Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

27 - Apa Aku Salah?

Candra tidak datang sendiri. Ia ke rumah ibunya bersama dokter yang akan memeriksa. Lala menyambut mereka dan langsung mengarahkannya ke kamar Sarina. Setelah pintu dibuka lebar, Candra bisa melihat ibunya meringkuk di ranjang sembari memegang kepala. Wanita itu terkejut dengan kedatangan anaknya.

"Kamu ngapain ke sini? Kenapa ada dokter?"

"Ibu harus diperiksa."

"Ibu nggak mau!"

"Sebentar aja, Bu."

"Nggak mau! Ibu bilang nggak mau, ya, nggak mau!"

"Silakan, Dok." Candra tetap memerintahkan dokter memeriksa Sarina. Jelas wanita itu memberontak.

"Ibu tenang dulu, ya. Saya cuma periksa sebentar, kok," kata Dokter saat Sarina menolak diukur tekanan darahnya. Suka tidak suka, Sarina mengikuti semua prosedur pemeriksaan supaya dokter ini cepat lenyap dari rumahnya.

"Mas, sebaiknya ibunya dirujuk ke rumah sakit saja. Tensi ibu tinggi, takutnya sakit kepala yang dirasakan itu tanda-tanda stroke. Di rumah sakit, ibu bisa melakukan pemeriksaan menyeluruh, seperti MRI dan CT-scan untuk mencari penyebab sakit kepala ibu," ucap Dokter setelah memeriksa Sarina. "Tapi, kalau ibu belum mau, saya kasih obat pereda sakit kepala dan penurun tensi. Semoga setelah meminum obat ini, tensi ibunya kembali normal dan sakit kepalanya sembuh."

"Baik, Dok."

Setelah diberikan obat, Lala kemudian yang mengantarkan dokter sampai di depan pintu, sementara Candra tetap di kamar ibunya.

"Bu, kita ke rumah sakit, ya. Ibu harus diperiksa." Candra mencoba membujuk ibunya.

"Lho, tadi, kan, sudah diperiksa. Ngapain ke rumah sakit? Wis, to, ibu ini cuma sakit kepala. Nggak usah kamu dengerin kata dokter."

"Tapi, Bu--"

"Lagian, kamu ngapain ke sini? Kamu sudah pilih perempuan itu ya nggak usah pedulikan ibu lagi!"

Ucapan ibunya membuat Candra tertegun. Ini Sarina sedang mengungkit kejadian lalu, kah? "Bu, aku nggak milih siapa pun. Aku mau hidup sama Melisa apa salah?"

"Nah, itu, kamu lebih memilih perempuan itu daripada ibu yang sudah melahirkan dan membesarkan kamu sampai jadi begini. Jadi, buat apa kamu ke sini lagi? Kalau ibu mati pun kamu senang, kan?"

Tidak ada yang lebih menyakitkan selain kata-kata ibunya barusan. Demi Tuhan, Candra tidak pernah senang dengan keadaan ini. Kalau bisa, dia ingin bersama ibunya, juga bersama istri dan anaknya. Apa keinginannya ini termasuk sebuah keserakahan makanya tidak pernah dikabulkan?

"Lagian, kamu sekarang senang bisa kembali ke ayahmu. Kamu bahagia sama ayahmu dan istri barunya. Untuk apa kamu cari ibu lagi? Mau manas-manasin ibu?"

"Ibu juga waktu itu pernah ke rumah, Ibu mau ketemu aku, kan?"

"Percaya diri sekali kamu. Ibu cuma mau lihat rumahmu, tapi ibu salah. Kamu masih bodoh. Demi perempuan itu, kamu berikan rumah itu ke dia."

Memang benar, rumah beserta isinya atas nama Melisa, bukan Candra. Ia lakukan semua itu supaya kalau dirinya tidak ada, Melisa tidak perlu susah payah mengubah nama kepemilikan. Lagi pula, menurutnya, memberikan tempat tinggal yang layak merupakan salah satu kewajibannya sebagai suami. Apa itu tetap salah di mata ibunya?

"Mendingan sekarang kamu pulang dan jangan pernah coba-coba menginjakkan kaki di sini. Ibu nggak mau ketemu sama kamu lagi."

"Bu ...."

"Keluar ibu bilang!"

Sarina kembali memegang kepalanya. Candra yang panik, tetapi tidak bisa menolong. Ibunya belum tersentuh juga. Candra meninggalkan ibunya meskipun berat.

"Lho, Mas mau langsung pulang?" tanya Lala yang sudah kembali menuju kamar Sarina.

"Iya, Mbak. Tolong jagain ibu, ya. Kalau ada apa-apa, tolong langsung telepon saya atau Melisa."

"Iya, Mas."

"Makasih, Mbak."

Candra baru pergi setelah itu. Memasuki mobilnya dengan perasaan hampa. Candra tidak langsung pergi. Dari kaca mobil, Candra terus memandangi rumah yang dulu pernah mengurungnya. Ternyata benar, ketika berani meninggalkan tempat ini, tidak akan mungkin bisa menembusnya lagi. Seperti yang pernah terjadi pada ayahnya.

Sarina. Seorang wanita yang pernah melahirkan dan membesarkannya, meski dengan cara yang salah. Candra tidak pernah sedikit pun membenci ibunya. Tidak pernah sedikit pun melupakan ibunya. Lagi pula, untuk apa? Membenci tidak akan mengubah kenangan buruk menjadi baik. Membalas kejahatan dengan kejahatan juga tidak akan mengubah sifat ibunya. Yang bisa Candra lakukan hanya ini. Membujuk, merayu, dan merobohkan benteng kokoh milik ibunya.

Candra memiliki Melisa dan Xania, sementara Sarina tidak punya siapa-siapa. Ia percaya, Sarina sebenarnya ingin berkumpul, tetapi tidak tahu bagaimana caranya.

Getar di saku celananya mengalihkan perhatian Candra. Lelaki itu segera mengeluarkan benda persegi panjang dari dalam kantung itu. Pesan dari istrinya kembali membuatnya tertegun.

Mamanya Xania: Gimana ibu, Mas? Nggak parah, kan, sakitnya?

Hanya dibaca. Candra justru keluar dari ruang pesan istrinya, beralih ke satu nomor yang ia yakini bisa meluruskan pikirannya. Candra meletakkan layar ke telinga. Menunggu panggilannya diterima.

"Ayah di rumah?" Candra bersuara setelah Hutama menerima teleponnya.

"Di rumah."

"Aku ke sana sekarang."

Setelah Hutama mengiyakan, Candra memutus panggilan itu, lalu melajukan mobilnya. Sejak Hutama dan Sintia pindah, Candra baru tiga kali datang ke sana. Rumah mereka tiga kali lebih besar dari rumahnya dan rumah yang ditempati Sarina. Rumah dua lantai berdiri megah dengan halaman terbuka di bagian depan, di samping halaman itu terdapat carport yang memuat enam mobil dan sepeda motor, di depannya lagi ada garasi yang bisa menampung empat mobil, tiga motor, dan beberapa sepeda koleksi Hutama, di lantai dua terdapat balkon luas. Yang membuat Melisa betah kala berkunjung ke sini adalah tempat gym-nya.

Tiba di rumah ayahnya, Candra disambut oleh dua orang pengawal di depan gerbang, tiga orang di teras, kemudian enam orang pelayan wanita membungkuk ketika Candra melintas. Salah satunya mengantarkan Candra ke ruang tamu, bertemu dengan Sintia.

"Halo, Sayang. Tumben kamu ke sini. Mau ketemu sama ayah?"

Candra tersenyum kikuk. "Iya, Mi. Ayah di mana?"

"Di balkon. Kamu naik aja."

Sejujurnya, Candra sungkan dibebaskan seperti ini. Namun, Sintia tampak biasa saja. Bahkan, wanita itu yang mengantarkan Candra bertemu dengan Hutama.

"Papi, ini anak cowoknya dateng," kata Sintia, kemudian turun meninggalkan suaminya berdua dengan anaknya.

Balkon ini terbuka. Terdapat dua buah kursi panjang dari kayu dan satu meja di tengah. Dari ini, Candra bisa melihat mobilnya yang terparkir di carport.

"Kamu ada masalah?" Hutama bertanya, tetapi tubuhnya membelakangi Candra. Hari ini, ayahnya mengenakan kaus polo berwarna abu-abu dan celana panjang hitam. Ada asap yang terlihat dari cerutu di tangan pria itu. Candra sudah tahu ayahnya perokok aktif.

"Aku tadi ke rumah ibu. Mbak Lala bilang ibu sakit, tapi nggak mau ke rumah sakit."

"Terus, yang menggangu pikiran kamu apa?"

Candra menghela napas. "Yah, apa aku salah ambil jalan ini? Aku mau merawat ibu, tapi aku juga nggak bisa ninggalin Melisa. Aku harus gimana?"

Barulah Hutama membalikkan badan, meletakkan cerutu di meja, kemudian perlahan mendekati anaknya. "Kenapa kamu mau merawat ibu?"

Kedua mata mereka beradu pandang. Mulut Candra terbuka dan berkata, "Karena ibu cuma punya aku."

"Kamu nggak lupa dengan apa yang pernah ibu lakukan ke kamu?"

Candra menggeleng. "Aku udah terima semuanya, Ayah. Karena udah lewat juga. Aku nggak mau ngasih makan hati dengan kebencian. Bukannya itu bikin aku sama ibu makin jauh?"

Mendengar ucapan sang putra, Hutama terenyuh, lalu seutas senyuman terbit di bibirnya. "Ibu kamu selain keras kepala, dia juga keras hatinya. Yang harus kamu lakukan sekarang, kamu pantau ibu dari jauh. Berbakti itu nggak harus menampakkan wajah, kamu bisa melakukannya dari sini. Satu lagi, jangan sesali jalan yang kamu pilih. Yang menurut kamu nggak enak, justru sebenarnya terbaik. Ayah yakin, suatu saat kalian pasti berkumpul."


Aduh, Mbah, udah sakit kok masih aja gengsi 🙄

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro