Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

21 - Imunisasi

Hidup terus berjalan, bukan? Martin akan selalu terkenang di dalam hati. Rasa sedih karena kehilangan perlahan terkikis. Candra kembali bekerja seperti biasa. Bulan ini, dia mendapatkan jadwal terbang ke Jepang selama lima hari. Ketika masih lajang, Candra merasa bebas terbang ke mana pun karena ibunya tidak akan peduli. Sekarang setelah menikah dan punya anak, rasanya berat meninggalkan rumah meskipun hanya satu jam. Ditambah jika pergi jauh seperti sekarang ini, Candra jadi ketinggalan momen penting anaknya.

Seperti hari ini, Melisa datang ke rumah sakit dalam rangka imunisasi sekaligus cek jahitan. Dia datang bersama Ambar karena Candra masih berada di Jepang.

Melisa disambut hangat oleh seorang dokter spesialis anak. Namanya Dokter Mira.

"Selamat pagi, Xania! Cantiknya pakai bando pita. Kita periksa dulu, ya."

Melisa lantas meletakkan Xania di bed periksa. Kemudian, Dokter Mira mulai mengukur lingkar kepala, panjang badan, serta berat badan Xania.

"Keren Xania ini. Normal semua, ya. Berat badan juga nambah, nih!" seru Dokter Mira. Melisa terbelalak melihat angka yang tertera pada timbangan. Padahal, Melisa sempat khawatir Xania masih stuck timbangannya lantaran minum susunya belum banyak. Namun, jika diperhatikan memang ada perubahan pada tubuh anaknya. Pipi, tangan, dan kaki Xania mulai berisi.

"Kalau anak perempuan menyusunya memang tidak sekuat anak lelaki, Bu. Jadi, Ibu nggak usah khawatir. Ibu susui sesuai jadwal yang ditentukan. Jangan dikasih tambahan apa pun."

"Berarti berat badannya masih normal, ya, Dok?"

"Masih, Bu. Selama belum menyentuh garis merah ini, Ibu nggak perlu khawatir."

"Oke, Dok."

"Sekarang kita mulai imunisasinya, ya."

Dokter menyingkap pakaian di lengan kiri Xania. Bayi itu terus menatap wajah dokter seolah-olah meminta penjelasan.

"Dokter pinjem tangannya Xania dulu, ya. Nggak sakit, kok."

Awalnya Xania tersenyum, tetapi saat Dokter Mira mulai memasukkan jarum suntik ke lengan bagian atas, anak itu menangis kencang. Melisa segera mendekap Xania setelah Dokter mengeluarkan jarum suntik. Perlahan-lahan tangis anak itu mereda.

"Kalau Xania hari ini lebih rewel dari biasanya wajar, ya, Bu. Karena itu merupakan respons dia menunjukkan rasa sakit di area bekas suntik. Imunisasi BCG memang bisa menyebabkan bayi merasakan kesakitan karena suntikkan di kulit yang penuh dengan saraf reseptor. Nanti di rumah cukup kompres saja kalau demam, terus kasih ASI, dan dekap seperti ini, ya. Jangan lupa tubuhnya dibungkus supaya mengurangi rasa sakit."

"Iya, Dok. Nanti di rumah saya coba."

"Oke. Ke sini lagi bulan depan, ya, Cantik."

Setelah imunisasi, Melisa pindah ke ruangan Dokter Indi. Kali ini, dirinya yang harus diperiksa. Melisa menitipkan Xania sebentar ke Ambar. Memang Melisa memilih waktu yang sama supaya bisa sekalian.

Di dalam ruangan itu, Melisa mulai mengecek tensi dan berat badan. Kalau melihat berat badan Xania senang, Melisa ngenes menyaksikan angka timbangannya sendiri yang belum kembali seperti sebelum hamil.

"Ada keluhan, Bu?" tanya Dokter Indi.

"Itu, sih, Dok, gatal-gatal di bekas jahitannya. Tapi, udah saya kasih krim yang Dokter kasih."

"Coba saya lihat, ya, Bu."

Dokter Indi kemudian menyingkap pakaian Melisa di area perut. "Wah, sudah kering. Memang wajar kalau terasa gatal. Jangan digaruk, ya. Kalau digaruk malah jadi infeksi."

"Iya, Dok."

"Kalau nifasnya bagaimana? Tidak ada keluhan?"

"Nggak ada, Dok. Nggak bikin sakit juga. Warnanya masih sesuai sama yang Dokter bilang."

"Syukurlah. Saya kasih vitamin, ya, Bu. Diminum setelah makan. Ke sini lagi bulan depan, ya, Bu."

"Terima kasih, Dok."

Sampai rumah, Xania dalam keadaan tertidur pulas setelah menyusui. Melisa segera meletakkan bayinya di baby crib, lalu menutupnya dengan kelambu agar tidak ada serangga yang masuk. Pintu kamar sengaja tidak tertutup supaya tangisnya terdengar ketika Melisa di lantai bawah.

Tadi di perjalanan Candra sempat mengirim pesan, seperti biasa minta foto anaknya. Melisa kirim saja jepretan Xania yang terpejam di gendongannya. Balasannya, Candra mengirim foto dua pasang sepatu. Satu ukuran anak-anak, satu lagi ukuran dewasa.

Ayahnya Xania 👨‍👩‍👧: Menurut kamu bagus nggak buat Xania?

Anda: Kayaknya itu muatnya pas Xania udah gede.

Ayahnya Xania 👨‍👩‍👧: Tapi, lucu, Sayang. Makanya aku beli.

Anda: Terus, aku nggak dibeliin juga?

Ayahnya Xania 👨‍👩‍👧: Ada. Baju cantik. Kalo kamu udah selesai nifas, dipake, ya.

Anda: HEH!

Di mobil tadi, Melisa spontan geleng-geleng. Sudah punya anak satu, bapak satu ini masih terobsesi dengan baju cantik. Astaga, memangnya masih pantas? Badan Melisa tidak semulus waktu belum hamil. Melisa tidak yakin apa baju itu akan tetap terlihat cantik dengan tubuhnya sekarang.

Usai memastikan Xania aman, Melisa turun ke dapur. Mengambil buah alpukat dari dalam kulkas. Setelah dicuci, dikupas, dan dipotong, Melisa memasukkan potongannya ke wadah blender.

"Mbak, ada Bu Sintia dan Pak Hutama di depan." Ambar datang dan berkata seperti itu pada Melisa.

"Oh, sebentar." Melisa mematikan blender begitu buahnya halus, lalu dipindahkan ke gelas besar. Karena ada kedua mertuanya, Melisa langsung berinisiatif membuat minum untuk mereka.

Melisa melangkah lebar menuju ruang tamu. Ternyata benar, di sana sudah ada Sintia dan Hutama. Tentu saja dengan para pengawal yang setia.

"Mami, Ayah." Melisa mencium tangan dua mertuanya satu per satu.

Sintia yang melihat Melisa membawa nampan langsung berkata, "Kamu ngapain bikin minum, Sayang?"

"Sekalian, Mi. Mel tadi habis bikin jus."

"Xania mana?" tanya Hutama.

"Xania lagi tidur, Yah. Tadi habis imunisasi."

"Yaah, padahal ayah kangen mau gendong."

"Ish, Papi! Habis imunisasi itu pasti sakit. Jangan diganggu dulu," sela Sintia.

"Yumna sama Yusna nggak ikut?"

"Mereka, kan, lagi sekolah sekarang," jawab Sintia. Kemudian, menunjukkan sebuah paperbag kepada Melisa. "Oh, ya, kemarin mami habis pergi terus liat dress cantik banget. Mami jadi kepikiran beliin buat Xania. Buat hadiah satu bulan Xania."

"Ya ampun, Mi, kalau dikasih hadiah terus, Mel jadi nggak enak."

"Kenapa begitu? Mami seneng, lho, kasih hadiah buat cucu."

Melisa tersenyum kikuk. Sudah tidak terhitung banyaknya barang yang dibelikan Sintia. Dimulai Xania masih di dalam kandungan sampai sekarang. Bahkan, barang-barang tersebut belum pernah dipakai. Sungguh, Melisa jadi tidak enak. Dirinya belum bisa memberikan apa-apa ke Sintia. "Makasih kalau gitu, Mi. Nanti kalau cukup di badan Xania, Mel langsung pakein."

"Mami jadi nggak sabar, deh, ngeliat Xania pakai baju ini!"

Melihat tingkah istrinya, Hutama berkata, "Kayaknya bakal kebesaran di badan Xania kalau dipakai sekarang, dipakai nanti mungkin udah nggak muat."

"Ish, Papi, jangan bilang begitu, lah."

Tiba-tiba saja dari arah pintu seorang pengawal pria menghampiri Melisa. Membuat Melisa, Sintia, dan Hutama menghentikan obrolan.

"Maaf, Bu Melisa, di depan ada ibu-ibu ke sini dan ingin masuk," kata pengawal itu.

"Pakai sanggul?" Melisa langsung bertanya seperti itu. Lagi pula, siapa lagi ibu-ibu yang datang. Ratna tidak mungkin ke sini dan tidak pakai sanggul juga. Sudah pasti itu Sarina.

"Iya, Bu."

"Ya sudah, suruh masuk saja."

"Baik, Bu."

"Siapa, Mel? Kok, dibolehin masuk?" tanya Sintia setelah pengawal itu pergi.

Melisa tergagap. Lupa kalau masih ada Sintia dan Hutama di rumah ini. Seingatnya, mereka belum pernah bertemu, kan? Dia sudah telanjur mengizinkan Sarina masuk.

"Anu, Mi, ibunya Mas Candra yang ke sini," jawab Melisa dan setelahnya, Melisa melihat raut wajah Hutama berubah.


Kita happy-happy lagi, ya. Eh, tapi ada Mbah. Kira-kira Mbah mau ngapain?

Yang belum baca spesial part 3 bisa mampir ke Karyakarsa, linknya udah aku taruh di bio. Dan ada voucher diskon sampai hari ini. Kode vouchernya MASPILOT.

Ini teh serius nggak ada yang mau double update? Cukup komen "mau" aja syaratnya kok 😘

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro