61 - Lalai
Melisa segera membetulkan celana, menekan tombol flush, dan membuka pintu tanpa menutupnya kembali. Dia bergegas mendekati ranjang. Namun, matanya justru terbelalak melihat Xania sudah berada di bawah dengan posisi tengkurap.
"Xania!"
Melisa panik, kemudian berlutut. Dia segera mengangkat Xania yang wajahnya sudah merah karena menangis kencang. Tidak ada luka atau memar di sekujur tubuh anaknya. Xania hanya menangis kencang dan sukses merontokkan hati mamanya.
"Maafin mama, ya. Mama nggak akan ninggalin kamu sendirian lagi." Melisa mencium kepala Xania berkali-kali supaya tenang. Tak lupa juga mengelus punggungnya.
Tak lama, pintu terbuka lebar, Candra muncul dengan wajah panik.
"Sayang, Xania kenapa? Nangisnya, kok, kedengeran sampai bawah?"
Melisa memutar tubuhnya menghadap Candra dan masih menimang-nimang Xania. Wajah perempuan itu pucat. "Xania barusan jatuh, Mas."
"Jatuh? Jatuh di mana?"
"Jatuh dari kasur ini."
Candra terbelalak. "Kok, bisa? Kamu ke mana emangnya?"
"A-aku pipis, Mas. Baru aja ditinggal ke kamar mandi."
"Ya, kamu bisa panggil aku sebelum pergi. Kenapa kamu malah tinggalin Xania di kasur tinggi begini?"
"Niatnya cuma sebentar, Mas. Ya mana aku kepikiran kalau Xania bakal jatuh."
"Ya walaupun sebentar, ini kasur tinggi. Xania belum bisa turun sendiri. Sebelum kamu pergi, kan, bisa penghalangnya kamu naikin dulu."
Melisa mengatup bibirnya. Dia tidak berani membantah Candra kalau sedang marah begini.
"Sini biar sama aku aja!"
Candra merebut Xania dari tangan Melisa, kemudian pergi. Tangisan anaknya perlahan terdengar menjauh. Namun, Melisa sama sekali tidak bergerak. Dia masih mencerna kejadian barusan juga sikap Candra yang menurutnya berlebihan.
Setelah berhasil menguasai diri, Melisa beranjak turun. Niatnya ingin menyusul sang suami ke lantai bawah. Dekorasi serta meja-meja sudah dibereskan. Sisa sampah yang menumpuk di pojokan.
Tidak terdengar tangisan Xania. Sepertinya anak itu sudah tidur di tangan ayahnya. Melisa hendak menghampiri mereka. Akan tetapi, di sana ada Sarina.
"Jaga anak itu yang bener. Masa anak ditinggal pergi tanpa kasih pengaman."
Melisa mengabaikan ibu mertua. Dia tetap menghampiri Candra. Namun, Candra justru pergi melewati istrinya. Tanpa mengeluarkan satu kata pun.
"Bagusnya anak itu punya pengasuh biar nggak ada kejadian begini. Ibunya nggak becus ngurus anak."
Sarina masih mengoceh. Melisa tidak terima. Dia memutar tubuhnya menghadap wanita yang duduk di kursi roda.
"Ibu bisa diem nggak? Lupa sama peraturan rumah ini?"
"Kenyataannya kamu itu nggak bisa jaga anak. Yang Ibu bilang itu bener, to?"
"Ibu udah ikut campur urusan aku. Sekali lagi Ibu begini, aku nggak segan suruh Ibu pergi dari sini!"
"Kamu pikir Ibu takut? Kamu juga nggak akan mungkin berani usir Ibu."
Perasaannya semakin kalut. Ucapan Sarina terdengar menantang. Sungguh Melisa tidak suka situasi ini. Dia ingin berhenti berseteru dengan ibu mertuanya. Dia ingin hidup tenang. Kenapa rasanya sulit sekali?
"Mbak Lala!" Akhirnya Melisa berteriak memanggil Mbak Lala.
Tak lama, Mbak Lala muncul dari arah dapur. "Iya, Mbak Mel?"
"Bawa Ibu masuk ke kamar. Suruh tidur biar nggak cerewet!"
Setelah itu, Melisa naik lagi ke kamarnya. Sesampainya di sana, Melisa tidak melihat keberadaan suami dan anaknya. Dia lantas membuka pintu yang menghubungkan dengan kamar Xania. Di sana terlihat Candra sedang menidurkan Xania.
"Xania udah tidur, Mas?"
Tidak ada jawaban. Melisa tahu Candra sedang marah padanya. Laki-laki itu akan mengunci rapat mulutnya. Melisa sadar akan kelalaiannya. Dia memang pantas mendapatkan sikap seperti ini dari suaminya.
Xania tampak tenang di tempat tidurnya. Anak itu terlelap sambil memegang boneka rajut kesayangannya, juga sebotol susu yang selalu sedia di samping, supaya nanti kalau terbangun Xania tidak kesulitan mencari susunya. Melisa ingin memberikan kecupan sebelum pergi tidur, tetapi Candra malah menariknya keluar. Pintunya ditutup pelan.
"Mas kenapa, sih?"
Percuma saja Melisa bersuara. Dia tidak akan mungkin mendapatkan jawaban. Yang bisa dilakukannya sekarang hanya mengekori Candra.
Laki-laki itu membuka sebuah laptop. Setelah dinyalakan, layar menampilkan pergerakan di kamar ini dari kamera pengawas. Dimulai dari Melisa dan Xania masuk, lalu Melisa meletakkan Xania di kasur. Sesaat setelah Melisa masuk ke kamar mandi, Xania berusaha mengambil botol susu, tapi sayangnya benda itu terjatuh. Xania tidak tahu kalau tempatnya tinggi sehingga dia berguling. Dahinya yang pertama kali menyentuh lantai berlapis karpet.
Menyaksikan rekaman itu, rasa bersalah Melisa makin memuncak. Dia tahu rasanya jatuh dari ketinggian. Untungnya lantai ranjang ini dilapisi karpet cukup tebal. Pantas saja saat ditemukan, Xania dalam posisi tengkurap.
"Besok aku cari pengasuh bayi buat jagain Xania." Candra mengeluarkan sebuah kalimat yang tidak ingin Melisa dengar.
"Ya nggak gitu juga, Mas. Aku masih bisa jagain Xania."
"Setelah apa yang menimpa Xania barusan, aku harus percaya sama kamu?"
Mata Melisa melebar. "Mas, aku ibunya! Yang tadi itu aku bener-bener nggak sengaja. Aku ngaku salah di sini, nggak usah diperpanjang lagi. Kita tunggu sampai 24 jam. Kalau Xania kenapa-napa langsung dibawa ke rumah sakit."
"Nggak usah diperpanjang kata kamu?" Suara Candra meninggi. "Xania jatuh, Mel! Anak sekecil itu kamu tinggalin aja di kasur yang tinggi. Kamu mikir nggak, sih? Kalau seandainya nggak ada karpet, bisa aja Xania kepalanya cidera!"
"Aku tahu! Aku tahu aku salah! Bisa nggak, sih, nggak usah mojokin aku? Aku baru ngelakuin satu kesalahan, tapi seolah-olah aku ini ibu yang jahat. Apa Mas pernah kepikiran gimana perjuangan aku ngurus Xania? Menurut Mas yang aku lakuin selama ini nggak ada artinya, gitu?"
Melisa menggigit bibir, menahan tangis. Dia menyadari kesalahannya. Namun, kenapa suaminya sendiri malah memojokkannya? Seakan-akan apa yang sudah dilakukannya selama ini tidak ada artinya di mata Candra.
"Ini yang bikin aku nggak mau punya anak, Mel. Kita berantem nggak jelas cuma gara-gara hal sepele. Coba aja kamu waktu itu nggak diem-diem lepas KB, kita nggak mungkin kayak gini."
Gemuruh berhasil menghantam tubuh perempuan itu. Ucapan barusan seperti sengatan listrik yang menyentuh kulitnya. Melisa tidak menyangka Candra akan mengungkit kejadian yang sudah berlalu. Seolah-olah Candra menerima Xania karena sudah telanjur hadir di dunia ini. Kalau begini, apa dirinya juga harus menyesali keputusannya bertahan di sini?
"Terserah Mas mau bilang apa. Mau sewa baby sitter juga silakan! Aku capek. Aku kira Mas beneran sayang sama Xania."
Tak mampu menahan tangisnya, Melisa beranjak pergi ke kamar Xania.
"Mel, aku belum selesai bicara! Melisa!"
Melisa pura-pura tidak mendengar. Dia tetap masuk ke kamar anaknya. Sebelum Candra berhasil menyusul, dia mengunci semua pintu supaya tidak ada yang masuk. Tak mau mengganggu ketenangan anaknya, Melisa memilih masuk ke kamar mandi, menghidupkan keran, dan menumpahkan tangisnya diiringi kucuran air.
Dadanya kian sesak saat air matanya mengucur deras. Melisa mencari sesuatu yang bisa digenggam ketika kedua kakinya tak mampu berdiri tegak. Dia jadi membayangkan seandainya Ratna, Hartanto, Sintia, dan Hutama masih ada, apa mereka juga akan menyalahkan Melisa?
Melisa bisa ngelawan Mbah atau siapa pun, tapi tidak dengan Candra.
Ini di luar skrip wkwkwk soalnya aku malas balik ke Ibu Negara. Maunya yang happy2 gitu lho.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro