40 - Rencana
Ketika Candra tiba, ia melihat Melisa serta kedua orang tuanya di teras rumah. Tampak sebuah mobil yang biasa dipakai Mas Agus menghadap ke jalan. Dugaannya, Ratna dan Hartanto akan pulang hari ini.
"Lho, Mama sama Papa mau pulang sekarang?"
Melisa terkejut dengan kedatangan suaminya. "Mas juga kenapa pulang?"
"Aku mau lihat Xania." Candra kemudian menatap kedua mertuanya lagi. "Jadi, Mama sama Papa mau pulang sekarang?"
"Iya. Papa tadi dapet telepon, katanya besok ada yang mau lihat sapi. Kalau Papa nggak ada di rumah, repot juga. Mama ikut sekalian, deh, biar Papa nggak kesepian di kereta," jawab Ratna.
"Papa, tuh, takut naik kereta sendirian, Mas," timpal Melisa.
Hartanto terkekeh. "Maklum, udah tua. Takut nyasar."
"Kalau begitu Papa sama Mama hati-hati. Nanti kalau udah sampai, tolong kabari, ya," kata Candra.
Ratna dan Hartanto mengiyakan. Kemudian, sepasang suami istri itu memasuki mobil. Melisa dan Candra memandangi kendaraan itu melaju pelan.
"Mana Xania?" tanya Candra setelahnya.
"Lagi tidur di kamar. Kalau Mas mau ketemu, harus mandi dulu sama ganti baju."
"Kalau gitu ada yang mau aku omongin sama kamu. Sebentar aja."
Melisa mengerjap. Tanpa tebak-tebakan pun Melisa sudah tahu Candra ingin membicarakan apa. Pasti tidak jauh-jauh dari kondisi Sarina. Melisa juga ingin mengatakan sesuatu terkait hal itu. Bisa kebetulan sekali, ya?
Akhirnya mereka berdua duduk di kursi panjang yang biasa untuk makan karena ruangan ini dekat dengan tangga. Jadi, kalau Xania menangis, Melisa bisa langsung naik ke kamar.
"Aku buatin minum, ya. Mas mau minum apa?"
"Kopi."
"Oke. Tunggu sebentar."
Melisa bergerak cepat menuju dapur untuk membuatkan kopi. Setelah minuman itu jadi, Melisa kembali lagi ke ruang makan, meletakkan cangkir berisi kopi di meja. Melisa duduk di samping suaminya setelah itu, lalu bertanya, "Mas mau ngomong apa?"
Mulut Candra terbuka. Ia ingin mengatakan permintaan ibunya itu, tetapi entah kenapa rasanya sulit sekali. Ia belum siap dengan reaksi Melisa. "Aku cuma cuti seminggu, Mel. Terus, ibu belum jelas kapan pulangnya. Kata dokter, ibu masih harus dipantau. Menurut kamu, aku harus gimana?"
"Kenapa Mas masih bingung? Kan, ada aku. Aku mau, kok, bantuin Mbak Lala di sana."
"Tapi, Xania?"
"Xania nggak apa-apa. Dia anak yang baik banget, Mas. Kayak udah ngerti kalau sekarang orang tuanya lagi susah." Memang benar, Xania itu masih kecil, tapi sudah paham dengan suasana di sekitarnya. Dia hanya menangis ketika merasa haus atau popoknya penuh. Selama di rumah, apalagi tadi ada Ratna, Melisa bisa sedikit merenggangkan tubuhnya. Xania tidak menangis ketika bersama siapa saja. Ya, mungkin Melisa akan merasakan repotnya mengurus anak saat Xania sudah agak besar.
"Terus, Mas, kayaknya aku emang harus punya baby sitter. Soalnya kasian Mbak Ambar kalau dia juga harus jagain Xania. Katanya, sih, Inayah punya rekomendasi agen baby sitter terbaik dan terpercaya. Nanti aku coba tanya-tanya lagi," lanjut Melisa.
"Kamu udah yakin?"
Melisa mengangguk. "Udah aku pikirin dari kemarin. Jadi, Mas nggak usah bingung lagi kalau aku keluar. Udah ada yang jagain Xania di rumah."
Candra mengambil jeda dengan meminum kopi. Jujur dirinya masih bingung bagaimana cara mengutarakan keinginan Sarina. Padahal di rumah sakit tadi dia sudah menyusun kalimat, tapi begitu sampai di depan orangnya, semua kata itu bubar. Ternyata menyatukan Melisa dan Sarina adalah hal yang paling berat.
"Mel, kayaknya aku bakal terima tawaran pindah tugas itu."
Melisa terperangah, tetapi tidak berlangsung lama. Kedua sudut bibirnya terangkat. "Jadi, nanti kita pindah?"
"Iya. Soalnya aku mikir kayaknya kita butuh biaya lebih buat bantu pengobatan ibu. Walaupun udah ada jaminan kesehatan, tetap aja, kan, kita butuh banyak uang. Terus, ada Xania juga yang harus punya biaya pendidikan. Kamu nggak apa-apa, kan?"
Perempuan berambut ikal itu menutup bibirnya. Tidak menyangka sebentar lagi dia benar-benar jauh dari kedua orang tuanya, juga jauh dari teman-temannya, meninggalkan kota yang menyimpan banyak kenangan. Ya, walaupun masih lama, rasa kehilangan itu sudah ada dan mulai menguasai pikiran Melisa. Namun, asal ada Candra, Melisa merasa cukup. "Nggak apa-apa, Mas. Aku, kan, emang harus ikut ke mana pun Mas pergi."
Candra mengusap kepala istrinya seraya tersenyum. Betapa beruntungnya bisa menjadi bagian dari hidup perempuan ini. Dia bertekad akan terus membahagiakan Melisa dan Xania. Melisa harus mendapatkan balasan yang lebih untuk semua pengorbanannya.
"Kalau Mas juga mau bawa ibu tinggal sama kita di rumah ini, aku juga nggak apa-apa."
Gerakan tangan Candra terhenti. Ia resah karena permintaan ibunya, sekarang Melisa dengan mudah mengatakan itu. "Kamu yakin?"
"Kalau nanti kita pindah ke Jakarta, otomatis ibu bakal ikut dan tinggal sama kita, kan? Sebelum itu terjadi, aku mau adaptasi lagi. Aku mau coba deket sama ibu. Aku mau memperbaiki hubungan sama ibu. Apalagi, kondisi ibu sekarang begitu. Ibu pasti butuh kita."
Hatinya membuncah. Rasanya ada sesuatu yang ingin Candra keluarkan. Sekali lagi, dia pria yang beruntung memiliki perempuan ini.
"Tapi, ada syaratnya. Mudah, kok."
Segala euforia yang dirasakan Candra seketika berhenti usai mendengar ucapan istrinya. Candra akan mencoba mendengarkan. "Kamu mau minta syarat apa?"
"Syaratnya cuma satu, ibu nggak boleh protes sama parenting aku ke Xania. Ibu nggak boleh ikut campur atau nyuruh Xania harus melakukan ini-itu. Ibu harus ikutin semua aturan aku di rumah ini. Ibu nggak boleh tahu urusan dalam rumah ini."
"Itu ada empat, Mel?"
"Kenapa? Mas keberatan?"
Spontan Candra menggeleng. Melisa mengizinkan Sarina tinggal di sini saja sudah sangat melegakan baginya. Toh, syarat dari Melisa tidak memberatkan. "Iya, nanti aku bilang semuanya ke ibu."
"Nah, karena kita masih punya anak bayi dan ibu udah nggak bisa naik-turun tangga lagi, nanti ibu tidur di kamar lantai bawah. Nanti kita minta tolong tukang buat periksa kamar mandinya. Terus, karena Xania belum imunisasi lengkap, dia nggak boleh deket-deket sama ibu dulu. Ibu boleh megang Xania, tapi cuma sebentar."
"Iya, Sayang, pokoknya aku percaya sama kamu. Kamu mau tinggal bareng sama ibu lagi, aku udah seneng banget."
"Apa Mas bisa pastikan ibu mau ikutin semua syarat aku?"
Kedengarannya mudah, tapi percayalah praktik tidak seindah teori. Akan ada tantangan yang mereka hadapi ketika bersama Sarina.
"Aku janji akan berusaha adil buat kamu dan ibu. Aku nggak mau mengulangi kesalahan yang sama. Aku mau jadi contoh yang baik untuk anak kita."
Baiklah. Sepertinya memang ini jalan yang harus Melisa lalui. Dia rela berbagi tempat tinggal lagi karena tidak mau Candra mengabaikan ibunya. Melisa harus percaya, kan? Lagi pula, ada Allah yang mengawasi. Melisa akan mencoba membuktikan bahwa dirinya bisa menantu yang baik untuk Sarina.
Wah Mbak Mel akhirnya rela tinggal serumah lagi
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro