24 - 40 Hari
Kalau Candra sedang libur begini, Melisa seperti mendapatkan surga dunia. Xania sebagian besar berada di tangan suaminya. Anak itu baru bersamanya ketika ingin menyusui saja. Waktu yang luang itu, Melisa gunakan untuk olahraga ringan, membuat sarapan, mandi, pakai skincare, dan makan sambil pompa ASI.
Seperti yang dilakukan pagi ini, Melisa sudah tampak wangi setelah keramas dan mandi. Sudah lama tidak berendam di bathtub, tapi sayangnya Melisa masih takut lantaran luka operasinya belum sepenuhnya sembuh. Bisa keramas saja merupakan sebuah anugerah setelah menjadi ibu. Tidak perlu mengkhawatirkan Candra. Kalau boleh jujur, Candra lebih telaten ketimbang Melisa. Xania juga tidak rewel selama ditangani ayahnya. Sepertinya anak dan ayah itu klop sejak dini.
"Xania tummy time dulu, ya."
Satu setengah jam setelah menyusui, Candra meletakkan Xania dalam posisi tengkurap di lantai yang beralaskan karpet khusus bayi. Xania sudah diberi stimulasi ini setelah tali pusarnya lepas. Kadang-kadang Melisa melakukannya di atas paha yang beralaskan bantal. Awalnya Xania suka menangis ketika posisinya diubah. Akan tetapi, setelah dilatih setiap hari, Xania terbiasa, diam saja kalau posisinya sedang tengkurap.
"Ayah punya mainan. Sini lihat!" Candra yang duduk di depan Xania menggerakkan mainan kecrekan agar Xania mau mengangkat kepalanya. Seperti biasa, laki-laki itu paling semangat kalau sedang mengajarkan Xania.
"Ayo, angkat kepalanya, Sayangnya Mama yang cantik." Melisa yang kini sedang memompa ASI turut menyemangati sambil mengelus punggung anaknya.
Setelah semenit di posisi itu, Candra juga tidak berhenti menggerakkan mainannya sebelum berhasil. Xania mulai bergerak dan ketika berhasil mengangkat kepala, kedua orang tuanya bersorak riang.
Candra segera mengangkat tubuh anaknya karena waktu tummy time sudah habis, sebelum Xania merengek. Ia menggendong anak itu dengan posisi leher belakang di siku. Tentu saja setelahnya pipi si kecil dihujani banyak kecupan dari ayahnya karena berhasil mengangkat kepala. "Xania pinter udah bisa angkat kepala."
Melisa tersenyum lebar. Tidak menyangka bayi kecil yang dulunya bersemayam di dalam perut, sekarang hidup dan berkembang. Dia sudah tidak sabar dengan kejutan Xania selanjutnya. Xania pasti tumbuh menjadi anak perempuan yang cantik dan cerdas. Walaupun Melisa harus menunggu tiga tahun, harus melewati banyak rintangan yang terjal untuk bisa melihat manusia kecil ini menjadi bagian dari hidupnya.
"Sayang, kalau nggak salah Xania udah 40 hari, kan?" tanya Candra pada Melisa.
"Udah. Kenapa emangnya?"
"Kita ajak keluar, yuk! Kamu juga pasti butuh refreshing, kan, udah sebulan lebih nggak keluar."
"Jajan, ya, Mas?"
"Iya."
Ya, tentu saja Melisa tidak akan menolak ajakan itu. Percayalah, kepalanya seakan-akan penuh gara-gara melakukan aktivitas yang sama berulang kali. Melisa butuh pelepasan dan satu-satunya pelepasan itu adalah jalan-jalan sekaligus jajan. Namun, sejak kemarin keinginan itu harus ditahan karena masih menunggu Xania genap 40 hari. Bayi itu, kan, masih rentan terhadap penyakit, supaya aman Melisa menurut saja apa kata orang tua.
Melisa segera menyudahi pompa ASI-nya, sementara Candra menaruh Xania di dalam stroller. Dalam bayangan Melisa, anak itu akan menangis karena baru pertama kali, tetapi kenyataannya, Xania diam saja, malah tersenyum. Suaminya juga tampak rapi dengan kaus putih beserta celana pendek, kostum yang selalu dipakai kalau sedang di rumah.
Jadilah sepasang orang tua itu keluar rumah. Melisa merangkul lengan suaminya, sedangkan Candra yang mendorong kereta bayi itu. Tampak sempurna, bukan? Melisa menginginkan ini sejak tiga tahun yang lalu dan sekarang semua impiannya telah terwujud. Dia sangat bersyukur dengan kesempatan ini.
"Mas, nanti kalau aku udah beneran sembuh, boleh, kan, ajak Xania makan di luar atau naik kereta ke Semarang?"
"Kalau jalan-jalan atau makan sekitar sini boleh, tapi buat yang naik kereta, harus sama aku. Kamu nggak boleh sendirian."
"Kenapa emangnya?"
"Aku nggak mau kalian kenapa-napa di jalan, Sayang. Jangan pernah ngelakuin itu sendirian."
Melisa tersenyum. Setengah berjinjit, Melisa mengecup singkat pipi Candra. Untung jalanan yang mereka lewati sepi, tidak ada para dede gemes yang minta dihangatkan rahimnya setelah melihat tingkah Melisa.
"Kenapa nggak naik pesawat aja ke Semarang-nya?"
"Ya Allah, nanti bukan Xania yang ditenangin, tapi ibunya. Aku malas kalau naik pesawat."
"Nanti kalau Xania nangis mau ikut aku gimana?"
Melisa bergeming. Sebenarnya dia pernah memikirkan ini, tapi, kan, untuk sekarang Xania belum mengerti. Nggak tahu nanti kalau sudah besar. "Ya, pikir nanti aja, lah. Pasti ada cara, kok, selain nggak harus ikut ayahnya terbang."
"Terus kalau kita mau liburan yang mengharuskan naik pesawat gimana?"
"Aduh, Mas, itu dipikir nanti aja. Ini aja Xania baru sekali diajak keluar. Bayangan Mas udah jauh banget."
Mereka menepi sebentar di penjual bubur kacang hijau yang letaknya tidak jauh dari rumah. Dulu waktu Melisa ngidam, dia pernah mempersulit penjual bubur kacang hijau ini. Melisa minta bubur kacang hijau tapi santannya harus warna merah.
Melisa dan Candra memesan dua mangkuk bubur kacang hijau untuk mengisi perut. Kebetulan saat ini Ambar sedang pulang ke Semarang, berangkat habis subuh, jadi di rumah tidak ada yang masak.
Sesekali Melisa mengintip Xania dari balik tirai transparan. Anak itu terlihat diam saja. Asyik memperhatikan kain yang melindunginya dari sinar matahari.
Melisa menyingkap sedikit penutupnya agar bisa melihat Xania dengan jelas. "Seneng, ya, diajak jalan-jalan sama Ayah?"
Xania merespons dengan mata fokus menatap wajah kedua orang tuanya dan mulutnya mengeluarkan sedikit suara. Melisa dan Candra terkejut mendapati respons tersebut.
"Eh, udah bisa jawab mama. Xania, jangan cepet gede, dong. Nanti ayah kamu makin ribet mikirin kamu jalan sama cowok mana."
"Ah, iya, aku punya anak gadis ternyata," timpal Candra. "Nanti kalau kamu udah besar, jangan mau diajak pergi cowok, ya. Kalau dia maksa, kamu telepon ayah. Nanti biar ayah yang kasih tau."
Melisa mencibir. "Kan, belum apa-apa udah overprotektif. Kamu jangan bernasib sama kayak mama, ya, Nak."
"Harus diarahin sejak dini, Sayang. Kamu digituin sama abang-abang kamu akhirnya dapet aku, kan?"
Candra benar, sih. Coba saja dulu Melisa tidak mendengar perkataan abangnya. Mungkin sekarang dirinya mendapatkan laki-laki yang salah. Nah, masalahnya, Candra ini sedang diperhatikan pembeli lain. Ya, masa, kayak gitu ngomong sama bayi. Melisa yang malu. "Iya, iya. Ayo, makan! Habis itu pulang."
Ketika ada sebuah sepeda motor melintas, Xania kaget dan memberi respons berupa tangisan. Candra dan Melisa yang masih mengunyah itu buru-buru menghabiskan makanannya. Setelah isi mangkuk ludes, mereka memutuskan pulang karena tidak mungkin menyusui Xania di tempat umum.
Begitu Candra mendorong stroller-nya, tangis Xania tidak sekencang saat masih di penjual bubur kacang hijau. Setibanya di rumah, Melisa langsung mendekap tubuh anak itu. Seperti biasa ketika di dekat ibunya, Xania mencari sumber makanan karena katanya bayi usia satu bulan sudah bisa mengenal aroma ASI. Kabar baiknya, ASI Melisa lancar. Kini kulkas dapur terisi dengan kantung ASI perah.
Haid hari pertama rasanya anu sekali. Jadinya hari ini belum nulis. 😪
Tapi kalau hari ini bisa tembus 25k views bisa kayaknya double update 💃
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro