harus aku penuhi. Makanya aku diam."
Tidak ada respons apa pun dari Melisa. Candra sudah sekuat tenaga mengendalikan pikirannya. Laki-laki itu mau melakukan apa saja demi dirinya. Vasektomi bukan sesuatu yang main-main, tetapi Candra berani mengambil keputusan besar itu.
"Sekarang aku mau kamu melakukan sesuatu."
Candra melepas genggamannya. Mengambil kantung plastik putih berisi sebuah benda yang membuat Melisa terbelalak.
"Mas, kenapa beli ini?"
"Kamu ingat waktu di Semarang kita ngelakuin itu nggak pakai pengaman? Tadi pagi aku ngeliat kamu sama kayak waktu hamil Xania. Hari ini juga kamu sering muntah-muntah, kan. Aku jadi penasaran kamu lagi hamil apa nggak. Kalau tahu sekarang, kita bisa ambil langkah selanjutnya."
"Bisa aja aku masuk angin biasa, kan? Kalau ternyata garisnya dua gimana?"
"Kamu pernah bilang, kalau jadi berarti rezeki, kalau nggak berarti sesuai rencana. Aku tahu rencana kita belum tentu sama dengan rencana Allah. Aku berusaha untuk menerima itu sekarang."
Melisa memandang alat tes kehamilan yang jumlahnya banyak itu, kemudian beralih menatap Candra. "Ini udah malam, Mas. Kalau hasilnya nggak akurat gimana?"
"Bisa diulang besok pagi. Aku udah beli banyak."
"Mas udah pastiin tanggal kedaluwarsanya, kan?"
Candra mengerjap. "Kenapa emangnya?"
Melisa menghela napas. "Waktu hamil Xania, aku pernah beli test pack kedaluwarsa. Hasilnya jadi salah."
Saat itu juga Candra mengambil satu per satu test pack itu untuk mengecek tanggal kedaluwarsanya. Melisa juga ikut membantu karena Candra membeli sepuluh buah.
"Masih lama, Mel," kata Candra usai membaca bungkus test pack.
"Ya udah, aku coba sekarang, ya, Mas. Mumpung aku mau pipis."
"Aku tunggu di sini."
Melisa mengambil tiga buah alat tersebut dan membawanya masuk ke kamar mandi. Setelah menampung air seni, Melisa membuka salah satu alatnya, dan memasukkannya ke wadah. Selanjutnya Melisa mengangkat benda itu dari wadah, lalu diletakkan di dekat wastafel.
Jantung Melisa bertalu-talu sampai tubuhnya mengeluarkan keringat dingin. Akhirnya dia memanggil Candra masuk.
"Kita lihat sama-sama."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro