Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

28 - Tinggal Seatap

Selain menanti Ambar, Melisa juga menunggu kedatangan suaminya yang sudah tiga jam lalu pergi ke rumah ibunya. Melisa sudah mengirim pesan, tetapi hanya dibaca oleh Candra. Melisa mencoba berpikir positif. Mungkin saja Candra sedang kerepotan mengurus ibunya.

Kerap cekcok bukan berarti nurani Melisa mati. Dia masih suka khawatir, kok, pada Sarina, apalagi sekarang wanita itu tinggal sendirian. Terkadang Melisa juga kasihan melihat Candra yang kepikiran ibunya. Namun, mau bagaimana lagi. Segala cara telah dicoba. Sarina masih kukuh, tidak mau disentuh. Seolah-olah Melisa adalah duri di antara Candra dan Sarina.

Untung saja Melisa tidak takut lagi saat memandikan Xania. Jadi, anak ini bersih tanpa harus menunggu ayahnya. Xania juga tidak rewel selama ditinggal Candra, bahkan pagi ini Melisa sampai mendapatkan dua kantung ASI perah saking antengnya.

Melisa mendengar mobil Candra berhenti di depan. Tak lama, laki-laki itu muncul. Tersenyum ketika melihat Melisa sedang makan.

Ketika Candra berdiri di dekat Melisa, ia mengecup kepala istrinya singkat. "Xania mana?"

"Tuh," Melisa menunjuk bouncer yang letaknya di karpet ruang tengah, "lagi tidur. Jangan diganggu."

"Lama nggak, ya, tidurnya? Sebentar lagi, kan, aku berangkat. Aku pengen peluk dia."

"Peluk mamanya aja gimana?"

"Kalau peluk mamanya, nanti lanjut ke hal-hal yang tidak diinginkan."

Melisa spontan terkikik. "Biasanya juga gitu," ucapnya seraya mengedipkan mata.

"Mel, jangan mulai."

Melisa kembali menyuap oatmeal campur susu cokelat buatannya. Mengunyah makanan itu sampai masuk ke kerongkongan. "Mas, gimana ibu? Nggak parah, kan, sakitnya?"

Mendengar itu, Candra memilih duduk di kursi. Kemudian, menghela napas. "Dokter bilang ibu harus dibawa ke rumah sakit buat diperiksa lebih lanjut. Tapi, ibu nggak mau."

"Emang kata dokter sakit apa, Mas?"

"Tekanan darah ibu tinggi, takutnya itu gejala stroke."

Melisa tertegun. Mulutnya berhenti mengunyah.

"Mel, kalau ibu tinggal di sini, gimana? Kamu keberatan?"

Ekspresi Melisa berubah detik itu juga. Sendok di tangannya terlepas. Dia sudah tahu suatu saat Candra akan kepikiran seperti ini setelah pisah rumah dengan Sarina, mengingat Sarina tidak punya siapa-siapa. Namun, Melisa juga tidak bisa lupa bagaimana kelakuan Sarina selama dirinya tinggal seatap. Ditambah sekarang ada Xania. Melisa tidak mau anaknya juga merasakan hal yang sama.

"Kalau Mas minta aku atau ibu saling berkunjung, aku nggak masalah. Tapi, kalau harus tinggal serumah lagi ... aku keberatan. Mas pasti tahu alasannya," ujar Melisa. "Aku tahu Mas khawatir sama ibu, Mas juga nggak mau ninggalin aku, tapi untuk serumah lagi, apalagi ibu yang ke rumah kita, aku nggak bisa bayangin apa yang bakal terjadi. Kalau Mas minta ibu tinggal di sini, aku juga boleh, kan, minta mama tinggal di sini. Biar adil, kan. Aku ngurus orang tua, Mas juga."

Kali ini Candra yang bergeming. Ayahnya pernah berkata, kalau di sebuah istana ada dua ratu di dalamnya, maka yang terjadi mereka saling berebut kekuasaan. Buktinya tiga tahun yang lalu, Melisa dan Sarina tidak pernah akur. Ada saja yang mereka debatkan. Dia pun tidak bisa marah apalagi kecewa karena jawaban Melisa cukup masuk akal. Melisa menggunakan haknya sebagai istri.

"Kalau Mas setuju, aku mau, kok, berkunjung ke rumah ibu. Mau seminggu dua kali atau tiga kali. Terus, ibu juga boleh nginep di sini. Atau sekarang pas ibu sakit, aku bakal bikin makanan buat ibu terus kirim ke sana." Melisa memberi usulan yang sebenarnya ingin dia lakukan sejak pindah ke sini, tapi percayalah, meluluhkan Sarina sangat tidak mudah. Apalagi, kondisinya waktu itu sedang hamil. Melisa tidak mau menggangu kehamilannya.

"Kamu mau bikin makanan buat ibu?"

"Iya. Ya, walaupun ragu, sih, soalnya masakanku belum seenak punya ibu. Seenggaknya kita coba dulu."

Melisa tahu mengambil hati Sarina tidak akan mudah, bahkan sepertinya tidak akan bisa, tapi itu lebih baik daripada harus tinggal serumah lagi.

Sejak Candra pergi, Melisa selalu kepikiran permintaan suaminya itu. Melisa juga bimbang. Satu sisi dia senang tinggal terpisah dari mertua, di sisi lain dia tidak mau memisahkan Candra dengan ibunya. Kalau bisa, hubungan mereka sama seperti sebelum menikah. Selama tiga tahun tinggal di sana, Melisa sudah mencoba berbagai cara. Akan tetapi, Sarina sama sekali tidak bisa diajak kerja sama dan kesabarannya setipis tisu.

Melisa benar-benar melakukannya. Pagi ini, dia membuat bubur nasi. Dia sudah meminta Ambar mencicipinya terlebih dahulu. Untuk rasa, tidak ada masalah, tapi teksturnya masih belum selembek bubur pada umumnya. Melisa menghabiskan waktunya hanya untuk masak bubur. Untungnya Xania anteng setelah ditaruh di bouncer yang ada mainan gantungnya.

"Ini udah bagus, Mbak. Rasanya pas, terus bentuknya udah cocok buat orang sakit," kata Ambar setelah mencicipi bubur buatan Melisa yang kelima kalinya.

"Akhirnya!"

Dengan semangat Melisa memindahkan bubur itu ke dalam sebuah wadah tertutup, lalu dibungkus lagi menggunakan totebag. Rencananya bubur ini akan diantar ke rumah Sarina menggunakan ojol. Melisa masih belum berani meninggalkan Xania. Untuk pertama kalinya dia menyesal memilih rumah yang jaraknya jauh dari rumah Sarina.

Saat ojol berangkat, Melisa menghubungi Lala sambil makan sisa bubur yang gagal. Tentu saja dicampur lagi dengan telur rebus supaya bisa masuk ke rongga mulutnya. Sebagian lagi sudah dimakan Ambar dan Mas Agus.

"Gimana kondisi ibu, Mbak?"

"Sekarang, sih, udah mau turun dari kasur, Mbak. Kayaknya obat dari dokter manjur, Mbak."

"Alhamdulillah, syukur, deh, kalau ibu udah sembuh. Oh, ya, Mbak, nanti ada ojol datang ke rumah, nganterin makanan buat ibu. Tapi, nanti bilang aja itu kiriman dari Mas Candra, ya, Mbak."

"Lha, terus, kalau ibu tanya kenapa nggak Mas Candra sendri yang antar, saya harus jawab apa, Mbak?"

"Jawab aja Mas Candra lagi terbang."

"Ya udah, Mbak. Nanti saya bilang begitu."

"Maaf, ya, Mbak, Mel belum bisa ke sana."

"Nggak apa-apa, Mbak. Saya juga minta maaf belum nengokin dedeknya."

Telepon ditutup. Melisa kembali melanjutkan makannya. Kali ini, dia membalas pesan dari suaminya.

Ayahnya Xania 👨‍👩‍👧: Minta fotonya Xania, dong.

Melisa segera menuruti permintaan sang suami. Dia arahkan kamera ke bayi yang masih memandangi mainan gantung.

Anda: mamanya nggak disuruh foto?

Ayahnya Xania 👨‍👩‍👧: Xania cantik banget, sih. 😍😍😍

Ayahnya Xania 👨‍👩‍👧: Ayah kangen. Pengen tidur sama Xania.

Anda: Ayaaah 😒😒😒

Ayahnya Xania 👨‍👩‍👧: Nanti, ya, kalau di galeri udah penuh foto Xania. Sekarang masih sedikit.

Anda: Bohong banget sedikit. Itu yang foto tiap menit 50 kali siapa? Mentang-mentang HP baru. 😌

Saat menunggu balasan dari Candra, notifikasi pesan Mbak Lala datang. Melisa segera membukanya.

Mbak Lala: Mbak, Alhamdulillah, ibu mau makan bubur kiriman Mbak. Sampai habis pula.

Kedua sudut bibir Melisa terangkat. Ia jadi semangat membuatkan makanan di hari selanjutnya.


Kalau untuk muslim, kewajiban suami itu memberikan tempat tinggal yang layak dan aman untuk istri serta anak-anaknya, sedangkan istri berhak menentukan mau tinggal di mana dan sama siapa. Ketika istri menolak tinggal sama mertua, suami nggak bisa maksa. Begitu.

Tapi bukan berarti mengabaikan kewajiban sebagai anak. Pasangan suami istri masih bisa kok berbakti sama orang tua. Terutama suami, mendahulukan kepentingan istri dulu, sedangkan istri harus menuruti apa kata suaminya.

Sekian AN yang kepanjangan. Buat yang komen pertama di part ini, aku mau kasih hadiah 😘

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro