Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

31 - Pilih yang Mana?

Perbedaan yang sangat mencolok ketika mobil Candra memasuki area rumah Sintia. Begitu Melisa keluar dari mobil, Sintia, Yumna, dan Yusna langsung berebut ingin menggendong Xania. Kebetulan sekarang hari Minggu, kakak-beradik itu tidak masuk sekolah.

"Aku duluan!" Yumna-lah yang berhasil menggendong Xania. Anak itu diam saja. Mata bulatnya menatap wajah perempuan yang membopong tubuhnya.

Yang membuat Melisa tidak enak setiap berkunjung ke sini adalah kehadiran para pelayan. Setiap kali dirinya datang, mereka dengan sigap membawakan tas, ada yang membuat minum, ada yang mengantarkannya duduk di sofa. Jika selama ini Melisa melakukan apa-apa sendiri, di sini Melisa diperlakukan bak tamu kehormatan. Semua serba dilayani.

Beginilah kalau punya banyak keluarga. Harus mengikuti aturan serta kebiasaan mereka. Namun, Melisa tetap bahagia. Meski jauh dari orang tua kandung, di sini dia punya keluarga baru yang menyayanginya juga.

"Nanti kalau Xania udah bisa ngomong, panggil aku Kakak Yusna aja. Nanti kalau kamu udah gede, kita jalan-jalan bareng, ke salon bareng, oke?" kata Yusna seraya menciumi pipi Xania.

"Kamu lebih pantes dipanggil Bibi atau Tante Yusna, sih," sela Yumna.

Yusna melirik tajam ke arah kakaknya. "Iiih, nggak mau, ah. Ketuaan tau. Kakak aja yang dipanggil Bibi Yumna."

"Nggak mau." Yumna menjulurkan lidah. "Kamu aja sana."

"Ayo, Sayang, gantian sama mami." Sintia hendak mengambil Xania, tapi Yusna berhasil mencegahnya. Anak itu segera menjauh dari maminya.

"Sebentar, Mami. Aku belum ada lima menit, lho."

"Mami juga kangen, lho, sama Xania."

"Iya, tapi tunggu dulu, Mi. Aku belum selesai."

Namun, yang ingin menggendong Xania tambah satu orang. Siapa lagi kalau bukan Hutama. Laki-laki itu berhasil mengambil alih tubuh cucunya saat Yusna lengah, membuat anak bungsunya cemberut.

"Cucu kakek tambah gendut sekarang. Pipinya tumpah-tumpah." Hutama memandangi cucunya dengan perasaan haru. Dua puluh lima tahun dirinya kehilangan momen mengasuh anak lelakinya, sekarang dia tidak mau melewatkan masa pertumbuhan Xania. Hutama sudah tidak sabar menunggu Xania besar.

"Opa gitu, lho, Pi. Biar keren," protes Sintia. Yang benar saja dari awal dia sudah bilang panggilannya oma-opa, bukan kakek-nenek."

"Kakek juga keren, kok," balas Hutama, lalu mencium pipi Xania.

"Terserah Papi, deh." Sintia mengerucutkan bibirnya.

Saat Hutama menatap dan mengajaknya bercanda, Xania membalas dengan senyuman. Sang kakek jadi gemas. "Kamu makin keliatan mirip ayahnya."

"Emang iya, Pi?" tanya Yumna.

"Iya. Matanya, mulutnya, hidungnya, kamu bandingin sendiri, tuh. Kayaknya papi masih punya foto ayahnya Xania waktu masih seumuran Xania."

Dengan satu tangan, Hutama mengambil dompet dari saku celana. Kemudian, mengeluarkan sebuah foto yang sudah tampak lusuh, tapi masih terlihat gambarnya. Ia tunjukkan foto itu di depan anak dan istrinya. "Tuh, mirip, kan?"

"Iya, Pi, mirip!" seru Sintia.

Melisa dan Candra hanya tersenyum. Kalau sekarang, Melisa sudah ikhlas wajah anaknya mirip Candra. Mau bagaimana lagi, gen suaminya lebih kuat. Mungkin ini bisa dibilang karma karena diam-diam saat proses pembuatannya.

Xania diam saja saat Yumna dan Yusna gantian menggendong. Tentunya dalam pengawasan Sintia. Datang ke sini saja sudah begini hebohnya, bagaimana kalau nanti Melisa ajak Xania ke Semarang. Melisa membayangkan Ratna, Hartanto, dan Fyan saling berebut Xania, atau Xania diajak melihat sapi di kandang.

Kehadiran Xania benar-benar mewujudkan impian Melisa.

Melisa dan Candra bersyukur Xania tidak rewel selama pergi dan perjalanan pulang tadi. Bahkan, sampai rumah pun anak itu masih tenang. Xania baru menangis saat popoknya basah atau ketika merasa haus. Anak yang sangat pengertian.

Malam ini, mereka berdua melakukan kegiatan sebelum tidur bersama-sama. Melisa yang memasang popok dan baju tidur Xania, sementara Candra yang membacakan buku cerita. Begitu Xania terlelap, Candra meletakkannya dengan hati-hati di tempat tidur. Melisa dan Candra bergantian mencium Xania. Berani meninggalkan Xania di kamarnya.

Melisa pindah ke kamar lebih dulu. Melakukan skincare malam sebelum tidur. Selanjutnya, menyiapkan keperluan Candra. Besok pagi laki-laki itu kembali bertugas selama empat hari. Ketika selesai semuanya, Melisa menyusul Candra yang sudah naik ke tempat tidur.

Xania tidur lebih awal, membuat Melisa bisa memeluk tubuh sang suami sepuasnya.

"Mel, aku mau tanya, kamu lebih milih aku pensiun dini atau pindah tempat tugas?"

Melisa mengangkat kepalanya agar bisa menatap wajah Candra. "Kalau pindah tempat, emang mau pindah ke mana?"

"Ke Jakarta. Jadi, di kantor cabang itu lagi membutuhkan pilot, tapi bersedia menetap karena base-nya di sana. Aku salah satu pilot memenuhi kriteria ke sana."

"Lah, kalau pindah, aku ikut, dong?"

"Iya, Sayang. Aku nggak mau LDR. Apalagi harus ninggalin kamu sama Xania berbulan-bulan."

Melisa sangat setuju. LDR itu bisa menambah keretakan rumah tangga. Bayangkan saja setiap hari harus bergelut dengan pikiran negatif, tidak bisa berpelukan setiap malam. Ditinggal seminggu saja Melisa uring-uringan. "Kalau pensiun dini, emang Mas udah punya bayangan mau kerja apa?"

"Itu, aku belum kepikiran. Mungkin buka usaha, tapi usaha apa, ya, enaknya?"

"Usaha, ya? Kayaknya kita nggak punya skill di sana. Emangnya itu pindahnya kapan?"

"Akhir tahun ini, tapi udah harus siap-siap dari sekarang."

"Kalau kita pindah, ibu gimana, Mas?" Melisa, sih, senang-senang saja mau diajak ke mana pun, asalkan perginya dengan Candra. Yang merepotkan itu Sarina. Tidak mungkin rasanya kalau Sarina dan Candra tinggal berjauhan.

"Kalau ibu mau, ya, ikut."

Melisa diam. Kalau Candra jadi pindah dan Sarina ikut, artinya nanti mereka tinggal satu rumah. Tidak mungkin, kan, Sarina punya rumah sendiri? Ya, mulai saat ini, Melisa harus belajar ikhlas lagi bertatap muka dengan ibu mertuanya. Ini, kan, kalau Sarina mau ikut, ya. Tapi, tidak ikut pun pasti lebih merepotkan kalau harus sering-sering berkunjung ke sini.

"Kalau Mas sendiri pilih yang mana?"

"Aku pilih yang kedua. Ya ... walaupun jadi pilot keinginan ibu awalnya, tapi lama-lama aku justru bersyukur ibu nyuruh aku terjun ke sini. Hasilnya bisa buat tabungan pendidikan Xania sama buat tabungan hari tua kita biar nanti nggak usah ngerepotin Xania. Nanti di sana kita sewa apartemen kecil aja."

"Terus, rumah ini gimana?"

"Terserah kamu mau disewa atau dijual."

Melisa mengeratkan pelukannya di tubuh Candra. "Belum fix, kan? Masih ada waktu buat mikir-mikir, kan?"

"Iya, Sayang. Aku juga masih mikirin gimana baiknya."

Kini gantian Candra yang mengurung istrinya. Mulai mengabsen wajah Melisa menggunakan bibir. Kalau sudah begini, Melisa tahu ke mana tujuannya.

"Mel, Xania udah tidur, besok pagi aku berangkat. Boleh, kan, malam ini?"

Melisa mengangguk. Dia menginginkannya juga. "Jangan lupa pakai pengamannya."

"Iya nanti kalau udah mau mulai."

Candra kembali melancarkan aksi di wajah, lalu turun ke leher sang istri. Melisa juga tidak diam, dia membalas perlakuan suaminya. Saat ingin turun lagi, terdengar tangisan Xania di kamarnya. Spontan Melisa mendorong tubuh Candra.

"Mas, tadi Xania udah digantiin popoknya, kan?"

"Lho, kan, kamu yang ganti."

Melisa menepuk keningnya. "Terus kenapa, dong? Sebentar, aku cek dulu."

Candra membiarkan istrinya masuk ke kamar Xania. Jadi begini rasanya mau melakukan itu terus diganggu anak?


Aku udah update spesial part lagi, lho. Kali ini ceritanya tentang pertemuan pertama Melisa dengan Sarina. Yang mau baca, aku punya voucher diskon murah meriah, cuma bayar seribu kalau pakai kode voucher ini: CAMER01. Linknya udah aku taruh di bio, ya. Ini spoilernya.

Kalau nanti malam tembus 300 vote, 60 komen, voucher di KK habis, dan tergantung qodarullah, aku update part 32 besok subuh. Serius. Nggak boong.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro