Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

49 - Kabar Mencengangkan

Melisa ingat, dia mengumumkan kepulangannya di grup WA keluarga dan hanya Ahsan yang tidak menanggapi. Biasanya lelaki itu suka nimbrung meski cuma sekadarnya. Melisa kira ketidakhadiran kakaknya di grup karena sedang sibuk. Kalau ada di sini, berarti Ahsan lagi liburan juga, dong?

"Mas Ahsan pulang juga, kok, nggak ngasih kabar ke Mel?" Melisa mengeluarkan pertanyaan lagi. Sungguh dia penasaran.

"Kata Papa, Tiara tinggal di sini sekarang, Tante."

Bukan Ahsan yang bersuara, melainkan Tiara. Jawaban anak itu justru menambah tanda tanya di kepala Melisa.

"Oh, Mas sama Mbak Mutia pindah ke sini? Lha, terus, kerjaan Mas gimana?"

"Aku mutasi ke sini, Mel. Kamu mendingan taruh Xania dulu di kamar. Pasti capek, kan, gendong dia di kereta?"

Karena masih curiga, Melisa lantas melangkah ke kamar untuk meletakkan Xania di sana. Setelah memastikan anaknya aman di kasur, Melisa turun lagi ke lantai bawah. Ahsan masih ada di tempat sebelumnya, bedanya Tiara sudah pergi bersama Ryan dan Fyan, juga ada kedua orang tuanya.

"Lho, kamu nggak ikutan istirahat dulu, Mel? Emang kamu nggak capek?"

Rasa lelah dan kantuk selama perjalanan itu hilang semua, diganti dengan penasaran yang tinggi. Melisa tidak akan bisa tidur kalau belum ketemu jawabannya.

"Mas Ahsan di sini cuma karena mutasi, kan? Sejak kapan?"

"Udah dari dua bulan yang lalu."

Melisa terbelalak. Lho, selama itu tidak ada yang memberitahunya? Melisa jadi makin curiga pasti ada hal lain yang disembunyikan. "Kok, nggak ada yang bilang ke aku, sih? Mama sama Papa juga. Kenapa nggak bilang?"

"Kamu, kan, lagi repot. Lagian, Mas-mu cuma pindah," balas Hartanto.

"Terus, Mbak Mutia mana? Nggak ikut dia? Kalian LDR gitu? Nggak enak tau LDR. Aku yang ditinggal terbang tiap hari rasanya kayak mau mati. Ini kalian pisahnya jauh banget, lho!"

"Kami udah berpisah, Mel."

"Hah?" Tentu saja siapa yang tidak terkejut mendengar ucapan kakaknya. Satu kata yang mengerikan itu ternyata keluar dari bibir lelaki yang Melisa kagumi sejak masih kecil. Melisa belum pernah mendengar perceraian dari keluarganya, bahkan mama dan papanya tampak mesra meskipun pernikahan mereka sudah sangat lama. Lantas, bagaimana kedua orang tuanya menyikapi kejadian ini?

"Mas serius pisah sama Mbak Mutia?"

Ahsan mengangguk. "Bahkan prosesnya baru aja selesai seminggu yang lalu."

Melisa memandangi satu per satu wajah kedua orang tuanya. Ada gurat sedih di sana. Ya, siapa yang menginginkan perpisahan? Semua orang tua pasti ingin pernikahan anaknya langgeng sampai maut memisahkan.

"Kenapa, Mas? Emang nggak bisa dipertahankan? Terus, gimana nasib Tiara, Mas?"

"Aku mau pernikahan ini terus berjalan, aku juga mau Tiara hidup dengan orang tua yang lengkap. Tapi, ada satu kejadian yang nggak bisa aku toleransi. Aku justru kasian sama Tiara kalau pernikahan ini dipertahankan. Makanya aku pilih cerai."

Melihat raut muka Ahsan, Melisa jadi kasihan. Dia yakin Ahsan pasti sudah berusaha keras untuk bertahan. Namun, demi kebahagian Tiara, Ahsan merelakan pernikahannya. Entah apa yang membuat perceraian ini terjadi, Melisa tidak mau bertanya lebih lanjut. Melisa tidak mau mendengarkan aib orang lain.

"Ya ampun, Mas. Terus Tiara sama Mas, berarti hak asuhnya jatuh ke tangan Mas?"

"Iya, Mel. Tiara sama aku sekarang. Lebih tepatnya, sih, sama Mama karena aku tiap hari di rumah sakit." Ahsan menatap wajah Ratna. "Maafin aku, ya, Ma. Udah tua, waktunya istirahat malah ngurusin cucu."

Ratna tersenyum tipis. "Kamu ini kayak sama siapa. Kan, yang ngurusin Tiara bukan mama aja. Ada Papa, Ryan, sama Fyan."

Melisa benar-benar bersyukur. Di saat ada yang sedih begini, keluarganya selalu mendukung. Semoga saja Ahsan mendapatkan pengganti yang lebih baik.

Setelah satu jam tertidur, Melisa bangun karena merasakan tekanan di bagian perutnya. Setelah matanya terbuka sempurna, ternyata Xania yang melakukan itu. Posisi anak itu tengkurap. Matanya memandang ke segala arah.

"Xania udah bangun, ya?" Melisa menegakkan sedikit tubuhnya, lalu mencium pipi Xania. "Bingung, ya, lagi di mana Xania? Sekarang Xania lagi di rumah nenek dan kakek. Ini kamar mama waktu belum ketemu sama ayah. Oh, dulu waktu kamu masih di perut mama juga pernah tinggal di sini sebentar. Waktu itu kata dokter, mama nggak boleh ke mana-mana dulu."

Xania tersenyum. Tubuhnya bergerak maju, mendekati sumber makanannya, dan mulai menarik-narik baju mamanya. Melisa tidak segera menuruti kemauan anaknya itu.

"Xania mau nen?"

Anak itu tertawa renyah. Melisa jadi ikutan tertawa.

"Coba bilang, Xania mau nen, Mama."

Xania malah memainkan bibirnya hingga air liurnya muncrat ke wajah Melisa. Tangannya terus menarik baju. Melisa tidak tahan mengerjai anaknya. Ia lantai menyingkap kaus sampai atas. Begitu sudah tampak, Xania langsung melahapnya.

Melisa membelai rambut Xania yang sudah tumbuh lebat. Ikal dan tebal. Persis seperti miliknya. Bisa dibilang adil, kan. Rupa dari ayah, rambut dari ibu. Yang paling cantik menurut Melisa adalah bulu mata Xania, benar-benar turunan Candra.

Sedang asyik memandangi wajah Xania, Melisa kembali merasakan sengatan kecil di kulit payudaranya. Xania sudah mulai iseng menggigit saat menyusui. Kata dokter memang sudah waktunya tumbuh gigi. Tidak heran kalau Xania ada hasrat menggigit sesuatu.

Merasa puas, Xania melepaskan sumber makanannya, dan duduk kembali. Memang sejak bisa makan, frekuensi menyusui Xania jadi berkurang. Melisa sempat khawatir, tetapi kata dokter itu merupakan hal yang wajar karena bayi sudah mulai mencoba berbagai rasa makanan. Katanya juga, kalau masih mau menyusui, artinya masih normal.

"Udah? Nggak mau lagi? Mama tutup, ya, kalau gitu. Nanti Xania minum lagi." Melisa menurunkan bajunya, kemudian duduk, mengikat rambutnya ke belakang.

"Kita keluar, ya. Main di bawah."

Tentu saja Xania senang begitu Melisa menggendongnya. Anak itu tampak antusias saat kaki mamanya menuruni tangga menuju lantai bawah. Setibanya di sana, suasana tampak sepi. Hanya ada mainan Tiara yang berserakan di sekitar karpet. Masih sambil menggendong Xania, Melisa berlutut, menyingkirkan barbie-barbie serta mainan kecil-kecil dengan tangan satu, memasukkannya ke sebuah kotak kontainer.

Samar-samar terdengar suara Tiara dari luar. Tidak lama anak itu muncul bersama Ratna. Tentu saja anak itu langsung menghampiri Melisa.

"Adek bayinya udah bangun, Nek!" seru Tiara. Tangannya mulai merayap di pipi Xania.

"Tiara udah cuci tangan belum?" tanya Melisa.

"Belum, Tante."

"Tiara cuci tangan dulu, ya. Habis itu boleh pegang pipi adik bayinya."

"Oke, Tante!"

Anak berumur tujuh tahun itu berlari menuju dapur untuk mencuci tangan. Giliran Ratna yang membereskan mainan Tiara.

"Abang sama papa mana, Ma?"

"Abang lagi keluar, papa masih di kandang."

"Mas Ahsan?"

"Dia lagi ke rumah sakit. Masih ngurusin berkas-berkas."

Melisa manggut-manggut. Xania mulai menggeliat minta turun. Melisa lantai meletakkan anak itu di karpet. Ratna menggeser meja supaya tidak terbentur.

"Aduh, mama lupa ujung-ujung mejanya kasih pengaman."

"Nggak apa-apa, Ma. Xania belum jauh merangkaknya."

"Nanti kalau udah lincah, kamu harus kuat ngejar dia."

"Ih, Mel jadi nggak sabar."

Tiara muncul lagi dengan tangan yang basah. Melisa kemudian mengeringkan tangan itu menggunakan tisu sebelum pegang-pegang Xania.

"Mama tinggal dulu, ya. Mau angkat jemuran."

"Iya, Ma."

Setelah Ratna pergi, jadilah Melisa momong dua anak. Tiara ingin mengangkat tubuh Xania. Karena Melisa khawatir jatuh, dia menyuruh Tiara duduk dulu, lalu Melisa meletakkan Xania di pangkuan. Sayangnya, Xania tidak betah. Anak itu ingin bergerak di lantai.

"Maaf, ya, Tiara. Xania udah nggak bisa diem."

"Adek Xania lucu. Tiara gemes!"

Melisa tersenyum, tetapi hanya sesaat setelah ingat cerita kakaknya. Anak sekecil Tiara harus mengalami hal yang berat, perpisahan kedua orang tuanya.

"Tiara tahu nggak kalau mama sama papa Tiara udah nggak satu rumah lagi?"

"Tahu. Papa marah karena mama bawa laki-laki ke kamar mama papa."

Melisa terbelalak. Lho, maksudnya apa ini? Laki-laki dibawa ke kamar? Jangan bilang kalau Mutia ternyata melakukan hal yang bukan-bukan. Anak kecil nggak mungkin bohong, kan?


Kemarin aku nggak update karena banyak banget kejadian yang bikin sakit kepala. Udah dua hari ini angin mulu, sampai nggak bisa tidur. Mana nggak bisa ke mana-mana kalau udah takut begitu. Terus tangan juga sakit, padahal kepala udah penuh rasanya.

Tapi yang lebih penting, Mutia kenapa berani nyakitin Ahsan sama Tiara? 😭😌 Yang mau baca kelanjutannya, ada di Karyakarsa ehehe.

Btw, happy 100k views 🎉🎉🎉

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro