Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

55 - Makin Pintar

Semalaman Xania tertidur di pelukan ayahnya yang duduk di bed. Sesekali anak itu terbangun lalu terisak. Candra dan Melisa tidak sepenuhnya tidur nyenyak.

"Mamamam!"

"ibai ibai!"

Semenjak jadi ibu, bukan alarm ponsel lagi yang membangun Melisa dari tidurnya, melainkan celotehan Xania yang selalu terdengar setiap pagi. Itu ocehan pertama yang keluar di rumah sakit. Obat yang dimasukkan ke infus cukup memulihkan tenaga anak itu. Xania kembali jingkrak-jingkrak seperti biasa. Hanya saja Melisa sedikit ngeri karena tangan Xania masih tertancap infus, apalagi kadang-kadang Xania menarik selangnya.

"Xania udah nggak sakit lagi? Xania udah sembuh?"

Xania tersenyum lebar, memamerkan gusi yang mulai muncul warna putih di bagian depan. Anak ini benar-benar mau tumbuh gigi. Karena sering menggigit mainannya, ada bakteri yang masuk sehingga mengakibatkan muntah dan diare. Melisa merasa bersalah karena tidak menjaga kebersihan mainan anaknya. Apalagi beberapa kali Xania berinteraksi dengan Sarina. Untungnya setelah diperiksa, Xania tidak tertular meski gejalanya mirip.

"Aah!" Suara Xania melengking saat Candra bangkit dan beranjak ke toilet. Begitu punggung ayahnya tidak terlihat, Xania mulai merengek. Melisa segera mengangkat tubuh anaknya dengan hati-hati. Tentu dengan memperhatikan selang infus.

"Bentar, Nak. Ayah lagi kebelet pipis. Ditahan itu sakit. Sabar, ya. Xania sama mama dulu." Melisa mengusap pipi Xania yang basah. Tangis anak itu tidak akan berhenti sampai bapaknya muncul. Itu juga terjadi kemarin waktu Melisa juga meninggalkan Xania.

Xania memang sudah bisa mengenal wajah kedua orang tua serta anggota lain di rumahnya. Makanya Melisa merancang kunjungan ke Semarang supaya Xania juga mengenal keluarganya yang lain. Acara Tedak Siten nanti juga termasuk bagian dari stimulasi Xania mengenal banyak orang. Xania belajar bersosial dari sekarang.

Ketika selesai dari kamar mandi, Candra langsung menghampiri anaknya. Xania perlahan tenang.

"Tuh, kan, Ayah cuma sebentar," kata Melisa. "Sekarang Xania makan, ya. Biar cepet sembuh, biar cepet pulang."

Melisa kemudian mengambil nampan berisi mangkuk bubur nasi, serta satu buah apel.

"Buburnya emang nggak halus gini, ya, Sayang?" tanya Candra.

"Iya, kan, udah mau delapan bulan, udah mau tumbuh gigi juga, Xania udah boleh dikenali tekstur yang kasar. Nanti kalau udah umur sembilan atau sepuluh bulan gitu, udah boleh disamain sama menu makanan kita."

Mendengar itu, mata Candra berbinar. Lalu, ia mengecup singkat pipi Xania. "Jangan cepet gede, Nak."

Karena tidak mungkin untuk didudukkan di highchair, akhirnya Xania dipangku Candra, lalu Melisa yang menyuapi Xania. Anak itu tampak senang saat Melisa mulai memasukkan bubur ke mulutnya.

"Lagi? Xania makan yang banyak, ya, biar cepet sembuh." Melisa menyuapi Xania yang kedua. Candra membantunya dengan mengelap sisa bubur di sekitar mulut anaknya.

Melihat makanan itu tersisa sedikit, Melisa dan Candra mengucap syukur. Akhirnya Xania mau makan banyak.

"Yeay, habis!" seru Candra seraya bertepuk tangan. Tidak disangka, Xania menirukan gerakan ayahnya. Hal itu membuat Candra gemas. Pipi Xania dihujani banyak kecupan.

Selesai makan, tidak lupa Melisa membersihkan rongga mulut Xania menggunakan sikat gigi jari. Sejak bayi, Xania tidak pernah absen membersihkan mulutnya setiap kali selesai menyusui. Setelah itu, Candra dan Melisa menemani Xania bermain. Ya, sebagian mainan Xania di rumah diangkut Mas Agus ke sini dengan harapan anak itu bisa beradaptasi di tempat asing. Xania mulai asyik menekan tombol warna-warni dan tertawa renyah ketika setelah ditekan menghasilkan suara. Bosan dengan tombol warna-warni, Xania beralih ke mainan ring stack. Ia mulai menyusun mainan berbentuk lingkaran itu tanpa bantuan siapa pun.

Sampai akhirnya, Dokter Mira bersama suster datang. Melihat suster, Xania melepaskan mainan dan beringsut memeluk tubuh sang ayah.

"Nggak apa-apa, Sayang. Dokter mau periksa Xania," ucap Candra seraya mengelus punggung anaknya. "Ada ayah di sini. Xania jangan takut. Oke?"

Xania sama sekali tidak mau menampakkan wajahnya di depan dokter dan suster. Dokter Mira sabar menunggu Xania sampai mau diperiksa.

"Sudah nggak muntah-muntah lagi, kan?" tanya Dokter Mira.

Melisa menjawab, "Nggak, Dok. Udah berhenti muntahnya, tinggal pupnya aja masih encer."

"Oke, kita coba periksa dulu, ya."

Namun, saat suster mendekat, Xania tiba-tiba menangis kencang. Memang suster ini yang semalam membantu memasangkan infus ke tangan Xania. Mungkin Xania masih takut.

"Ayah di sini, Sayang. Xania jangan takut, ya." Candra masih terus membujuk Xania.

"Mama juga di sini. Dokter mau periksa perut Xania." Melisa juga ikutan membujuk anaknya, padahal sebenarnya dia tidak tega melihat Xania seperti ini. Baru diperiksa, belum kalau harus melepaskan infusnya. Kesabaran Melisa benar-benar diuji sekarang.

"Dokter pinjem perut Xania boleh?" Dokter Mira akhirnya turun tangan membujuk Xania. Saat dokter itu mendekat, Xania makin mengeratkan pegangannya pada baju ayahnya.

Melisa tidak kehabisan akal. Ia mulai memainkan mainan bunyi-bunyian supaya perhatian Xania teralihkan. Memang butuh perjuangan yang panjang sampai akhirnya tangis Xania mulai mereda, tubuhnya melunak. Dokter Mira mulai menempelkan stetoskop di dada dan perut Xania.

"Makasih Cantik, Dokter udah dipinjemin perutnya." Dokter Mira tersenyum seraya mengelus pipi Xania. "Semoga cepet sembuh, ya."

"Makasih, Dokter," ucap Candra, menirukan suara anak kecil. Xania menyembunyikan wajahnya.

"Terus imunisasinya gimana, Dok?" tanya Melisa.

"Ditunda dulu, ya, Bu. Soalnya Xania baru aja mengonsumsi obat."

Melisa mengangguk. Kemudian, Dokter Mira dan suster beranjak pergi. Melisa mengambil Xania dari gendongan Candra. Xania tampak senang karena sebentar lagi diberi ASI.

Melisa tidak langsung memberikan. Ia malah menggoda anaknya dengan membuka dan menutup baju. "Xania mau nen, ya?"

"Nen!"

Baik Melisa maupun Candra melebarkan mata. Ini pertama kalinya Xania mengucap kata dengan jelas.

"Makin pinter, ya, kamu. Gawat kamu udah bisa bilang nen," seloroh Candra. Melisa yang tahu maksudnya tertawa.

Xania yang tidak kunjung mendapatkan makanannya lantas menarik baju Melisa sembari merengek. Melisa akhirnya membolehkan Xania menguasai sumber makanannya.

"Mas kalau mau istirahat dulu nggak apa-apa. Biar Xania sama aku. Kayaknya bentar lagi tidur anaknya," kata Melisa.

"Aku mau cari makanan dulu. Kamu, kan, belum sarapan."

Lah, iya juga. Saking sibuknya menghadapi Xania, Melisa sampai lupa mengisi perutnya. Melisa juga lupa mengingatkan Candra untuk makan.

"Kamu mau makan apa? Aku beliin di kantin rumah sakit."

"Roti aja, deh, Mas. Minumnya jus."

Candra hendak pergi, tetapi melihat istrinya memejamkan mata, seperti sedang menahan sakit, ia urung melangkah. "Kamu kenapa, Sayang?"

"Xania gigit lagi, tapi nggak apa-apa, kok. Udah biasa."

Pria itu tersenyum tipis. Perjuangan Melisa sangat luar biasa. Ia mampu menahan sakit berkali-kali lipat demi anaknya. Tidak ada yang sanggup menggantikan peran seorang ibu. Candra tidak akan pernah menambah beban di bahu istrinya.

Tangan Candra terangkat mengelus rambut ikal Xania. "Minumnya pelan-pelan, ya, Sayang. Jangan bikin Mama kesakitan."

Xania mengerang, pertanda tidak ingin diganggu aktivitasnya. Candra lagi-lagi tersenyum lebar.

"Aku beliin kamu makanan dulu, ya."

Yang mau baca part 56 bisa ke Karyakarsa. Tapi kalau mau sabar, ya tunggu aja di wattpad 😂

Pokoknya kalau aku belum bikin pengumuman, berarti belum nulis. Revisianku baru sampai bab 10 dari 18 😂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro