57 - Berkunjung ke Yukata Books
Xania makin sehat. Makannya mulai banyak seperti biasanya. Gerakannya makin lincah. Sudah bisa merangkak sampai jauh. Tangannya mampu meraih apa pun yang ada di hadapannya. Anak ini sudah butuh pengawasan lebih. Melisa sangat bahagia meskipun tubuhnya lelah mengejar Xania.
Rencananya hari ini Melisa akan mengajak Xania keluar. Tempat pertama yang mereka tuju adalah Yukata Books. Melisa masih berhubungan baik dengan para karyawan di sana meskipun sudah tidak bekerja lagi. Tempat kedua adalah bandara, menjemput Candra. Sudah tiga hari suaminya terbang ke Singapura. Hari ini tugasnya usai. Melisa menawarkan diri menjemput pria itu sekaligus membawa Xania main.
Sekarang, mereka telah tiba di tujuan pertama. Yukata Books belum banyak yang berubah setelah satu tahun lebih Melisa tinggalkan. Bahkan, Melisa masih hafal di mana letak ruangannya dulu, bagaimana posisi mejanya, dan balkon yang biasa ia datangi ketika penat. Sejak hamil hingga Xania lahir, Melisa tidak pernah datang lagi ke sini. Ia jadi jarang bertemu dengan Inayah. Temannya itu juga sibuk.
"Ini dulu tempat kerja mama. Mama sengaja kerja biar lupa sama keinginan punya anak, sama menghindari mbah kamu yang cerewet," kata Melisa. "Di sini mama ketemu penulis yang beragam tingkahnya. Ada yang nurut-nurut aja, ada yang jago diskusi, ada yang nggak mau dengerin mama, ada juga yang sombong banget. Pokoknya nanti kalau kamu udah besar dan udah kerja, harus kuat menghadapi tingkah manusia. Kamu akan ketemu sama orang yang manis di depan tapi pahit di belakang."
Melisa tetap mengoceh sembari mendorong kereta bayi berisi Xania. Di dalam anak itu asyik menggigit biskuit sambil sesekali merespons mamanya. Untuk jalan-jalan kali ini, Xania mengenakan dress ruffle warna biru muda dan bawahannya mengenakan legging warna putih. Rambutnya dikuncir dua. Sejak rambut Xania panjang, Melisa kerap eksperimen ikat dan jepit rambut. Xania tidak pernah protes, malah mendadak diam kalau mamanya mulai membawa sisir dan ikat rambut.
Melisa baru menghentikan laju kereta bayinya ketika tiba di sebuah ruangan. Inayah langsung menghampiri Melisa.
"Aduh, aduh ... siapa yang dateng, nih?" Inayah langsung mengangkat tubuh Xania dari tempatnya. "Udah berat banget kamu. Dikasih makan mulu, ya, sama Mama?"
Xania meringis. Inayah terbelalak melihat dua buah gigi di bagian depan bawah.
"Ya ampuuun, kamu udah tumbuh gigi? Kamu udah gede ternyata!" seru Inayah. Untuknya yang jarang berinteraksi dengan bayi ini, akan terkejut dengan perkembangan Xania. "Mel, kok, Xania udah gede aja, sih? Rasanya kayak baru kemarin aku nganterin kamu ke rumah sakit gara-gara test pack kedaluwarsa."
Melisa tertawa. Dia jadi ingat kebodohannya. Untung kala itu ada Inayah. Kalau tidak, pasti akan terjebak dengan pikirannya sendiri. "Tante Inayah ini sangat besar jasanya, Nak. Tante Inayah yang nganterin mama ke rumah sakit pas pingsan."
"Jadi anak yang pintar, ya. Jangan ceroboh kayak mamamu."
Mereka akhirnya duduk di sebuah sofa panjang. Inayah yang memangku Xania. Melisa memberikan biskuit bayi lagi.
"Makin gede makin keliatan mukanya mirip Candra," kata Inayah sembari mengusap pipi Xania.
"Iya, dong. Kan, bapaknya."
"Aku kalau jadi ibu pasti seneng banget ngeliatin pertumbuhan anak. Kamu ngerasain gitu juga nggak, sih, Mel?"
Sebelum menjawab, Melisa menatap wajah Xania. "Iya, Nay. Sama kayak yang kamu bilang, rasanya kayak baru kemarin aku ngerasain Xania gerak-gerak di dalam perut, sekarang udah sebesar ini. Tiap kali dia tidur aku selalu ngeliatin dia sambil mimpi ini mimpi apa bukan. Kamu tahu sendiri, kan, gimana perjuangan aku dapetin dia?"
Tentu saja Inayah tidak lupa bagaimana kerasnya Melisa membujuk Candra, sampai akhirnya nekat melepas alat kontrasepsi tanpa sepengetahuan laki-laki itu. "Terus sekarang gimana, Mel? Udah nggak apa-apa, kan?"
"Ya ... sekarang ganti overthinking-nya. Mas Candra takut aku hamil lagi gara-gara aku nggak pasang KB, padahal dia sendiri yang maunya begitu."
"Terus sekarang kamu belum pasang KB?"
Melisa menggeleng. "Aku belum sempat datang ke dokter setelah Xania sakit, Nay."
"Kamu sendiri gimana?"
Ada jeda agak lama karena Melisa membersihkan mulut, pipi, dan kedua tangan Xania yang penuh dengan remahan biskuit. Kalau tidak langsung dibersihkan, takutnya nanti mengotori sofa atau pakaian Inayah.
"Kalau aku, ya, nggak ada masalah, walaupun ada takutnya. Kamu lihat sendiri, kan, Xania masih segini. Kalau tiba-tiba aku hamil, nanti Xania siapa yang ngurus? Sampai sekarang aku belum berani lepasin dia ke baby sitter." Melisa menghela napas. "Aku bilang kalau misalnya hamil, berarti Allah yakin aku mampu. Kalau nggak jadi, berarti sesuai rencana. Kalau dipikirin mulu, pusing."
"Kamu bukannya mau pindah ke Jakarta, kan?"
Melisa mengangguk. "Bentar lagi kita pisah, Nay. Kamu mending nikah sama Mas Ahsan aja biar Mas Ahsan mau ke Jakarta lagi, biar kita deket."
"Heh, mulut kamu sembarangan banget! Aku nggak mau, lah, jadi istri kedua!"
"Nggak bakal jadi istri kedua, Nay. Mas Ahsan sama Mbak Mutia udah cerai."
"Hah? Kok, bisa?" Tentu saja Inayah terkejut meski memang ia sudah tahu bagaimana karakter Mutia berdasarkan cerita dari Melisa.
"Panjang ceritanya, Nay. Intinya sekarang Mas Ahsan single. Kamu boleh, lho, daftar jadi istrinya."
Inayah geleng-geleng. Tangannya menepuk pelan paha Xania. "Tuh, lihat mama kamu malah promosi Om ke Tante."
"Xania setuju, kan, kalau Tante Inayah nikah sama Om Ahsan?" Melisa tidak mau kalah.
"Anak kecil mana tahu, Mel."
"Nay, kalau kamu beneran mau sama Mas Ahsan, nanti aku kenalin pas acara tedhak siten."
"Please, Mel ...."
Melisa tertawa kecil. Entah kenapa dia sangat semangat menjodohkan Inayah dengan kakaknya. Tujuan utamanya, sih, biar makin lengket ikatan persahabatannya. Inayah cocok, kok, jadi kakak iparnya. Cocok juga jadi ibu sambung Tiara. Intinya Melisa akan merasa lega kalau Ahsan bersama wanita yang tepat.
Xania mengerang. Tangannya melambai-lambai ke arah mamanya.
"Kok, mukanya Xania tegang gitu, Mel?" tanya Inayah.
"Dia lagi pup, Nay."
Melisa segera mengambil alih tubuh Xania. Ya, walaupun tidak akan mengotori celana Inayah karena Xania pakai pampers, tetap saja Melisa khawatir tembus.
Melisa langsung membawa Xania ke toilet, sedangkan Inayah pergi mencari makanan. Di dalam ruangan itu, Melisa melepaskan celana legging dan sepatu, lalu mulai mencopot pampers setelah Xania berhenti mengejan, membersihkan sisa kotoran dengan air.
Selanjutnya, Melisa kembali ke sofa, menidurkan Xania di sana, lalu mengeluarkan popok bersih dari dalam tas. Melisa sedikit kesulitan memakaikan pampers lantaran kaki Xania terus memberontak. Tubuhnya juga berbalik dan merangkak. Setelah beberapa kali gagal, akhirnya popok berhasil masuk ke kedua kaki anaknya. Setelah itu, celana legging dipakaikan kembali.
"Sini, lihat HP mama!" Melisa mengeluarkan ponsel dari saku celananya, membuka aplikasi flight radar. Setelah itu, gambar kerumunan pesawat terlihat di layar. Melisa menekan pesawat sesuai dengan nomor penerbangan yang diberikan Candra. Melisa tersenyum usai melihat status pesawat itu.
"Ayah kamu sebentar lagi sampai, Nak. Yuk, siap-siap jemput Ayah!"
Baru sadar kalau aku updatenya seminggu sekali. Selain ngerjain naskah di cabaca, aku juga lagi ngerjain revisi Konjungsi Rasa, sama di sini lagi sibuk acara.
Banyak alasan kau 🤣
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro