Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

35 - Ribut Kecil

"Mel, ibu sakit apa sebenernya?"

Pertanyaan pertama yang terucap dari bibir Candra saat Melisa keluar. Melisa lantas menyuruh suaminya duduk di kursi. Candra harus tenang dulu.

"Jawab, Mel! Aku udah di sini. Kamu bilang mau jelasin kalau aku udah pulang, kan?"

"Sabar, dong, Mas. Aku mau napas dulu," sergah Melisa. Paham, sih, Candra pasti khawatir pada ibunya. Laki-laki itu pasti menahan rasa penasarannya demi bisa tiba di sini dengan selamat. Melisa tidak bisa marah kalau didesak begini.

"Ibu sakit meningitis, Mas. Penyebabnya dari bakteri. Jadi, makanya ibu nggak boleh interaksi sama banyak orang, makanya ibu sempat masuk ke ruang isolasi, sekarang aja yang boleh masuk cuma dua orang. Ibu bakal lumpuh, Mas, karena sedikit terlambat dibawa ke sini."

"Terlambat? Lho, Mbak Lala nggak ngasih tau kalau ibu sakit? Sejak kapan ibu begini?"

"Sedikit, Mas. Bukan terlambat."

"Ya, sama aja, Mel. Harusnya Mbak Lala langsung ngabarin kita kalau ada apa-apa sama ibu. Apa jangan-jangan pas kita ke sana, sebenernya ibu udah sakit?"

Melisa diam. Memang susah berbohong kepada orang pintar. Candra sudah tahu kebiasaan Sarina. Ibunya itu kalau pergi, pintu garasinya pasti terbuka atau mobilnya sudah keluar dari tempat itu. Melisa juga sempat merasa aneh waktu itu, tapi wajah Mbak Lala begitu meyakinkan, masa mau menuduh bohong?

"Mana Mbak Lala? Panggil ke sini, aku mau ngomong sama dia."

Melisa tidak mungkin membantah. Mbak Lala memang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, kan. Maka, Melisa masuk lagi ke ruangan Sarina, memanggil Mbak Lala. Tidak lama Mbak Lala muncul dengan wajah tertunduk.

Candra lantas berdiri di hadapan Mbak Lala. "Mbak, kok, bisa ibu sakit? Jawab yang jujur, Mbak. Waktu saya sama Melisa ke rumah, sebenernya ibu udah sakit, kan?"

Melihat Mbak Lala yang tampak ketakutan, Melisa jadi tidak tega. Ia jadi ingat pernah berbohong pada Candra dan laki-laki itu marah. Melisa jadi takut kalau Mbak Lala merasakan hal yang sama.

"Iya, Mas. Ibu udah sakit waktu Mas sama Mbak ke rumah. Maafkan saya," jawab Mbak Lala dengan suara bergetar.

"Mbak kenapa bisa bohong sama saya? Sekarang Mbak lihat sendiri, kan, akibatnya? Ibu masuk rumah sakit, ibu lumpuh."

Kan, bener. Candra pasti marah. Melisa jadi kasihan dengan Mbak Lala. Mbak Lala tidak punya kekuatan lebih untuk menolak perintah Sarina. "Mas, udah, dong. Yang penting Mbak Lala udah ngaku, terus sekarang ibu udah dapat perawatan."

"Ya, nggak bisa gitu, dong, Mel. Mbak Lala udah bohong sama kita."

"Itu karena disuruh sama ibu, Mas. Kalau ngga disuruh pasti Mbak Lala ngabarin kita."

"Sekarang kamu nyalahin ibu?"

"Nggak gitu, Mas! Daripada sibuk nyalahin, kenapa nggak mikir gimana caranya biar ibu cepat sembuh? Mau Mbak Lala bohong atau jujur, kalau emang waktunya ibu sakit, ya, bakal sakit, Mas!" Melisa membuang napas, mengendalikan diri agar tidak ikutan marah. Ini sudah telanjur, lho. Maksud Melisa daripada sibuk cari alasan, kenapa nggak cari solusi saja, gitu, lho.

"Maaf, ya, Mbak. Ini hari terakhir Mbak kerja sama ibu. Mulai besok Mbak nggak usah datang lagi ke rumah," kata Candra pada Mbak Lala.

"Lho, Mas, jangan gitu, lah!" protes Melisa.

"Emang harus kayak gimana? Mbak Lala udah bohong. Apa kamu bisa jamin Mbak Lala nggak akan bohong lagi nanti?"

"Ya, tapi, emangnya Mbak Lala tahu kalau akhirnya bakalan kayak gini? Aku yakin Mbak Lala sebenarnya nggak mau bohong. Mas ini kalau nggak tahu yang sebenarnya jangan main hakim sendiri, dong!"

"Udah, Mbak. Saya nggak apa-apa, kok, kalau memang harus berhenti. Saya memang salah," sela Mbak Lala. Menghentikan perdebatan suami istri itu. "Saya pamit, Mbak, Mas."

"Mbak Lala ...." Melisa tidak rela melepaskan Mbak Lala begitu saja walaupun sebenarnya itu termasuk konsekuensi yang diterima. Namun, Mbak Lala sudah Melisa anggap seperti saudara. Dulu waktu masih tinggal di rumah Sarina, Mbak Lala yang membantu Melisa. Mbak Lala juga yang menghiburnya setelah dimarahi Sarina.

Suasana mendadak sunyi setelah Mbak Lala pergi. Keputusan Candra sudah bulat dan tidak mungkin diganggu gugat. Melisa hanya bisa mengembuskan napas, mencoba agar tidak terpancing emosinya lagi.

"Aku juga mau pulang, deh. Mendingan sama Xania daripada di sini sama orang emosi."

Melisa masuk untuk mengemasi barang-barang miliknya yang tertinggal di sana. Candra menyusul dan mencegah Melisa menarik ritsleting tasnya.

"Kamu marah sama aku?"

Melisa menatap tajam. "Menurut Mas setelah apa yang Mas lakuin ke Mbak Lala, aku nggak marah gitu?"

"Mel, Mbak Lala bohong sama kita. Kalau dia udah berani ngelakuin sekali, pasti bakal ngelakuin lagi suatu saat nanti."

"Aku juga gitu, kan, Mas? Aku pernah bohong sama Mas. Jadi, Mas juga mikir aku bakal bohong lagi, gitu? Harusnya waktu itu kita juga pisah aja, kan, daripada Mas dibohongi lagi."

Candra tertohok.

Melisa mengembuskan napas, melirik Sarina yang setengah terpejam. Pertama kalinya ribut di depan mata mertua, sedang sakit pula. Kasihan Sarina. Sakit-sakit malah denger orang ribut.

"Kalian ini kenapa, to? Candra, kan, baru pulang, Mel. Kenapa kamu marahi?"

Melisa tidak menjawab. Ia mengangkat tasnya, kemudian angkat kaki dari ruangan itu. Panggilan Candra di belakang tidak dihiraukan. Ibu dan anak sama saja, to. Sama-sama langsung menghakimi tanpa mau cari tahu duduk perkaranya.

Melihat kemunculan Melisa, Mas Agus serta dua pengawal yang berjaga di dekat ruangan Sarina itu berdiri. Melisa menyuruh Mas Agus segera menyiapkan mobil, sedangkan dua pengawal tetep di sini.

"Mbak Mel mau pulang?"

"Iya. Sekarang udah ada Mas Candra, kok. Ibu nggak sendirian."

Mas Agus mengangguk patuh dan pergi bersama Melisa menaiki sebuah lift menuju basement.

Masuk ke mobil, Melisa menyalakan ponsel di saat Mas Agus mulai memacu kendaraan itu. Ia baru menyadari ada pesan masuk dari Ratna. Alih-alih membalas pesan itu, Melisa justru menekan ikon telepon.

"Mel, gimana mertua kamu?"

"Ya gitu, deh, Ma. Kata dokter masih harus diobservasi terus. Sekarang lagi dijagain sama Mas Candra, aku mau jemput Xania."

"Rencananya nanti siang mama sama papa mau ke sana. Naik kereta. Biar kamu nggak kerepotan."

Melisa terenyuh. Bersyukur mama dan papanya masih baik padanya. "Hati-hati, ya, Ma. Kalau udah sampai stasiun, kabarin Mel. Nanti biar dijemput sama Mas Agus."

"Iya. Nanti mama kabarin."

Telepon kemudian terputus. Melisa beralih ke nomor Sintia. Sama, Melisa memilih menghubungi langsung daripada mengirim pesan.

"Mi, aku lagi di perjalanan ke rumah. Xania nggak rewel, kan, semalam?"

"Nggak, Sayang. Xania anteng banget. Mami jadi seneng kalau Xania di sini terus."

Melisa menghela napas lega. Jujur semalam dirinya tidak bisa tidur karena terus memikirkan Xania. "Makasih, ya, Mi."


Entah siapa yang salaaah, ku tak tahuuu. Laah, malah ribut mereka 😑

Buat yang baca di Karyakarsa dan pakai voucher, pastikan sinyal dalam keadaan stabil, yak. Soalnya kan sekali pakai. Nah, harus hati-hati.

Besok aku bagi2 voucher lagi, yak. Siap nggak nih?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro