43 - Minta Warisan
Melisa menyempatkan diri untuk istirahat saat Xania tidur. Namun, hanya sebentar lantaran seseorang mengetuk pintu kamarnya berkali-kali. Untungnya Xania tidak terusik karena tidurnya terpisah dengan mamanya.
Setengah mengantuk, Melisa bangkit, kemudian beranjak membuka pintu. Rupanya Ambar yang datang.
"Kenapa, Mbak?" Melisa mengamati wajah Ambar. Dari sana kelihatan wanita itu tampak panik.
"Anu, Mbak, Ibu jatuh."
"Hah!" Mata Melisa melebar. "Jatuh di mana, Mbak? Sekarang gimana?"
"Di kamarnya, Mbak. Tadi udah dibantuin sama Mas Agus."
Tanpa berpikir panjang lagi, Melisa berlari menuruni tangga, menuju kamar Sarina. Memang benar, di dalam ruangan itu, ada Mas Agus yang baru saja meletakkan kursi roda Sarina di dekat ranjang dan ada Mbak Lala yang muncul dari dalam kamar mandi.
"Mbak Lala, kok, Ibu bisa jatuh?" tanya Melisa.
"Tadi saya lagi di bawah, Mbak. Baru aja keluar. Terus, katanya ibu mau pindah sendiri ke kursi roda."
Melisa lantas mengalihkan pandangannya ke arah Sarina. "Aduh Ibu, kalau mau turun itu bilang sama Mbak Lala."
"Ibu bisa turun sendiri."
"Tapi, apa buktinya? Ibu jatuh, kan?" Melisa menghela napas. Rasa kantuk, panik, dan kesal bercampur jadi satu. Melisa mencoba menghalau semua rasa itu. Tangannya mulai meraba tangan dan kaki Sarina. "Nggak ada yang sakit, kan, Bu?"
"Nggak ada."
"Bener?" Melisa masih sangsi. Sarina, kan, pandai berbohong.
"Kamu nggak percaya sama ibu?"
"Ya, gimana mau percaya, Ibu waktu itu nyuruh Mbak Lala nggak bilang kalau lagi sakit. Siapa tahu aja, kan, sekarang Ibu bohong."
"Kamu mau ibu sakit terus?"
Melisa memejamkan mata. Sabar, sabar. "Nggak, Ibu. Ya udah, kalau nggak sakit. Sekarang Ibu anteng aja. Nggak usah punya ide mau turun sendiri."
"Ibu laper."
"Ya udah, Ibu tunggu di sini. Mel ambilin makanannya dulu."
Melisa bergegas ke dapur. Mengambil nasi, sedikit sup ayam, dan sepotong tempe goreng di piring. Selain itu, Melisa juga menuang air putih ke gelas dan mengambil buah jeruk dari dalam kulkas. Semuanya dijadikan satu dalam nampan.
Perempuan itu lantas kembali ke kamar mertuanya, duduk di pinggir ranjang dekat Sarina. Tangannya mengangkat piring dan mulai mengaduk isinya.
"Masih panas nggak?"
"Cuma anget, kok, Bu. Ayo, aa."
Sarina membuka mulut. Sendok pun masuk sebagian ke rongga mulut wanita itu. Melisa mengulanginya sampai piring tersisa setengah. Sarina sudah tidak mau disuapi lagi.
"Tinggal dikit, lho, Bu."
"Udah kenyang."
"Kalau gitu Ibu makan buahnya. Mel kupasin."
"Nggak mau."
"Oke, kalau gitu langsung minum obat."
"Emang harus minum obatnya?"
"Ya, harus, dong. Kalau Ibu mau sembuh, ya, dihabisin obatnya."
Melisa meraih plastik berisi obat-obatan yang masih terbungkus kemasan strip, kemudian mulai membuka satu per satu. Selanjutnya meminta Sarina membuka mulut lagi, sedangkan kedua tangan Melisa memegang gelas dan obat.
"Nah, kalau Ibu nurut gini, kan, Mel seneng," kata Melisa dengan wajah semringah.
"Ibu mau pulang."
Raut wajah Melisa berubah seketika. "Ngapain pulang? Ibu nggak betah tinggal di sini?"
"Kasihan rumahnya ditinggal sendirian terus."
"Kan, ada Pak Sarto. Ibu tenang aja, Pak Sarto pasti jagain dan bersihin rumah Ibu dengan baik. Atau, Ibu mau tanaman-tanaman Ibu dibawa ke sini semua? Di sini ada tempatnya."
"Pokoknya ibu mau pulang."
Terdengar helaan napas dari bibir Melisa setelah itu. Sebelum pulang, Ratna mengingatkan Melisa kalau mengurus orang tua yang sakit pasti akan menguras tenaga serta emosi, ternyata benar seratus persen. Sarina lebih rewel dari Xania.
"Bu, nggak apa-apa, ya, kalau sementara tinggal di sini. Cuma rumah ini yang tempatnya cukup strategis buat Ibu, aku juga bisa ngurus Ibu, Mas Candra juga nggak perlu bolak-balik lagi. Kalau emang ada yang bikin Ibu nggak suka, bilang aja sama aku sekarang. Nanti aku bakal perbaiki."
Melisa mencoba setenang mungkin menghadapi Sarina kali ini. Katanya, penderita meningitis itu tidak boleh stres. Jadi, Melisa tidak akan mengeluarkan tanduk meskipun sebenarnya dia ingin mengacak-acak dunia. Percayalah mengurus orang sakit itu sangat melelahkan. Butuh sabar yang luas. Apalagi orang sakit itu adalah ibu mertuanya.
Melisa ingat dulu Ratna pernah kecelakaan dan kakinya terpaksa harus dioperasi karena patah tulang. Proses penyembuhannya sangat lama. Mulai dari Ratna pemulihan pasca operasi sampai belajar jalan lagi. Selama mamanya sakit, Melisa, Fyan, dan Ryan saling membantu mengurus rumah, padahal mereka masih sekolah pada saat itu. Rasa lelah itu tetap ada meskipun sudah dibagi tugas-tugasnya. Persis seperti sekarang. Walau sudah ada Mbak Lala, bahkan ada Ambar, Melisa merasa penat.
"Kamu kenapa mau ngurus ibu?" Sarina yang sejak tadi diam akhirnya mengeluarkan sebuah pertanyaan.
"Karena Ibu itu ibunya Mas Candra. Terus, kalau bukan aku, siapa lagi?"
"Jangan-jangan kamu mau minta warisan kalau ibu udah nggak ada."
Mata Melisa melebar, tetapi hatinya tidak tersinggung sama sekali. Dia tidak akan lupa kalau Sarina ini tidak bisa berpikir positif. Yang Sarina butuhkan itu hanya didengarkan, jadi tidak perlu adu urat. "Mana bisa gitu. Warisan Ibu, kan, buat Mas Candra semua."
"Lho, kamu, kan, istrinya. Pasti mau ambil bagian, kan, kalau ibu udah nggak ada."
"Emang warisan Ibu ada berapa miliar, sih, sampai takut banget diambil sama Mel? Udah bisa buat beli Lamborghini?"
Tidak ada jawaban.
"Bu, Melisa itu ikhlas lahir batin merawat Ibu. Nggak ada, tuh, kepikiran mau ambil bagian warisan. Jangankan mikir, bayangin aja nggak pernah. Terserah Ibu mau percaya apa nggak."
Karena tidak ada balasan, Melisa akhirnya meletakkan piring dan gelas di nampan. Sebelum pergi, Melisa memperbaiki letak selimut Sarina.
"Mel keluar dulu. Takutnya Xania udah bangun. Kalau ada apa-apa, Ibu panggil aja Mbak Lala."
Tidak ada sepatah dua patah kata, Melisa tetap meninggalkan Sarina di kamarnya. Bicara soal warisan, Ratna dan Hartanto juga sudah pernah membahas, bahkan sudah membagi rata semua hartanya untuk keempat anak. Memang terkesan dini, tetapi namanya sehat dan sakit tidak ada yang tahu. Bisa jadi tadi pagi sehat, siangnya masuk rumah sakit. Nah, sebelum hal itu terjadi, kedua orang tuanya mempersiapkan semuanya agar anak-anaknya tidak kesulitan. Namun, Melisa tidak pernah mengungkit, ingat punya bagian saja tidak. Para kakaknya juga tidak pernah membahas.
Setelah meletakkan piring kotor dan mencuci tangan, Melisa pergi ke kamar. Ketika mendekati baby crib, Melisa melihat Xania sudah terbangun dengan posisi miring ke kiri, tangannya dimasukkan ke mulut. Anak itu tersenyum saat mainan di atas memutar dan mengeluarkan suara.
Melisa mengangkat Xania, lalu meletakkan anak itu di meja ganti untuk mengecek popoknya. Karena sudah penuh, popok itu dilepas, lalu diganti dengan yang baru. Tepat setelah tubuh Xania diangkat lagi, ponsel Melisa berdering.
"Itu pasti ayah kamu."
Saat ponsel di tangan, tampak panggilan video dari Candra. Melisa segera menerima panggilan itu.
"Halo, Ayah!" Melisa menggerakkan tangan Xania.
Di layar, Candra tersenyum melihat anaknya yang juga menatapnya. "Xania!"
Xania tidak memberi respons, tetapi matanya lurus memandangi layar.
"Xania baru aja bangun tidur, Ayah," kata Melisa. "Ayah baru sampai hotel, ya?"
"Iya, nih. Baru aja. Ibu gimana, Sayang?"
"Ibu baik-baik aja. Tadi makan banyak." Melisa memilih tidak menceritakan kejadian tadi. Dia tidak mau Candra khawatir memikirkan ibunya.
"Syukurlah. Xania, ayo, lihat ayah, dong."
"Xania kayaknya bingung kenapa ayahnya ada di situ."
"Ayah beli baju lagi buat Xania. Xania mau lihat nggak?"
Melisa terbelalak. "Yang kemarin-kemarin belum dipake, lho, bahkan masih kegedean."
"Nggak apa-apa. Nanti dipake kalau udah cukup."
Ya, masalahnya, udah banyak, Pak! Lemari sampai penuh hanya gara-gara baju Xania.
Maaf gaes kemarin itu hari tersibuk. Pagi sampai sore bantu orang tua sama ada kerjaan, malam pas udah nganggur malah hujan deres sama mati listrik, bikin sinyal indosat lenyap kayak harapan aku ke dia. 🙂
Yang mau baca part selanjutnya ada di KK. Entar sore kalo jadi update lagi. Kalo jadi lho ya 🤣
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro