59 - Tedhak Siten
Dalam kalender Jawa, Xania kini berusia tujuh lapan, atau kalau dalam kalender Masehi tepat berusia delapan bulan. Artinya Xania sudah boleh melangsungkan upacara Tedhak Siten. Tedhak Siten sendiri merupakan salah satu tradisi Jawa yang sudah jarang dilakukan. Kata tedhak Siten sendiri berasal dari kata tedhak yang artinya turun atau menapakkan kaki dan siten atau siti yang berarti tanah, sehingga disebut tradisi menginjak tanah untuk seorang anak.
Tentu saja para kakek dan nenek Xania yang menentukan harinya. Melisa yang tidak paham hanya mempersiapkan acaranya, sedangkan Candra kebagian mengurus pembayaran. Ah, lagi-lagi Melisa harus tabah karena seminggu sebelum acara, Candra malah mendapat jadwal terbang mancanegara, tepatnya ke Korea. Jadinya Melisa yang mengurus semuanya. Tidak masalah bagi Melisa, karena saat hari H suaminya di rumah.
Tujuan Melisa dan Candra mengadakan acara ini yang paling utama adalah mempererat tali silaturahmi dengan keluarga dan teman-teman, kemudian memperkenalkan budaya pada Xania sejak dini, sekaligus mengungkapkan rasa syukur kepada Allah atas berkat yang diberi selama ini. Semua yang terjadi dan perkembangan yang bagus tidak lepas dari pertolongan-Nya.
Sekarang anak itu sudah berganti pakaian. Mengenakan kebaya warna pink dan rok dari kain jarik. Butuh perjuangan sampai akhirnya Xania mau memakai pakaian itu.
"Nanti pas acara, Xania nggak boleh nangis, ya. Jangan tidur juga. Tidurnya nanti kalau acaranya udah selesai," kata Melisa seraya memperbaiki bandana pita di kepala Xania.
"Mamam!"
"Iya, iya, habis ini Xania boleh makan biskuit. Mohon kerja samanya, ya. Oke?"
Melisa mengangkat tangan, bermaksud mengajak Xania tos, tetapi anak itu justru menarik tangan mamanya.
"Kamu udah laper, ya? Kan, barusan baru aja makan." Saat berkata seperti itu, tangan Melisa bergerak memasang alas makan di leher anaknya, lalu mengeluarkan biskuit dan diletakkan di meja makan Xania.
"Kamu makan, tapi jangan nangis, ya. Mama mau dandan dulu."
Usai memastikan Xania tenang, Melisa duduk di kursi. Rina, MUA yang diundang Melisa, sudah berdiri sejak tadi.
"Maaf, ya, Mbak, jadi nunggu lama."
"Nggak apa-apa, Mbak. Saya maklum. Punya anak bayi memang begitu."
Rina mulai memulas wajah Melisa. Pertama mengenakan pelembab dan alas bedak, kemudian dilanjut merias mata, tulang pipi, dan hidung. Setelah diberi bedak, bibir Melisa dipulas lipstik berwarna pink nude agar senada dengan warna pakaiannya.
Setelah merias wajah, lanjut menata rambut. Melisa memilih mengikat rambutnya tanpa diberi sanggul. Dia sudah membayangkan betapa merepotkan nanti kalau pakai sanggul terus menggendong Xania. Tangan anak itu tidak bisa tenang melihat benda baru. Takutnya ditarik-tarik malah merusak riasan.
Sembari menggigit biskuit, Xania terus memperhatikan mamanya. Seperti itu jika baru menemukan hal baru. Xania akan terus memperhatikan.
Tepat saat Melisa berdiri dan bersiap untuk pergi, Xania mulai berontak, takut ditinggal, padahal Melisa hanya ingin ganti pakaian.
"Sebentar, Sayang. Mama ganti baju dulu. Mama pakai baju yang sama kayak Xania."
Akan tetapi, Xania tetap merengek minta digendong. Akhirnya Melisa memanggil Ambar sebagai bala bantuan. Melisa mendengar tangisan Xania ketika dirinya pergi ke kamar mandi.
Usai berganti pakaian, Melisa keluar dan niatnya ingin langsung menghampiri Xania. Namun, anak itu sudah, diam di tangan ayahnya. Candra sudah berganti pakaian, mengenakan beskap warna pink dan kain jarik. Karena Xania sudah tenang, Melisa bisa mengecek bayi besar bernama Sarina.
"Aku lihat Ibu dulu, ya, Mas."
"Iya."
Melisa menuruni tangga, melangkah menuju kamar Sarina. Sesampainya di sana, Melisa terbelalak karena Sarina sama sekali belum mengganti pakaiannya. Padahal, ada Mbak Lala.
"Bu, kok, belum siap-siap? Sebentar lagi tamu-tamu mau datang, lho."
"Maaf, Mbak, dari tadi Ibu nggak mau ganti baju." Mbak Lala yang menjawab.
Melisa kembali menatap Sarina. "Ibu kenapa nggak mau ganti baju?"
"Ibu nggak mau keluar," jawab Sarina.
"Kenapa nggak mau?"
"Buat apa? Malu-maluin aja."
"Kalau Ibu nggak keluar, siapa nanti yang nemenin Mas Candra?"
"Wong ada kamu. Ya kamu aja yang di luar."
"Ya udah kalau Ibu nggak mau keluar."
"Tuh, kan, kamu emang nggak suka kalau Ibu ada di luar."
Melisa menghela napas. Kumat lagi, kan. Melisa jadi bingung sendiri. "Kan, Ibu sendiri yang bilang nggak mau karena malu. Kok, jadi Mel? Pokoknya terserah Ibu. Mau ikut keluar silakan, nggak mau ya silakan."
Akhirnya, Melisa keluar dari kamar Sarina. Candra sudah turun bersama Xania, menyambut kedatangan Hutama serta keluarga. Melisa menghampiri mereka.
"Ibu udah selesai, Sayang?" tanya Candra.
"Ibu nggak mau keluar."
"Kenapa?"
"Katanya malu."
"Biar aku yang ke sana, kamu pegang Xania, ya." Candra lantas menatap anaknya. "Xania sama Mama dulu, ya."
Namun, Xania tidak mau saat diserahkan ke mamanya. Candra akhirnya mengajak Xania masuk ke kamar Sarina. Sama seperti sebelumnya, saat Candra datang, Sarina belum juga mengganti pakaiannya.
"Ibu kenapa nggak mau keluar?"
Sarina memandang Candra yang menggendong Xania. Pemandangan yang dulu sangat dia impikan. "Ibu nggak mau bikin kamu malu. Di luar pasti banyak temen-temen kamu yang datang, kan?"
"Bu, aku sama sekali nggak malu kalau Ibu keluar. Masa aku bikin acara, tapi Ibu nggak ada."
"Bah!"
Spontan Candra menatap wajah anaknya. "Xania mau Mbah keluar?"
"Bababa!" Xania memainkan mulut hingga air liurnya mengenai wajah Candra.
Candra memandang Sarina lagi. "Tuh, Xania mau Ibu keluar. Ibu mau, ya?"
"Ya udah."
Candra tersenyum, lalu meminta tolong Mbak Lala untuk menggantikan baju Sarina.
Xania berceloteh ketika menyaksikan banyak orang di rumahnya. Makin heboh lagi saat melihat nenek dan kakeknya. Ya, Ratna, Hartanto, serta ketiga kakak Melisa baru saja datang. Tentu saja Fyan dan Ryan langsung menyerbu Xania, rebutan mau gendong.
"Xania sama Om Ryan, yuk!"
"Sama Om Fyan aja! Om Fyan punya biskuit kesukaan Xania."
"Bisa banget ngerayunya," sela Melisa. "Gendongnya nanti kalau udah selesai acara."
"Yaaah." Suara Fyan dan Ryan terdengar bersamaan.
"Kami duluan, ya, Kakak-kakak!" seru Yumna dan Yusna serempak. Si kembar makin memajukan bibirnya.
Setelah para keluarga dan tamu undangan lain sudah berkumpul semua, acara dimulai. Ada Ibu Sulis yang dipercaya memandu prosesi Tedhak Siten. Beliau sudah biasa memandu prosesi yang berkaitan dengan adat Jawa.
Prosesi dimulai. Pertama, Melisa membasuh kedua kaki Xania terlebih dahulu menggunakan air yang sudah ditaburi bunga. Makna dari basuh kaki ini adalah Xania diharapkan menapaki dunia dalam keadaan hati yang bersih dan semoga Xania selalu berada di jalan yang benar.
Selanjutnya, Candra memegangi tubuh Xania untuk meniti jadah dengan tujuh warna. Jadah merupakan sejenis kue yang terbuat dari beras ketan. Terdiri dari tujuh warna, yaitu merah, putih, hijau, kuning, biru, merah jambu, dan ungu. Kenapa harus tujuh? Karena tujuh dalam bahasa Jawa disebut pitu, dengan harapan Xania kelak dapat mengatasi kesulitan hidup selalu meminta pitulungan atau pertolongan Tuhan. Warna yang beragam menggambarkan rintangan hidup ada banyak jenisnya.
"Xania, ayo, lagi!" Melisa membujuk Xania supaya mau menapaki warna selanjutnya. Baru saja Xania berhasil berdiri di jadah warna merah.
Melisa bertepuk tangan saat Xania berhasil menginjak warna putih. Warna-warna tersebut juga memiliki makna. Merah menggambarkan keberanian, kuning menggambarkan kekuatan lahir dan batin, putih menggambarkan kesucian, merah muda menggambarkan cinta dan kasih, biru ketenangan, hijau kesuburan, dan ungu menggambarkan kesempurnaan.
Sepertinya Xania mendengarkan pesan mamanya. Selama proses meniti jadah ini, dia tidak menangis, padahal ada beberapa orang yang mengabadikan momen ini dalam sebuah foto dan video.
"Alhamdulillah, Xania berhasil melewati jadah tujuh warna. Semoga kelak Xania mampu melewati rintangan dalam hidupnya," ucap MC yang tidak lain adalah Inayah.
Selanjutnya menaiki satu per satu tujuh anak tangga yang terbuat dari tebu. Prosesi ini menggambarkan Xania akan melewati hari demi hari hingga tiba di puncak. Prosesi ini juga didampingi oleh kedua orang tua seakan-akan mereka mendukung Xania menjalani hari-harinya.
Setelah berhasil sampai puncak, Xania menuruni tangga tersebut dengan cara yang sama, dipegangi oleh mama dan ayahnya. Hal ini memiliki makna bahwa ketika sudah sukses, Xania harus tetap menunduk. Ketika tiba di anak tangga paling bawah, Xania menginjak tanah yang memiliki makna setinggi apa pun kesuksesan yang diraih kelak, Xania akan kembali ke tanah.
Saat prosesi inilah Xania mulai merengek karena masih asing dengan tanah. Candra segera mengangkat tubuhnya dan menenangkan anak itu sebab masih ada satu prosesi lagi.
Dirasa sudah tenang, Candra mendudukkan Xania di sebuah karpet bundar yang sudah dikelilingi berbagai macam mainan. Di sebelahnya ada kurungan besar yang nanti akan menutupi anak itu. Nanti Xania disuruh mengambil tiga buah mainan yang menggambar profesi di masa depan.
Kurungan tersebut mulai diletakkan di atas kepala Xania, tetapi hanya sebentar karena Xania menangis kencang. Akhirnya Melisa ikut masuk ke kurungan itu supaya Xania tidak takut.
"Nggak apa-apa, Sayang. Jangan takut, ya. Ada mama di sini." Melisa memeluk tubuh Xania di pangkuan. "Sekarang Xania pilih mau mainan yang mana. Ambil!"
Para nenek kakek serta om dan tantenya mengerubungi kurungan itu. Mereka penasaran mainan apa yang akan diambil Xania.
Setelah menunggu agak lama, Xania meraih mainan pesawat terbang. Melisa menepuk kedua tangannya.
"Xania mau jadi pilot kayak Ayah, ya? Keren!" seru Melisa. "Sekarang, Xania ambil lagi."
Xania mengambil mainan kamera.
"Xania mau jadi youtuber kayaknya!" kata Yumna.
Satu lagi, Xania mengambil uang mainan. Melihat itu, Melisa yang kegirangan.
"Perempuan itu harus punya uang yang banyak! Xania pinter!" Melisa mencium kedua pipi bakpau anaknya.
Prosesi terakhir, Melisa dan Candra melempar udhik-udhik alias uang koin yang sudah dicampur bunga. Ini menggambarkan semoga rezeki Xania melimpah dan mau berbagi ke semua orang.
Semua prosesi berjalan dengan lancar. Xania mulai tampak kelelahan itu langsung diberikan susu. Sebelum Xania benar-benar terlelap, Melisa ingin semua anggota keluarganya berfoto bersama, lalu Xania diajari salim dengan kakek dan neneknya. Kini Hartanto, Ratna, Sarina, Hutama, dan Sintia duduk sejajar. Melisa yang menggendong Xania mendatangi mereka satu-satu.
"Xania yang cantik, semoga jadi anak yang sukses, ya." Hartanto mengelus kepala cucunya.
"Tumbuh jadi anak yang cerdas dan baik hatinya." Ratna menimpali ucapan suaminya.
Tiba giliran Sarina, wanita itu tidak mengatakan apa pun. Sarina hanya mengelus kepala Xania. Tidak mau membuang waktu, Melisa beralih ke Hutama dan Sintia.
"Jadi anak yang bikin mama sama ayah kamu bangga, ya. Kakek dukung kamu terus," ucap Hutama setelah mencium kedua pipi Xania.
Sintia tersenyum riang, juga mencium kedua pipi Xania. "Oma udah nggak sabar mau ajakin kamu belanja."
Xania sudah mulai menggeliat, pertanda anak itu mau tidur. Melisa segera menidurkan Xania.
"Habis ini kalian makan, ya. Kita makan bareng," kata Melisa yang masih membopong Xania. Kapan lagi bisa makan bersama kalau tidak saat acara begini?
Xania: Makasih Onty-onty udah mau datang ke acara tedhak siten aku. Semoga Onty-onty sehat selalu, ya. Gimana puasanya Onty-onty? Lancar kan?
Semangatin Nenek Nis biar bisa update cepet lagi, yuk!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro