37 - Pelepasan
Sebelum bertemu Xania, Melisa mandi dan berganti pakaian dulu. Seharian berinteraksi dengan orang sakit, tentu saja Melisa tidak mau membawa penyakit untuk anaknya. Apalagi dari yang ia baca-baca, meningitis bisa saja menular, Xania pun belum mendapatkan imunisasi lengkap.
Kini, Melisa mengenakan dress panjang polos warna kuning. Meski bajunya sudah panjang, Melisa melapisi kedua kakinya dengan celana legging warna hitam. Sampai sekarang ia masih mengenakan sisa-sisa pakaian saat hamil karena masih nyaman. Ditambah lagi, Melisa sengaja membeli pakaian yang ada kancing di depan, jadi memudahkannya ketika menyusui langsung.
Melisa siap bertemu dengan Xania. Ia melangkah menyusuri lorong menuju sebuah kamar. Sintia sengaja menyiapkan satu kamar khusus kalau dia dan Candra menginap di sini, tetapi baru kali ini kamar itu digunakan.
Ketika pintu dibuka, Melisa dibuat takjub dengan interior kamar ini. Dinding di sebelah kanan dan kiri dilapisi wallpaper motif bunga tulip, sedangkan dekat ranjang dibiarkan polos. Ranjang dengan empat tiang kelambu berwarna kuning keemasan. Pada bagian sisi serta tiangnya terdapat ukiran klasik. Di sebelah ranjang ternyata ada baby crib yang juga bergaya klasik. Melisa yakin tempat tidur bayi itu baru saja dibeli setelah Xania menginap di sini.
Xania tidak sendirian. Ada dua pelayan di sana dan mungkin yang menjaga anaknya selama Melisa pergi. Sintia memang sedang ada di lantai bawah.
"Sini, Mbak, biar sama saya aja."
Seorang pelayan menyerahkan Xania ke ibunya. Melisa mengucapkan terima kasih dan menyuruh dua pelayan itu meninggalkan ruangan ini.
Tahu ibunya sudah datang, tangan dan kaki Xania bergerak lincah. Melisa mencium pipi anak itu sampai puas.
"Mama kangen banget sama kamu. Gimana tidurnya? Nyenyak nggak?" Melisa mengusap kepala Xania. "Makasih, ya, udah mau kerja sama. Mama seneng kamu nggak nyusahin oma. Kita pulang, ya. Nenek sama kakek mau ke sini, lho. Kita tungguin di rumah, ya."
Xania merespons dengan senyuman. Melisa jadi gemas.
"Kamu haus? Kamu minum dulu, ya, sebelum pulang."
Melisa duduk di pinggir ranjang. Tangannya mulai mengeluarkan kancing dari lubangnya. Xania mulai melahap sumber makanan itu. Sesekali Melisa mengajak Xania bicara sembari dielus-elus bokong anak itu. Ketika mata Xania setengah terpejam, Melisa menyudahi kegiatan itu.
Saat Xania benar-benar terlelap, Melisa mengeluarkan ponsel. Niatnya ingin memotret wajah anaknya, tetapi melihat foto laki-laki yang dijadikan wallpaper ponsel itu, Melisa jadi teringat keributan di rumah sakit. Ini pertengkaran pertama setelah punya anak.
Ada beban yang terasa berat ketika Melisa mengambil udara. Melisa berusaha mengerti. Mungkin kalau ada di posisi itu, dia juga memiliki emosi yang sama. Melihat orang yang dicintai terbaring lemah karena keteledoran seseorang, siapa yang tidak marah? Melisa juga heran kenapa Sarina malah memilih menyembunyikan sakitnya hingga membuat Mbak Lala berbohong. Ia kira Sarina akan memanfaatkan situasi ini.
Malas emosi lagi saat didekat Xania, Melisa memilih menyingkirkan perasaan itu dulu. Ia merapikan pakaiannya, kemudian membereskan perlengkapan bayi menggunakan satu tangan karena tangan satu lagi menyangga tubuh Xania. Dirasa sudah rapi semua, barulah Melisa beranjak keluar dari kamar itu. Sampai di lantai bawah, Melisa bertemu dengan Sintia.
"Kamu mau langsung pulang, Sayang?" tanya Sintia.
"Iya, Mi. Soalnya mama sama papa mau datang."
"Oh, ya sudah. Kamu hati-hati, ya. Kalau ada apa-apa, jangan lupa bilang sama mami."
Melisa mengangguk. "Iya, Mi. Selalu."
Tepat pada pukul lima sore, Hartanto dan Ratna tiba. Tentu saja mereka langsung berebut ingin menggendong Xania.
"Akhir bulan ini mama sama Fyan mau hadir di acara wisuda Ryan," kata Ratna. Kini gilirannya yang mendapat jatah membopong Xania.
"Papa nggak ikut?" tanya Melisa.
"Nggak, Mel. Papa, kok, udah nggak mau ikut perjalanan jauh."
"Iya, cuma ke sini aja papa kamu udah ngeluh capek," timpal Ratna. "Gimana keadaan mertua kamu? Kata dokter sakit apa?"
"Sakit meningitis, Ma. Udah ada komplikasi."
Hartanto lantas bertanya, "Terus sekarang Candra lagi di sana?"
"Iya, Pa. Habis terbang langsung ke rumah sakit."
Hanya itu. Melisa tidak menceritakan kejadian di rumah sakit pada kedua orang tuanya. Lagi pula, tidak ada gunanya. Ini cuma kesalahpahaman. Sampai detik ini belum ada kabar juga dari Candra. Pria itu sama sekali tidak berinisiatif menghubungi, Melisa juga enggan memulai.
"Mama sama Papa ke sananya besok pagi aja. Sekarang istirahat dulu."
"Iya, Mel. Papa juga kayaknya mau tiduran dulu," balas Hartanto.
Setelah makan malam bersama, Melisa membawa Xania ke kamar. Melakukan kegiatan yang sama seperti malam-malam sebelumnya. Saat Xania tertidur, Melisa juga ikut merebahkan diri. Melepaskan rasa lelah yang mendera meski baru semalaman menunggu Sarina.
Entah sudah berapa lama dirinya direnggut mimpi sampai akhirnya Melisa merasakan hangat menerpa wajahnya. Ketika matanya terbuka sempurna, ia terkejut mendapati Xania tidak ada di kasur. Melisa spontan bangun.
"Pelan-pelan, Sayang."
Melisa terperanjat. Lho, kok, bisa suaminya pulang? Harusnya sekarang masih di rumah sakit, kan?
"Xania aku pindahin ke kamarnya."
Sudah ketebak siapa pelaku yang berani memindahkan Xania. Melisa memukul tangan Candra yang hendak menyentuh tangannya.
"Ngapain pulang?"
"Aku minta maaf."
Melisa melengos. "Kalau Mas pulang siapa yang jagain ibu?"
"Mbak Lala."
Melisa mengangkat alisnya. "Mbak Lala?"
"Mbak Lala nggak jadi dipecat. Nggak boleh sama ibu."
Kontan Melisa menyemburkan tawa. Namun, hanya sebentar. Melisa mengusap wajah agar tawanya berhenti. "Makanya, Mas lain kali jangan gegabah. Mbak Lala emang salah, tapi apa dengan dipecat, masalah selesai? Ibu bisa balik lagi kayak dulu? Ya, nggak. Kita harus cari asisten lagi buat ibu. Dikira gampang apa?"
"Iya, aku minta maaf, ya."
Tadinya Melisa mau melanjutkan aksi diamnya, kalau perlu sampai berhari-hari. Namun, sekarang bukan saatnya lagi ngambek ala-ala pacaran. Mereka berdua sudah sibuk dengan urusan Xania dan Sarina. Lagi pula, Candra sudah meminta maaf, mau apa lagi yang dicari? "Oke, aku maafin, tapi ada syaratnya."
"Syarat apa?"
"Aku, tuh, capek jagain ibu semalaman, tidur cuma sebentar, payudara aku juga sakit gara-gara Xania nggak menyusui langsung, jadi tugas Mas sekarang pijetin badan aku, nanti gantian."
"Ya udah, kamu hadap ke sana."
"Inget, ya, Mas, cuma pijet!" Melisa langsung memberikan ultimatum. Dia sudah bisa menebak kegiatan ini akan menjurus ke hal-hal yang tidak diinginkan.
"Iya."
Melisa mengubah posisinya, tiduran dengan posisi telungkup. Bagian kepala hingga dada Melisa dialasi dengan bantal. Tidak lama, Melisa merasakan tekanan di kedua bahu, kemudian tangan, dan entah kenapa malah pindah ke area yang tidak seharusnya.
"Mas Candra! Udah dibilangin cuma pijet!"
"Kan, kamu yang bilang bagian itu sakit."
"Itu, kan, tadi. Sekarang nggak. Pindah ke kaki aja!"
Candra menurut. Namun, lagi-lagi Melisa merasakan suaminya menyentuh bagian yang tidak semestinya.
"Gantian aja, deh, kalau gitu."
Melisa yang kesal akhirnya duduk dan itu menjadi kesempatan Candra untuk membalikkan keadaan. Sekarang Melisa berbaring. Posisi Candra berada di atasnya.
"Mas mau ngapain?"
"Katanya gantian."
"Ya, nggak begini posisinya!"
"Terus, kayak gimana?"
"Minggir nggak! Aku masih marah, lho."
"Ya udah, kita selesaikan malam ini dengan pelepasan, gimana?"
Sial! Kalau begini, Melisa mana mungkin bisa menolak?
Yang mau baca part 38 ada di Karyakarsa :)
Yeay! Ayah sama Mama udah baikan. ❤️
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro