Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

44 - Menantu Baik

Sarina terus merenung di kamar. Melisa belum muncul lagi setelah pembahasan warisan itu. Hanya terdengar suara keran air dari arah dapur yang terdengar. Mungkin seseorang sedang memakai wastafel.

Sarina memandang kaki yang tertutup selimut. Dari perut sampai bawah, dirinya tidak merasakan apa-apa. Dunianya seketika jungkir balik. Semula Sarina sanggup pergi ke mana pun, sekarang hanya tergolek di kamar, menunggu orang lain membantunya. Teman-teman yang selalu Sarina kunjungi tidak pernah datang, bahkan bisa jadi mereka tidak tahu kalau Sarina sedang sakit. Satu per satu, semua yang pernah Sarina agungkan perlahan-lahan sirna.

Melisa. Perempuan yang sejak awal kemunculan membuat Sarina gaduh, justru sekarang paling depan menolongnya. Dulu, Sarina berpikir bisa menyingkirkan menantunya, ternyata justru dirinya yang tersingkirkan. Dulu, Sarina kira sendiri itu lebih baik, apalagi ketika Candra memilih pergi dari rumah, tetapi sepi selalu membelenggu dirinya.

Apa lagi yang mau Sarina cari? Semua yang ia kejar kini tidak ada yang tersisa. Musnah. Sarina tidak bisa melakukan apa pun saat ini. Hidupnya bergantung pada uluran tangan orang lain. Hanya malu yang Sarina rasakan saat ini. Duduk di kursi roda dengan kondisi tidak berdaya. Rasanya ingin menghilang dari muka bumi saja.

Dengan segala kemurahan hatinya, Melisa membantu, padahal kalau mau menantunya itu tidak usah peduli. Melisa tidak memilih itu. Bahkan, saat disinggung masalah warisan pun, perempuan itu tidak goyah. Sarina merasakan ketulusan dari seseorang yang dulu sering ia cabik perasaannya.

Apakah artinya Sarina masih memiliki nurani? Entahlah. Selama ini Sarina merasa apa yang dilakukannya selalu benar.

Pintu terbuka, Mbak Lala muncul setelahnya. Sarina memalingkan wajah dan justru bertemu dengan kaca di pintu lemari. Sarina pandangi pantulan tubuhnya di sana. Rambut putihnya diikat rapi oleh Melisa. Pakaiannya juga dalam kondisi baik.

"Ibu mau keluar?" tanya Mbak Lala.

Sarina menggeleng. "Keluar buat apa? Wong, cuma duduk di kursi roda."

"Ibu mau minum?"

"Saya baru saja minum."

"Kalau begitu, saya keluar--"

"Kamu di sini saja."

Mbak Lala mengangguk patuh. Dia lantas duduk di kursi.

Sarina memutar kepala. Kembali memandangi kedua kakinya. Terdengar helaan napas setelah itu. "Kamu lihat Melisa?"

"Mbak Melisa lagi di atas, Bu."

Setelah itu tidak ada balasan. Sarina terngiang dengan wajah cucunya. Dulu, Sarina menginginkan seorang cucu supaya ada yang meneruskan keturunan, juga bisa dipamerkan ke teman-temannya. Sarina tidak ada masalah dengan jenis kelamin. Mau perempuan atau laki-laki sama saja, yang penting tidak cacat. Lagi-lagi, Melisa kembali mewujudkan mimpinya. Menantunya menghadirkan seorang cucu perempuan yang cantik.

Ya, Sarina mengakui cucunya sangat cantik. Xania mewarisi sebagian besar paras ayahnya. Sepertinya Xania juga termasuk bayi yang jarang rewel. Terbukti selama dua hari tinggal di sini, Sarina belum pernah mendengar tangisan melengking dari anak itu.

"Kamu betah tinggal di sini?" Sarina mengeluarkan pernyataan itu pada Mbak Lala.

"Kalau saya mau di mana saja nggak ada masalah. Kalau Ibu gimana?"

"Saya kepikiran sama rumah."

"Ibu nggak usah khawatir. Rumah aman di tangan Pak Sarto. Saya nanti sesekali datang ke sana."

"Kalau kamu ke sana, bawa tanaman yang ada di halaman belakang, ya. Kasian pasti udah kering semua."

"Lho, memangnya boleh, to, sama Mbak Mel?"

"Boleh."

Mbak Lala mengangguk walau sebenarnya ragu. Mungkin nanti dia akan bertanya langsung pada Melisa.

"Mbak Mel baik banget, ya, Bu. Udah ngebolehin Ibu tinggal di sini, terus boleh bawa tanaman dari rumah. Saya jadi kagum."

"Nggak usah dipuji. Kalau orangnya dengar, nanti besar kepala."

Mbak Lala menahan senyum. Sarina masih saja menyangkal perasaannya, padahal sudah jelas wanita ini juga menganggap Melisa menantu yang baik.

"Saya jadi paham kenapa Mas Candra sayang banget sama Mbak Mel. Mbak Mel itu walaupun barbar tapi sebenarnya dia sabar. Mbak Mel baik sama semua orang. Saya yakin Ibu pasti merasakan kebaikan Mbak Mel. Kalau sama wanita lain, saya nggak yakin Ibu akan tinggal sedekat ini sama menantu. Pasti sudah pisah dari dulu."

"Menurut kamu, saya jahat?"

Mbak Lala tertegun. Mendadak kilas balik perlakuan Sarina ke Melisa terulang di kepala. Kata-kata pedas yang ia dengar setiap hari sungguh menyakitkan hati. Menjadi asisten saja sudah pusing, ini jadi menantu. Ditambah, Melisa juga harus menutup aib suaminya, memilih mengorbankan diri demi perasaan seseorang.

"Memang ada hal yang bagi saya sangat menyakitkan. Waktu Ibu bilang Mbak Mel mandul. Kalau saya jadi Mbak Mel, mungkin udah nggak kuat. Wanita pasti ingin hamil dan melahirkan, tapi tidak semua wanita bisa merasakan. Kita nggak bisa, Bu, memaksakan kehendak."

"Ya, itu, kan, gara-gara Melisa nggak bilang kalau Candra yang nggak mau punya anak. Coba bilang, saya nggak mungkin ngomong begitu."

"Kalau Ibu tahu sejak awal, memangnya Ibu mau ngapain?"

"Ya, saya bujuk Candra supaya mau punya anak. Dia pasti nurut sama ibunya."

"Nah, itu, Bu. Karena tahu Mas Candra pasti akan nurut, makanya Mas Candra pilih merahasiakan itu. Karena punya anak berarti tanggung jawab makin besar."

Sarina makin tidak mengerti dengan ucapan Mbak Lala. "Lho, gimana, sih, punya anak itu keharusan. Buat apa nikah kalau nggak mau punya anak?"

"Salah satu tujuan pernikahan adalah keturunan dan saya setuju dengan hal itu, tapi masih ada tujuan yang lebih penting dan sering kita lupakan, yaitu mendapatkan ketenangan. Kalau Mas Candra tenang dengan hanya tinggal berdua dengan Mbak Mel, masa mau dipaksa punya anak."

Sarina bergeming. Kepalanya mendadak sakit mendengar ocehan Mbak Lala. Semua yang terjadi di zaman sekarang ini sungguh berbanding terbalik. Zaman dulu banyak pasangan yang berlomba-lomba memiliki anak, sekarang justru sebaliknya.

"Intinya, Bu, kita tidak bisa memaksa apa pun kehendak kita. Nggak bisa ukuran sepatu kita dipakai oleh orang lain. Kalau saya boleh saran, mulai sekarang Ibu belajar menerima. Nggak ada yang kekal di dunia ini. Ada yang datang, lalu menghilang. Jadi mau dikejar pun kalau sudah saatnya pergi, pasti akan pergi."

"Kamu gampang ngomong begitu karena nggak merasakan. Kamu pikirin aja, sekarang nggak bisa jalan, mau pindah dari kursi saja nggak bisa. Terus, kamu suruh saya menerima? Ya, nggak bisa."

"Saya memang nggak merasakan, tapi saya yakin kalau kita menerima, pasti hati kita tenang, Bu."

"Wis, lah, ngomong sama kamu malah bikin pusing. Kamu mending keluar aja."

Kalau sudah begitu, tidak ada alasan untuk melanggar perintah. Mbak Lala kemudian berdiri. "Ya sudah, saya keluar, ya. Kalau Ibu butuh sesuatu, panggil saya."

Setelah Mbak Lala menghilang, Sarina kembali merasa sepi. Ucapan demi ucapan perempuan itu terus berputar di kepala Sarina.

Ayo Mbah sadar 🙂

Tadinya mau double update, triple malah, tapi baru kelar satu bab tangan udah tak sanggup wkwkwk

Lanjut besok aja 😂😂😂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro