Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

45 - MPASI Pertama

Drama mengurus Sarina tidak akan ada habisnya. Kesabaran Melisa setipis lapisan tisu yang dibagi itu harus dituntut tabah saat menghadapi sang mertua. Meskipun sekarang sedikit kalem, sih. Sarina hanya rewel kalau Melisa salah merawat tanaman yang katanya berharga jutaan itu, atau kalau Melisa lama sekali tidak masuk ke kamarnya. Ya, bagaimana lagi, Melisa mengurus dua bayi sekaligus. Sampai detik ini Melisa belum mantap memakai jasa baby sitter.

Lagi pula, melihat perkembangan Xania dari hari ke hari merupakan sesuatu yang menyenangkan bagi Melisa. Xania sudah bisa duduk sendiri, sudah mulai belajar merangkak, sudah bisa menggenggam benda dan meraihnya, dan kalau namanya dipanggil, dia akan menoleh dan merespons dengan suara. Xania juga sangat mengenal wajah kedua orang tuanya. Yang merepotkan ketika Candra akan pergi terbang, Xania akan menangis begitu melihat ayahnya pakai seragam.

Berkat ketelatenan Melisa juga, meskipun harus tarik urat dulu setiap kali hendak berangkat ke rumah sakit, Sarina perlahan-lahan meninggalkan kursi rodanya. Wanita itu sudah bisa jalan menggunakan walker. Dokter mengatakan kalau semangat dan rajin, Sarina bisa berjalan normal lagi. Namun, membujuk nenek satu ini susahnya minta ampun. Yang katanya sakit, yang katanya perawatnya galak, dan serangkaian alasan yang bikin Melisa geleng-geleng.

Karena Xania sudah tertarik pada makanan, memperhatikan ketika mamanya sedang makan, dan kata dokter sudah waktunya, Melisa berani memulai memberikan MPASI pertama. Pagi setelah sarapan dan setelah menyusui pertama, Melisa mengolah sendiri makanan yang akan disantap anaknya dengan bantuan tutorial di internet. Kebetulan saat ini Candra di rumah, dia yang kebagian pegang Xania selama Melisa masak.

"Teksturnya jatuh perlahan." Melisa menyendok bubur nasi campur ayam, wortel, tahu, dan keju yang sudah dihaluskan menggunakan blender. Dirasa teksturnya sama persis seperti di video, Melisa melangkah lebar menuju ruang tengah, menghampiri anak dan suaminya. Melihat mamanya datang, Xania tersenyum cerah dan merentangkan tangannya.

"Hari ini Xania udah boleh makan. Seneng udah boleh makan?"

Xania merespons dengan tawa renyah seraya mengentakkan kedua kakinya. Candra langsung mendudukkan Xania di kursi makan khusus bayi yang sudah dibeli sebelum anak ini lahir. Lelaki itu sempat kewalahan saat menyatukan strap karena kaki Xania bergerak lincah. Candra juga memasang apron di leher anaknya agar makanan tidak tercecer ke bajunya. Setelah mejanya dipasang, Melisa meletakkan mangkuk di sana.

"Mamam!" Xania mulai mencolek makanannya sendiri. Melisa segera memegang mangkuk itu lagi sebelum tangan anaknya penuh dengan bubur.

"Untuk hari ini Xania disuapin dulu, ya. Kapan-kapan Xania makan sendiri, oke?"

"Ooo."

"Kalau masakan mama nggak enak, maklumi, ya, Nak. Mama udah berusaha masak buat Xania," kata Candra dan dibalas lirikan tajam dari Melisa.

"Kenapa nggak digendong anaknya? Nanti nggak habis makannya. Digendong terus ajak keluar."

Ini lagi. Ibu yang satu ini memang susah diberi tahu. Sudah sering Melisa mengingatkan tentang peraturan rumah ini, tetap saja tidak didengar oleh Sarina.

"Bu, aku ini lagi ngajarin cara makan yang bener. Nanti kalau udah gede, dia ngerti kalau makan itu, ya, sambil duduk di meja makan, bukan sambil jalan-jalan. Lagian kalau nggak habis, ya, itu haknya dia, nggak boleh dipaksa." Untuk kesekian kalinya, Melisa menjelaskan perihal parenting yang dia terapkan. Entah Sarina mengerti atau tidak, Melisa sudah tidak peduli lagi.

"Dulu Candra ibu suapi sambil jalan-jalan sekarang bisa makan di meja makan, kamu juga dulu pasti gitu, kan?"

"Yakin segampang itu ajak Mas Candra makan di tempat semestinya? Aku yakin dulu Ibu kesusahan karena udah kebiasaan digendong. Lagian, makan sambil digendong nanti bisa tersedak."

Tidak ada balasan setelah itu karena yang diucapkan Melisa benar semua. Sarina tidak memiliki daya untuk melawan.

Xania mengerang. Kakinya bergerak-gerak di bawah mejanya. Candra yang menyadari itu langsung mengambil mangkuk dari tangan Melisa.

"Makan sama ayah, ya. Biar Mama sama Nenek berantem dulu."

"Mbah." Sarina meralat ucapan anaknya.

"Iya, Mbah. Makanya, Mbah, biarin mamanya mendidik sesuai zamannya. Zaman aku sama Xania udah beda jauh, nggak bisa disamain. Toh, Melisa bener, dari kecil harus dibiasakan melakukan hal-hal yang baik."

Melisa mengedipkan mata di depan Sarina. Merasa menang kali ini.

"Diminumin dulu, Ayah. Katanya biar nggak seret." Melisa menyodorkan botol dot berisi air putih untuk Xania.

"Oh, gitu. Ayo, Nak, minum dulu." Candra mulai memasukkan ujung dot ke mulut Xania. Setelah mulut Xania basah, Candra melepaskan botolnya, lalu mulai menyendok sedikit bubur. "Pesawat mendarat di runway satu."

"Berdoa dulu, Ayah."

"Oh, iya." Candra menggenggam tangan kedua tangan Xania, seolah-olah sedang menengadah. Setelah itu, Candra membantu mengusapkan ke wajah Xania. Barulah Candra mulai menyuapi Xania.

Saat lidah anak itu beegerak melumat makanan yang baru saja masuk, Candra merasakan hatinya meletup-letup. Dadanya bergemuruh hebat. Takjub dan haru bercampur menjadi satu. Sekujur tubuhnya menghangat hingga menjalar ke mata. Tidak lama, pandangannya buram. Air mata datang tanpa permisi.

"Lho, Ayah kenapa?" Melisa menyadari perubahan raut sang suami.

Candra menyeka cairan bening yang telanjur keluar di sudut mata. "Xania udah bisa makan sekarang. Rasanya baru kemarin ngeliat dia keluar dari perut kamu."

Melisa tersenyum. Dia juga terharu Xania memperoleh gizi selain dari air susunya. Sebentar lagi Xania tumbuh besar. Benar-benar seperti mimpi. Xania makin lincah, makin pintar, dan tumbuh sesuai harapan.

"Enak? Mau lagi?" Kali ini giliran Melisa yang menyuapi Xania. Anak itu mau menerima makanan lagi, bahkan melambaikan tangan ketika orang tuanya tidak juga memberikan suapan selanjutnya.

Tidak terasa bubur di mangkuk pindah ke perut Xania. Kedua orang tuanya bersorak kegirangan dan dibalas oleh kekehan Xania.

"Makanan Xania udah habis. Bilang apa? Alhamdulillah." Melisa kembali meminumkan air putih setelah makan, melepaskan lilitan apron, kemudian membersihkan tangan dan wajah Xania pakai tisu basah. Baju yang dikenakan sekarang tidak kotor, tidak perlu diganti.

Xania masih tertarik pada mangkuk dan sendok di mejanya. Melisa mendorong benda itu supaya Xania bisa meraihnya. Ketika sendok berhasil digenggam, anak itu kegirangan.

"Diemin dulu. Bakal dimasukin ke mulut apa nggak," kata Melisa pada suaminya. Beberapa menit hanya digenggam, Xania mulai mengarahkan sendok ke mulutnya. Lidahnya menjilat sisa makanan di sana.

"Yeay, Xania bisa! Udah cukup, ya. Udah habis, tuh, makanannya." Melisa sedikit kesulitan mengambil sendok karena digenggam erat. Xania tidak juga memberikan benda itu, malah dipukul-pukul ke meja.

"Ayah boleh pinjam sendoknya, Xania?" Giliran Candra yang mencoba membujuk anaknya dengan menengadah tangan. Xania menatap ayahnya sebentar, lalu meletakkan sendok di tangan itu. Candra kemudian menggantinya dengan mainan kecrekan yang bisa digenggam.

Sarina hanya bisa memandang mereka. Mulutnya tidak bisa berkomentar apa pun. Anak dan menantunya tampak seperti orang tua yang pintar. Mereka tidak goyah diterpa prinsip orang tua zaman dulu. Entah mengapa Sarina senang cucunya lahir dari ibu yang tepat.


Jangan cepet gede, Xania 🥺🥺🥺

Aku udah double update lho, tapi yang satu lagi ada di Karyakarsa. Seperti biasa ada voucher diskon buat yang mau baca cepet, ketik aja XANIA6MONTH.

Linknya udah aku taruh di papan percakapan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro