23 - Demam
Sejak tadi siang sampai malam ini Xania terus menangis. Badannya juga hangat dan sudah Melisa beri kompres. Melisa yang sibuk menenangkan anaknya sampai mengabaikan panggilan masuk dari Candra. Toh, perbedaan waktunya singkat, Melisa tidak perlu khawatir di sana kemalaman.
"Sakit, ya? Tuh, ayah telepon lagi. Duduk mau? Duduk, ya, biar mama bisa angkat telepon ayah."
Setelah mengitari ruangan kamar, Xania baru diam begitu Melisa mencoba duduk di tepi ranjang dan mulai menyusu. Melisa meraih ponsel di nakas, kemudian mengangkat telepon video dari Candra. Begitu terhubung, layar menampilkan wajah suaminya di sebuah ruangan yang Melisa yakini adalah kamar hotel. Ponsel Melisa disandarkan ke lampu meja.
"Sayang, kok, baru diangkat? Xania rewel, ya?"
"Iya, Mas. Tadi, kan, Xania imunisasi, terus kata dokter nanti bakal rewel sama demam. Nah, ini lagi muncul demamnya."
"Demam? Kok, nggak dibawa ke rumah sakit?" Raut wajah Candra berubah. Ini kali pertamanya mendengar Xania demam dan dirinya sedang tidak ada di rumah.
"Ini cuma sebentar, Mas. Aku udah chat dokter, katanya nggak perlu dibawa ke rumah sakit. Cuma harus sering dikasih ASI."
"Beneran nggak apa-apa? Nggak harus dibawa ke rumah sakit?"
"Nggak, Mas. Aduh, sebentar." Melisa menepuk pelan pantat Xania ketika anak itu kembali menangis. Karena tangisnya tidak kunjung reda, Melisa memilih berdiri lalu berjalan pelan sambil mendekap tubuh anaknya.
Candra menyaksikan semuanya dari layar ponsel. Dia khawatir sekaligus kagum melihat Melisa begitu telaten menenangkan Xania. Andai saja Jepang-Yogyakarta jaraknya sejengkal. Dia ingin sekali menggantikan posisi Melisa saat itu juga.
"Matiin aja, Mas. Xania masih nangis."
Candra mendengarnya, tapi tidak dilakukan. Dia terus memperhatikan Melisa yang kini sedang mengusap punggung Xania, lalu duduk lagi dan mulai mengarahkan putingnya ke mulut bayi itu. Ketika Xania berhenti menangis dan menyusu, Melisa mengelap bekas air mata menggunakan tisu. Melisa mencium dan menyeka kepala Xania yang mulai ditumbuhi rambut sembari menyanyikan sebuah lagu. Terakhir, Melisa meletakkan Xania dengan hati-hati di tempat tidurnya.
"Udah tidur Xania?"
Melisa terkejut saat tahu Candra belum mematikan teleponnya. Sementara di sana, Candra tertawa kecil melihat ekspresi istrinya.
"Lho, Kok, belum dimatiin, Mas?"
"Aku mau lihat anak sama mamanya. Kamu hebat banget bikin Xania nyaman."
Mendengar pujian itu, Melisa tersipu malu. "Aaa, cubit, nih!"
"Gimana caranya coba?"
"Ya, nanti kalau udah pulang." Melisa teringat kedatangan Sarina tadi siang. "Oh, ya, Mas, aku punya cerita. Tadi siang, ibu ke sini."
Mata Candra melebar. "Ibu? Serius?"
"Iya. Terus, pas banget di rumah juga lagi ada ayah sama mami."
"Terus?" Candra jadi penasaran. Bukannya itu pertemuan mereka setelah sekian lama berpisah? Andai saja dirinya melihat pertemuan mereka secara langsung.
"Ibu masih malu kayaknya, diajak masuk sama ayah, malah pergi. Ke sini cuma mau tanya rumah ini atas nama siapa doang. Masih pengen ikut campur si ibu. Aku bilang aja ini rumahku."
"Rumah kita, Mel," kata Candra setengah bercanda.
"Iya, rumah kita, tapi kalau Mas macem-macem di luar, rumah ini jadi rumahku karena Mas bakal kutendang."
"Jadi, kamu nunggu aku macem-macem dulu baru mau miliki rumah itu?" Candra masih saja menggoda istrinya.
"Ya, nggak gitu juga. Iih, ya, jangan gitu, lah!"
Candra tersenyum lebar. "Kamu sendiri yang bilang begitu barusan."
Melisa mencebik.
"Kamu istirahat sana, mumpung Xania udah tidur."
"Lusa Mas pulang, kan?"
"Iya. Emang kapan aku pulang terlambat?"
"Kali aja, pulangnya lebih cepet. Malam ini misalnya."
"Ya, nggak bisa, Sayang. Ya udah sana tidur. Aku tutup, ya, teleponnya."
"Awas kalo macem-macem!"
Candra tergelak.
Dua hari kemudian, tepatnya jam tujuh malam, Candra pulang. Namun, bukan Melisa yang menyambut, melainkan Ambar.
"Melisa mana, Mbak?"
"Di ruang makan. Tadi belum sempat makan gara-gara Xania rewel."
Tepat setelah itu, Melisa muncul dengan wajah ceria. Ambar pun segera menyingkir. Melisa merentangkan kedua tangannya, minta pelukan seperti biasa, tetapi pertanyaan Candra memupuskan keinginan itu.
"Mana Xania?"
Raut wajah Melisa berubah seketika. "Udah tidur, lah."
"Yaah, padahal aku mau kasih lihat sepatunya."
"Mas, anak satu bulan mana paham? Dia tahunya cuma susu. Mendingan kasih lihat oleh-oleh buat aku aja!"
"Buat kamu nggak mungkin aku tunjukin di sini."
Melisa melotot dan langsung menoleh ke pintu. Semoga saja Ambar tidak mendengar, apalagi menguping pembicaraan ini. "Mas jadi beli itu?"
"Kamu mau lihat sekarang?"
"Mas! Aku udah nggak mungkin pakai baju itu lagi."
"Kenapa nggak mungkin?"
"Mas nggak lihat badan aku kayak gini?"
"Kan, pakainya nanti kalau udah selesai, terus pas luka operasi kamu udah sembuh. Ya, mungkin pas itu badan kamu udah balik kayak dulu."
Melisa menunduk. Sungguh, kepercayaan dirinya masih di bawah rata-rata setiap kali melihat tubuhnya. Ya, memang perutnya sudah kempis, tapi sisa-sisa lemaknya masih menumpuk di sana sekarang sedang dibantu dengan korset. Ditambah luka operasi yang belum memudar, makin ciut nyalinya. Sudah jelas tidak akan sebagus dulu.
Tidak mau sang istri berlarut-larut dalam pikiran buruknya, Candra segera mengangkat dagu Melisa menggunakan jarinya.
"Kamu nggak usah khawatir, apa pun bentuk badan kamu, aku selalu sayang sama kamu. Kamu juga gitu, kan, kalau aku udah tua?"
Melisa mengangguk.
"Nah, ya udah, kamu nggak usah pikirin itu lagi, ya. Sekarang aku mau lihat Xania dulu. Kangen."
Candra mengangkat navbag dan melangkah meninggalkan Melisa yang melongo. Apa semua bapak-bapak seperti ini? Melisa jadi ingat percakapan beberapa waktu lalu. Candra sempat bilang dia ingin punya waktu khusus untuk Xania setelah terbang. Katanya buat kebiasaan nanti sampai besar. Jadi, setiap pulang Candra yang mengurus Xania seharian. Melisa sempat protes, pikirnya pulang kerja bukannya istirahat malah ngurus anak. Kalau masih tinggal bareng Sarina, Melisa yang jadi santapan mulut mercon.
"Jangan lupa cuci tangan dulu!" teriak Melisa dan Candra mendengarnya.
Sebelum menyusul suaminya, Melisa membereskan piring bekas makannya dulu. Setibanya di kamar, objek pertama yang Melisa temukan adalah Candra sedang menunjukkan sepatu sneaker berukuran kecil sembari menggendong Xania.
"Nanti kalau kamu udah bisa jalan, kamu pakai sepatu ini, ya. Sama kayak punya ayah. Sekarang sepatunya disimpen dulu, ya."
Melisa tersenyum. Pemandangan ini yang selalu ia impikan, sekarang menjadi nyata. Kakinya melangkah menghampiri mereka.
"Anaknya baru tidur itu. Malah diangkat."
"Aku, kan, kangen." Candra mencium pipi bulat Xania. "Demamnya udah sembuh, ya?"
"Udah. Kan, cuma di hari dia disuntik. Sebentar banget."
"Kapan jadwal imunisasi lagi?"
"Bulan depan, tanggalnya sama."
"Semoga aku bisa ikut. Ayah pengen banget ngeliat kamu disuntik."
"Ya, semoga aja Mas nggak cerewet ke dokternya."
Di gendongan ayahnya, Xania mulai menggeliat. Tangan dan kakinya bergerak sampai kain bedongnya turun. Candra mencoba membetulkan, tapi berantakan lagi.
"Tadi udah aku bedong, lho. Cuma kayaknya bayi jaman sekarang udah susah kalau dibedong. Tuh, tangannya udah keluar lagi," kata Melisa.
Untuk membuktikan ucapan istrinya, Candra meletakkan Xania di kasur dan mulai membongkar kain bermotif kupu-kupu yang menutupi tubuh anak itu. Kedua tangan Xania diluruskan, lalu dibalut dengan kain bedong. Candra mengikatnya di bawah. Namun, beberapa detik kemudian, kain tersebut basah, bahkan tembus sampai bed cover.
"Yaaah, Xania ngompol di kasur kita, Mas."
Sesungguhnya aku udah double update, tapi yang satu lagi ada di Karyakarsa, Ges. Kalian cukup bayar 1000 aja pakai kode voucher XANIACANTIK hanya hari ini untuk 10 orang yang beruntung 💃💃💃
Linknya udah aku taruh di bio. Dan ini preview-nya:
Yang mau baca duluan, ayo gercep ambil vouchernya 💋
Aku mau beralih ke anak-anak yang lain. Udah pada nangis mereka minta dibelai emaknya 🤣
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro