36 - Utuh Sejenak
Setelah Melisa pergi dan tidak mungkin kalau dibujuk sekarang, Candra memilih masuk ke ruang perawatan Sarina lagi. Ia menyeret kursi agar dekat dengan ranjang ibunya. Matanya menyapu tubuh Sarina dari ujung rambut sampai ujung kaki. Banyak yang berubah. Wajah ibunya tampak pucat dengan bibir pecah-pecah. Candra pun menyadari badan ibunya lebih kurus dari biasanya.
"Kalian bertengkar?" Sarina bersuara.
Candra menggeleng. Tangannya menggapai tangan Sarina. Menggenggamnya dengan lembut. "Apa yang ibu rasain?"
Sarina memandang langit-langit kamar. Terdengar embusan napas setelah itu. Kalau ditanya seperti itu, dia sendiri bingung bagaimana menjelaskannya. Rasanya seperti ada yang hilang. Lidahnya tidak mampu mengecap rasa. Kepalanya terus berdenyut nyeri. Kemudian, kedua kakinya tidak merasakan apa pun. "Ibu mau pulang."
"Sabar, ya, Bu. Nanti kalau dokter udah bolehin pulang, Ibu pulang, kok."
"Dokternya nggak pinter, kok. Kaki ibu dari kemarin nggak bisa diapa-apain."
"Kan, Ibu baru sehari di sini. Nanti kalau Ibu dapat perawatan dari dokter, Ibu bisa jalan lagi."
Pintu terbuka. Menampakkan sosok laki-laki dan perempuan mengenakan pakaian putih. Sudah pasti dokter dan perawat. Candra lantas berdiri, memberikan ruang untuk dokter itu.
"Anda siapa?" tanya Dokter.
"Saya Candra, anaknya pasien ini."
"Oh. Perkenalkan saya Arman, dokter yang bertanggung jawab di sini. Kalau begitu Anda boleh tunggu di sini. Saya izin periksa pasien dulu."
"Silakan, Dok."
Dokter kemudian mengecek kondisi Sarina. Juga bertanya keluhan yang dirasakan Sarina. Di samping dokter itu, seorang perawat mencatat hasil pemeriksaan di sebuah kertas dialasi papan.
"Dok, apa ibu saya bisa sembuh?" tanya Candra.
"Untuk peradangan bisa sembuh, pasien sudah diberikan obat untuk mencegah penyebaran bakteri, tapi komplikasi yang terjadi mungkin membutuhkan proses yang panjang. Kami mohon kerja samanya supaya penyembuhan pasien lancar."
"Lalu, ibu saya harus ngapain supaya bisa jalan lagi?"
"Pasien harus melakukan fisioterapi, tapi sekali lagi saya sampaikan, kemungkinan besar waktunya akan sangat lama."
Mendengar itu, Candra tertegun. Dia tidak masalah kalau harus menghabiskan biaya banyak, asalkan ibunya bisa pulih kembali. Tinggal bagaimana cara membujuk ibunya supaya mau mengikuti serangkaian pengobatan.
"Ibu mau pulang aja, Candra. Ibu udah nggak betah di sini." Sarina kembali meminta pulang.
"Ibu masih harus di sini. Ibu mau sembuh, kan?"
"Kata Dokter lama, kok. Mendingan ibu pulang aja."
Candra menghela napas. "Kalau pulang sekarang, malah makin lama, Bu. Nggak apa-apa, ya, di sini? Aku temenin."
"Lho, terus kamu nggak terbang?"
"Aku bisa cuti, Bu. Yang penting sekarang Ibu nurut sama kata dokter, ya."
Ketika Sarina diam, Candra merasa lega. Untungnya jam terbang selama seminggu ini sudah terpenuhi. Ia bisa mengajukan cuti beberapa hari untuk menemani ibunya.
"Lala mana? Kok, nggak kelihatan dari tadi."
"Mbak Lala aku suruh berhenti kerja, Bu."
Jawaban itu membuat raut wajah Sarina seketika berubah. "Ngapain kamu suruh dia berhenti kerja? Kamu, kok, nggak ngomong dulu sama ibu?"
"Mbak Lala udah bohong, Bu."
"Lala bohong karena disuruh ibu. Kalau Lala nggak ada, siapa yang nemenin ibu lagi? Kamu, kan, nggak tinggal di rumah lagi. Kasian dia, ibunya baru aja keluar dari rumah sakit."
Kalimat Sarina terdengar sederhana, tetapi sukses mengguncang hati Candra. Posisinya berada di tengah-tengah Melisa dan Sarina. Satu sisi ia ingin menyenangkan istri, tetapi pada saat yang bersamaan menyakiti ibunya. Memilih Sarina pun sama saja hasilnya.
"Telepon Lala sekarang. Nanti dia keburu pulang ke rumahnya. Kamu ini ngawur. Kamu pikir gampang cari asisten rumah tangga yang bagus kayak Lala?"
"Iya, Bu." Candra mengalah. Ia mengeluarkan ponsel, menghubungi Mbak Lala. Mengatakan perempuan itu tidak jadi diberhentikan sekaligus meminta maaf.
Nyatanya kalau tidak ada Mbak Lala, Candra kewalahan mengurus Sarina. Seperti membersihkan bekas air seni misalnya, tidak mungkin Candra yang melakukannya. Apalagi Sarina menolak dibantu oleh perawat perempuan. Harus Mbak Lala. Lalu, sekarang, ketika Candra menyuapi makan siang, Sarina justru mencari Melisa. Candra jadi ingat istrinya pulang dalam keadaan emosi dan sampai sekarang ia belum menghubungi perempuan itu.
"Melisa mana? Kok, nggak keliatan."
"Melisa pulang, Bu. Kasian Xania kalau Melisa di sini terus."
"Tapi, ibu mau Melisa yang suapin ibu! Kamu nggak telaten kayak Melisa. Telepon Melisa sekarang!"
Lagi-lagi, Candra mengalah. Ia taruh mangkuk berisi bubur di meja, kemudian mengambil ponsel dari nakas. Namun, saat hendak menghubungi Melisa, ia melihat pintu kamar dibuka dari luar. Setelah tahu siapa yang datang, Candra terpaku.
"Ayah."
Hutama melangkah. Di tangannya memegang sebuah parsel berisi berbagai macam buah-buahan. Tentu saja ketika laki-laki ini datang, di depan pintu pasti ada pengawal. Tampak bayangannya dari sini.
Tahu mantan suaminya datang, Sarina memalingkan wajah. Melempar pandangannya ke jendela.
"Gimana keadaan ibu kamu?" tanya Hutama.
"Kata dokter masih harus dirawat di sini, Yah."
"Kamu udah istirahat? Kalau belum, kamu boleh tidur sebentar. Bukannya kamu baru saja pulang, kan?"
"Aku nggak apa-apa, Ayah. Kalau aku istirahat nanti siapa yang jagain ibu?"
"Tujuan ayah datang ke sini, kan, untuk itu, Nak."
Candra tertegun sejenak. "Emangnya nggak apa-apa? Mami?"
"Kenapa sama mami? Mami bukan anak SMA yang ngambek ngeliat pacarnya ketemu mantan. Kita udah tua. Nggak ada waktu buat kayak gitu."
Sekali lagi, Candra tertegun. Dalam diam, dia kagum dengan Sintia yang begitu besar hati membiarkan suaminya bertemu dengan mantan.
"Sepertinya jendela itu lebih menarik daripada orang yang ada di sini, ya," sindir Hutama.
Sarina tidak menggubris. Wajahnya sama sekali tidak berpaling dari jendela itu. "Ayo, Candra, telepon Melisa!"
"Melisa masih ada di rumah aku, Sarina. Xania tadi sempet nangis, mungkin tahu kalau ibunya nggak ada. Apalagi semalam Melisa tidur di sini, kan?"
Sarina bergeming.
"Sudahlah, mendingan kamu habiskan makanan itu. Nanti kalau Xania nggak rewel, Melisa pasti ke sini."
Candra mengambil lagi mangkuk bubur ibunya. "Makan lagi, ya, Bu?"
Sarina diam, tetapi tidak menolak saat Candra menyuapinya lagi. Sementara itu, Hutama duduk di kursi. Memperhatikan gerak-gerik anaknya.
"Ayah punya kenalan dokter spesialis saraf di Singapura. Kalau kamu mau bawa Ibu ke sana, nanti ayah kasih kontak yang bisa dihubungi."
"Saya nggak butuh bantuan kamu," ucap Sarina.
"Saya juga nggak lagi menawarkan bantuan ke kamu. Kan, saya ngomong sama Candra," balas Hutama.
"Kamu pasti senang, kan, dengan keadaan saya yang begini?"
"Berhubung kita masih punya hubungan darah dengan anak kita, saya nggak senang. Keadaan kamu yang seperti ini pasti bikin Candra kepikiran, dan itu pasti akan mengganggu pekerjaan dia. Kamu tahu, kan, pilot itu butuh berpikir tenang."
Sarina tidak membalas.
Candra memandang kedua orang tuanya satu per satu. Ada rasa senang bisa berkumpul bersama. Meskipun kini kondisinya sudah berbeda. Setidaknya, dengan kondisi seperti ini, Candra merasakan keluarga utuh walaupun hanya sejenak.
Ada hikmahnya Mbah sakit, Candra bisa ngerasain orang tuanya ngumpul walaupun cuma sebentar 🥺
Aku mau bilang, malam ini aku update 3 bab lagi, tapi dua babnya ada di Karyakarsa. Yang mau baca duluan, aku punya voucher diskon cuma bayar 500 perak aja. Kode vouchernya BARBAR. Linknya aku taruh di bio. Ini spoilernya.
Selamat membaca, ya. Aku mau tepar dulu. Tangan ini sudah tidak kuat menghadapi kenyataan 😂
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro