Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

25 - Rencana Masa Depan

Candra terbangun ketika menyadari istrinya tidak ada di kasur. Laki-laki itu mengubah posisi. Matanya tertumbuk pada perempuan yang terlelap dengan posisi duduk sembari memangku Xania. Ia merutuki diri yang tidak sadar anaknya terbangun, padahal Xania tidur di tengah-tengah kedua orang tuanya.

Pertama, Candra membersihkan sisa susu di pipi Xania menggunakan tisu kering, lalu memindahkan bayi itu ke kasur kecil yang terletak di tengah ranjang. Setelah itu, ia hendak mengangkat tubuh Melisa, tetapi perempuan itu membuka mata lebih dulu dan terperanjat.

"Lho, Xania mana, Mas?"

"Udah aku pindahin di kasur." Candra lantas mencium kening Melisa. "Maaf, ya, aku nggak denger Xania nangis."

"Nggak apa-apa, Mas. Aku emang sengaja nggak bangunin. Kasian Mas kemarin malam udah jagain Xania. Tadi Xania nggak mau di kasur. Aku pindah duduk di sini, malah ketiduran. Xania pasti gumoh, ya?"

"Iya, sedikit. Udah aku bersihin, kok."

Tangan Candra terulur menyisihkan anak rambut di wajah sang istri, lalu turun mengelus rahangnya. Mata pria itu tak lepas memandangi wanita yang menemaninya empat tahun ini. Kalau ditanya apakah dirinya bosan, tentu saja tidak. Melisa sudah banyak berkorban dan kemarin baru saja memberikan seorang anak yang lucu.

Bergadang sepertinya akan menjadi drama sepanjang hari sebagai orang tua baru. Durasi tidur Xania masih acak karena belum mengerti siang dan malam. Beruntungnya Candra masih punya jatah libur. Dia bisa gantian dengan Melisa.

"Sekarang jam berapa, Mas?"

"Jam satu, kenapa?"

"Kok, aku tiba-tiba laper, ya, Mas. Tapi, kan, tadi makanannya nggak ada yang sisa." Makan malam tadi, Melisa memesan lewat aplikasi gara-gara malas memasak. Kalau tidak ada Ambar, ya, begini ini.

"Setelah lahiran, kamu belum makan mi rebus lagi, kan? Mau makan?"

Melisa memicing. "Boleh?"

"Kalau kamu makannya sekali, ya, nggak apa-apa. Beda kalau makan satu kardus."

"Ish!" Melisa meninju pelan perut suaminya. "Boleh nggak? Kalau boleh, aku beneran turun sekarang, nih. Udah laper banget."

"Iya, boleh. Tapi, biar aku aja yang masak. Kamu di sini aja jagain Xania."

"Oke. Inget, ya, harus lembek, pakai telur, saus, jangan dikasih minyaknya."

"Siap, Tuan Putri."

Candra segera menyingkir dari tubuh Melisa, beranjak turun menuju dapur. Sementara itu, Melisa masuk ke kamar mandi untuk buang air kecil. Setelahnya, Melisa duduk di karpet bulu yang letaknya di depan ranjang, sambil memainkan ponselnya. Sesekali kepalanya menengok ke belakang, memastikan Xania aman di kasur.

Dua puluh menit kemudian, Candra datang dengan membawa nampan berisi mangkuk, segelas cokelat hangat, dan sebotol saus. Melisa tersenyum riang. Akhirnya makan mi lagi setelah selama sebulan lebih makan sayur, daging, dan buah demi ASI berlimpah.

"Mau makan sendiri apa disuapin?"

Melisa mengangkat alisnya, menatap Candra yang duduk di hadapannya. "Kenapa pertanyaannya bukan 'kamu mau aku suapin nggak?'. Kalau ditanya begitu, kan, aku jawab iya."

"Ya udah, aku suapin kalau gitu."

Lagi-lagi Melisa kegirangan, apalagi saat Candra mulai menggulung mi, meniupnya sebentar, lalu mendekatkan garpu ke mulutnya.

"Mamanya Xania laper banget, ya, kayaknya."

Melisa mengangguk, kemudian menelan makanannya. "Malam ini Xania rajin minta susu sampai mamanya nggak sempet isi bensin."

"Xania udah kepengin cepet besar," kata Candra usai menyuapi Melisa yang kedua kali.

"Bisa nggak, ya, Xania kecil terus? Biar bisa dipeluk terus."

Candra terkikik. "Ya, mana bisa. Dia bentar lagi bisa minta jajan kayak mamanya."

Hening setelah itu karena Melisa sibuk mengunyah mi, Candra sibuk menyuapi sambil sesekali mengecek Xania. Anak itu tampak tenang.

"Mel, kita belum pernah ngomong soal KB lagi, kan? Terakhir, kita ngomongin ini pas masih di rumah orang tua kamu," kata Candra setelah beberapa saat sunyi.

"Iya. Jadi, mau aku atau Mas?"

"Aku, Mel. Aku mau coba pakai pengaman."

"Mas udah yakin?"

Candra mengangguk. "Aku nggak mau kamu lagi yang kesakitan gara-gara KB. Terus, sekarang kamu sambil menyusui juga, aku nggak mau ganggu produksi ASI. Ya walaupun ada KB yang nggak bikin produksi ASI terganggu, tapi aku tetep nggak mau kalau harus kamu yang KB lagi."

Baiklah. Kalau Candra sudah mengatakan seperti itu, artinya tidak ada ganggu gugat. Akan tetapi, masih ada satu pertanyaan yang mengganjal di hati Melisa. "Terus, Mas mau punya anak lagi nggak setelah ada Xania?"

Sepi lagi, padahal Melisa sudah penasaran. Kalau Melisa sendiri masih ingin punya anak. Namun, sekarang dia tidak akan memaksakan kehendak lagi pada Candra. Melisa mau keputusan ini dibuat bersama-sama.

"Satu lagi tapi jaraknya jauh nggak apa-apa, kan?"

Dalam hati, Melisa senang. Jawaban yang aman. "Dua tahun gimana?"

"Itu kecepetan. Lima tahun."

Melisa terbelalak. Hampir saja tersedak saat minum cokelat. "Ya, umurku keburu tua, Mas. Lima tahun lagi aku 31, malah berisiko, dong. Tiga tahun, gimana?"

"Oke, deal, tapi habis itu, kita steril, ya. Dua anak cukup."

"Berarti fix, ya, adiknya Xania dibikin tiga tahun lagi. Kalau Mas di tengah jalan tiba-tiba berubah pikiran, aku mogok ngomong sama Mas." Melisa rasa sangat harus diberi ultimatum sejak detik ini. Mengingat Candra-lah yang memegang kendali sekarang. Takutnya laki-laki itu malah kepikiran mau steril diam-diam.

Melisa segera meralat pikirannya. Dia harus memberikan kepercayaan kepada suaminya.

"Untuk Xania, kalau dia nggak usah ditindik dulu kamu nggak keberatan, kan?"

"Nggak, lah. Menurut aku, apa pun yang menyangkut tubuhnya, itu terserah Xania. Biar Xania sendiri yamg memutuskan mau pakai anting apa nggak. Lagian, kalau pakai sekarang, aku yang ngeri."

"Terus, menurut kamu, Xania harus sekolah dini nggak?"

"Kalau sekolah dini, iya. Tapi, cari yang waktunya nggak panjang, Mas. Soalnya menurut aku, pendidikan yang paling utama ya pas dia lagi di rumah. Aku, kan, udah nggak kerja sekarang."

"Kamu beneran nggak mau pakai suster?"

"Untuk sekarang nggak dulu, Mas. Aku pengen ngerasain ngurus anak sendiri. Mas nggak usah khawatir aku capek. Walaupun capek, aku seneng karena akhirnya bisa punya anak. Makasih, ya, Mas."

Ucapan itu membuat Candra tertegun. Dahulu dirinya yang mengatakan akan menuruti semua keinginan Melisa, kecuali punya. Dahulu dirinya masih terbayang masa lalu yang kelam. Dahulu pikirannya sempit, berputar pada kemungkinan gagal. Sebelum bertemu Melisa, bayangan memiliki seorang anak benar-benar tidak ada di dalam kepala Candra. Dia mengira untuk apa menghadirkan anak ke dunia kalau akhirnya menjadi kepuasan orang lain.

Sekarang Candra akan mencoba menjadi ayah yang baik untuk Xania. Menjadi orang pertama yang Xania cari ketika sedih, senang, dan kecewa. Membimbing anaknya ke jalan yang benar. Seperti yang pernah dikatakan Martin, menciptakan keluarga.

"Harusnya aku yang bilang makasih. Makasih kamu udah mau temenin aku sampai sekarang."


Makasih udah nungguin :)

Gimana kesan2 setelah baca sampai sini?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro