22 - Pertemuan
Sejak pengawal mengatakan Sarina datang dan ayah mertuanya masih ada di sini, Melisa terus merapalkan doa dalam hati. Siapa yang akan tenang dua kubu bertemu di ruangan yang sama? Ini saja Melisa sudah berkeringat dingin. Melisa takut kalau kejadian di sinetron atau novel-novel yang pernah ia baca jadi kenyataan.
Belum ada semenit, si ibu berulah. Pengawal datang lagi, mengatakan kalau Sarina tidak mau masuk kalau Melisa tidak datang menghampirinya. Laaah, ini siapa yang bertamu, siapa yang repot. Dengan terpaksa Melisa menuruti kemauan ibu mertua biar cepat pulang. Di saat seperti ini, kenapa Candra malah sedang tidak ada di rumah?
"Ibu mau berdiri di situ terus? Nggak mau masuk? Mel capek tahu berdiri di sini."
Sudah lima belas menit sejak Melisa menghampiri Sarina di teras, wanita itu sama sekali tidak melangkah. Justru matanya terus memperhatikan para pengawal yang berdiri di depan pintu rumah.
"Mana Candra?" Sarina bersuara untuk pertama kalinya.
"Giliran orangnya nggak ada, dicariin. Pas Mas Candra datang ke rumah, nggak pernah disambut. Mau Ibu apa sebenarnya?"
"Kamu tinggal jawab ibu apa susahnya?"
Melisa mendengkus. Benar-benar Sarina ini menguji kesabarannya. "Mas Candra lagi terbang ke Jepang, udah tiga hari. Kalau Ibu ke sini mau cari Mas Candra, ya, sia-sia. Mendingan Ibu pulang aja."
Sarina melotot. "Kamu berani ngusir ibu?"
"Berani! Kan, ini rumah Mel," balas Melisa tidak kalah sengit.
"Rumahmu? Rumah Candra, lah. Jangan ngaku-ngaku kamu!"
"Apa? Ibu bilang apa barusan? Rumah Mas Candra?" Melisa tertawa keras sembari memegangi perutnya, sampai matanya berair. Tapi, itu hanya sebentar. Melisa mulai mengendalikan diri, lalu berkata, "Ini rumah aku, Bu. Semua berkasnya atas nama Melisa Saraswati. Justru Ibu yang jangan ngaku-ngaku kalau rumah ini punya Mas Candra."
"Ibu nggak percaya!"
"Ya, terserah Ibu kalau nggak percaya. Mel punya buktinya, kok. Ibu mau lihat?"
"Kamu makin berani sekarang. Berani manfaatin Candra. Harusnya kalian itu tinggal di rumah ibu biar Candra nggak dimanfaatin sama kamu."
Melisa menghela napas. Sesungguhnya dia malu percakapan ini didengar para pengawal, tapi mau bagaimana lagi. Sarina susah diajak kerja sama. Disuruh masuk saja sulitnya nauzubillah.
"Bu, bukannya ini udah sepantasnya? Mas Candra melakukan semua ini karena kewajibannya sebagai suami. Apa aku pernah minta? Nggak, lah. Mas Candra sendiri yang ngasih. Harusnya Ibu bangga punya anak yang tidak menelantarkan istrinya."
Menyebalkan sekali, bukan? Datang-datang cuma bikin huru-hara. Apa Sarina tidak malu?
"Ibu ke sini cuma mau tanya rumah ini atas nama siapa? Beneran nggak mau masuk?" Melisa masih baik hati menawarkan Sarina masuk. "Hati itu jangan sering dikasih makan iri dengki, Bu. Nggak baik."
Sarina yang menunjukkan gelagat tidak suka lantas berkata, "Nggak usah nasihati ibu!"
"Ya, terserah Ibu. Emangnya Ibu nggak kasihan sama Mas Candra? Tiap hari datang ke rumah Ibu cuma mau ketemu Ibu, tapi nggak pernah dikasih, kan? Udah, deh, mendingan kita berhenti aja. Damai gitu."
"Wong kamu yang bikin Candra jadi begini! Tuh, malah sekarang rumahmu penuh sama laki-laki."
Melisa tidak goyah sama sekali setelah mendengar itu. Dulu tiga tahun sudah kenyang disalahkan begini. Sekarang bukan apa-apa. "Bu, mereka ini pengawal yang bertugas menjaga menantu dan cucu Ibu tercinta selama anak ibu terkasih pergi kerja. Ibu jangan kuno, deh."
"Kamu selalu begitu. Buang-buang uang! Pengawal ini pasti dibayar, kan?"
"Aduh, susah, ya, ngomong sama Ibu. Mendingan aku masuk aja, kalau Ibu masih mau di sini silakan, tapi nggak ada minum, lho."
Melisa balik badan. Benar-benar akan meninggalkan Sarina di sana. Daripada capek hati, kan? Daripada stress terus ASI-nya jadi macet. Toh, Sarina tidak mau masuk. Melisa tidak perlu susah payah membujuk ibu mertuanya.
Namun, belum sempat kakinya menyentuh lantai, Sintia muncul dari balik pintu. Melisa menahan napas saat itu juga. Sial. Bakal ada drama nggak, nih? Melisa mulai berpikir yang iya-iya.
"Sayang, kok, nggak diajak masuk?" Sintia bersuara, mengundang atensi Sarina.
Melisa menghela napas. Bagaimana mau diajak masuk, wong, Sarina cuma mau sidak siapa pemilik rumah ini. "Ibu katanya alergi sofa busa, Mi. Dia senangnya duduk di kursi goyang, tapi di sini nggak ada."
"Melisa!" seru Sarina.
Melisa kembali menghadap ibu mertuanya. "Oh, ibu mau say hello sama mantan?"
Sarina memicing. "Apa maksudmu? Siapa dia?"
"Itu Mami, ibu sambungnya Mas Candra. Masa, Ibu nggak tahu, sih? Harusnya udah tahu, dong."
Ruangan itu mendadak hening. Yang Melisa lihat, mata Sarina menatap lurus ke arah Sintia. Wajah sang ibu mertua tampak mengeras. Seperti sedang memendam sesuatu. Melisa memang tahu persis apa yang terjadi di antara ibu dan ayah mertuanya setelah mendengar cerita dari Candra. Selama tiga tahun mengenal Sarina, Melisa tahu arti tatapan wanita itu.
Sarina tampak sedang menahan amarah.
Alih-alih menyapa atau masuk, Sarina justru memutar tubuhnya dan melangkah menuju mobil yang diisi Pak Sarto. Melisa sudah menebaknya. Ya, wanita dengan gengsi nomor satu itu tidak akan mau bertatap muka dengan Sintia.
"Sarina!"
Melisa terkejut mendengar suara Hutama yang memanggil Sarina. Dia malah jadi menunggu reaksi Sarina setelah mendengar suara sang mantan.
Langkah Sarina terhenti. Tubuhnya kembali menghadap ke arah pintu rumah. Di sana, berdiri seorang laki-laki yang dahulu pernah mengisi sebagian waktunya, membuatnya memiliki seorang anak lelaki yang cerdas. Laki-laki yang dulu pernah ia rendahkan, sekarang bagai kupu-kupu yang baru saja keluar dari kepompong. Tampak bersinar, mengepak sayapnya dengan indah.
Bukan dirinya yang membuat laki-laki ini menjadi seperti ini, tetapi perempuan yang berdiri di samping laki-laki itu. Sarina tidak terima.
"Kenapa kamu berdiri di situ? Kamu nggak mau masuk? Nggak mau lihat cucu kita?"
Cucu kita. Melisa tertegun mendengar Hutama berkata seperti itu. Setelah banyak rintangan yang dilewati, setelah banyak luka yang Sarina beri, setelah Allah memberikan gantinya berupa Sintia serta anak-anak, Hutama masih menganggap Sarina sebagian dari hidupnya. Ya, memang jelas, ada Candra di antara mereka. Meski dalam ikatan pernikahan sudah terputus, mereka masih saling menyatu karena ada anak.
Akan tetapi, Sarina tetaplah Sarina. Hatinya masih sekeras batu. Wanita itu justru menjauh, memasuki mobilnya, dan pergi begitu saja. Melisa lega karena Sarina tidak berulah, tapi merasa tidak enak dengan Sintia dan Hutama.
"Maaf, ya, Yah, Mi. Ibu kayaknya masih malu-malu ketemu kalian," kata Melisa.
Sintia tersenyum. Bahkan, merangkul Melisa. "It's okay, Sayang."
"Ayah sebenarnya nggak keberatan juga, tapi, ya ... emang begitu watak ibunya Candra. Masih sama kayak dulu," timpal Hutama.
Senyum kedua mertuanya menular ke Melisa. Andai Candra ada di sini, dia pasti juga senang melihat ayahnya begitu terbuka dengan wanita yang dulu pernah memberikan luka.
Makasih udah nungguin.
Kapan-kapan aku bikin part pertemuan Sarina sama mantan pas ada Mas Candra 😆
Atau mau dibikin spesial part?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro