Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

19 - Keajaiban

Melisa menyibak selimut, tidak jadi tidur. Matanya terus menatap punggung Candra yang sejak tadi diam setelah membuka kardus paket dari temannya. Gelagat suaminya itu mengundang rasa penasaran. Melisa beranjak berdiri di belakang laki-laki itu.

"Isinya apa, Mas?"

Sebenarnya tanpa bertanya pun Melisa tahu isinya. Dari bentuknya terlihat seperti perlengkapan tidur bayi. Melisa bersuara karena ingin memancing Candra saja. Normalnya, orang yang habis menerima paket dari teman pasti ekspresinya bahagia, kan? Ini kenapa Candra menunjukkan mimik muka yang lain?

Candra bangkit, memutar tubuhnya menghadap ke Melisa. Matanya menelusuri wajah, tetapi tak lama, tangannya merengkuh tubuh sang istri. Hidungnya menghirup aroma khas dari perempuan itu. Segala penat, kesedihan, sesak yang dirasa perlahan luntur berkat Melisa.

Di dalam kurungan suaminya, Melisa mulai curiga. Kalau Candra lagi begini, berarti ada sesuatu yang menganggu pikirannya. Biasanya, percuma bertanya 'ada apa?' atau 'kenapa?' karena sudah pasti tidak akan dijawab. Melisa hanya bisa menunggu sampai Candra sendiri yang mau membuka suara.

"Orang yang ngasih hadiah ini ... ada di pesawat itu."

Kecurigaan Melisa terbukti, kan? Eh, tapi, barusan Candra bilang apa? Ada di pesawat itu? Seketika Melisa melepas pelukan suaminya. "Apa, Mas?"

"Martin ada di pesawat yang kecelakaan itu. Harusnya kami terbang bersama, tapi ...."

Melisa menggeleng tidak percaya. Ia mendekati nakas, mengambil ponsel. Begitu layarnya menyala, Melisa mencari daftar manifest yang tadi diberikan oleh Sintia. Melisa membaca nama kru pesawat dan berhenti ketika tiba di nama kopilot yang bertugas. Nama itu ... sama persis seperti yang tertera di kardus paket. Ini sulit untuk dipercaya. Yang benar saja!

Kalau tahu Martin ada di pesawat yang celaka, Melisa tidak akan mungkin memberitahu paket itu supaya Candra tidak sedih. Melisa tahu Candra cukup dekat dengan Martin, bahkan laki-laki itu yang membantu Candra menjelaskan waktu masih diganggu pramugari ular itu. Hei, Martin baru saja menikah! Laki-laki itu tampak bahagia setelah berhasil mempersunting istrinya. Ya, memang kematian itu tidak memandang siapa, rupa, dan usia, tapi kenapa harus orang terdekat Candra?

Tidak ingin berlarut-larut, Melisa akhirnya menyuruh suaminya duduk di ranjang. Katanya kalau sedang menghadapi masalah, ganti posisi supaya pikiran tenang. Kalau lagi berdiri, berarti harus duduk.

"Emang beneran ada di pesawat itu, Mas? Bisa jadi kayak Mas, kan? Udah Mas coba telepon?"

"Udah dan nomornya nggak aktif sampai sekarang."

"Bisa aja kayak Mas, HP-nya hilang, terus belum sempat hubungi Mas."

Melisa berusaha berpikir positif. Siapa tahu Martin diberikan keajaiban yang sama seperti suaminya? Tidak ada yang tidak mungkin kalau Allah berkehendak. Martin akan kembali dalam keadaan sehat. Semuanya akan bahagia setelah ini.

"Kalau ternyata Martin beneran ada di pesawat itu, terus dia nggak--"

Ucapan Candra terhenti karena Melisa berhasil mengecup bibirnya. Hening mengambil alih untuk beberapa saat. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Melisa ingin menghibur Candra, tapi takut perkataannya justru melumpuhkan suaminya. Sekarang yang bisa Melisa lakukan hanya memberikan pelukan. Dengan begini, Melisa berharap segala beban di tubuh suaminya terangkat semua.

"Kita berdoa saja, Mas. Apa pun hasilnya nanti, kita emang harus bisa ikhlas, Mas. Mungkin ini jalan yang baik buat Mas Martin. Walaupun menurut kita bikin sedih."

Pagi ini, setelah menyantap sarapan, Sarina tidak sengaja melihat berita kecelakaan pesawat di televisi. Akibatnya, wanita itu yang sejak kemarin mengabaikan sang anak, kini mencoba menghubunginya. Namun, nomor Candra tidak aktif. Sarina mencoba sampai lima kali, tetapi hasilnya sama.

Sebenarnya sejak Candra berhasil menjadi pilot, Sarina memiliki perasaan waswas setiap kali anaknya terbang, apalagi kalau ada berita kecelakaan seperti ini. Akan tetapi, perasaan itu selalu tertutup dengan penghasilan yang dibawa putranya. Menurut Sarina, semuanya setimpal. Keringat serta harta yang terkuras demi menyekolahkan anak itu terbayar lunas, bahkan lebih.

Kini, mereka berjauhan, dan ketika menyaksikan kabar ini, hati Sarina kembali diliputi kecemasan. Hal itu membuat Sarina memanggil Lala yang sedang bekerja di halaman rumah.

Lala datang dengan langkah tergopoh-gopoh, lalu berhenti tepat di sofa merah yang ditempati Sarina. "Iya, Bu, ada apa?"

"Kamu ada pulsa, kan? Telepon Melisa sekarang!"

Perempuan berambut panjang itu mengerjapkan mata. Tidak salah dengar, kan? Sebuah keajaiban, Sarina memintanya menghubungi Melisa. Sepertinya ada hal yang menggangu pikiran Sarina sampai berani mengambil tindakan ini.

"Saya, Bu?" ulang Lala. Takut kalau Sarina ternyata salah sebut nama.

"Iya. Kamu telepon sekarang!"

"Kalau boleh tahu dalam rangka apa, ya, Bu? Saya, kan, nggak mungkin tiba-tiba telepon Mbak Mel tanpa tujuan."

"Itu kamu lihat sendiri di TV!"

Sarina menunjuk layar kaca yang kembali menampilkan berita pesawat jatuh. Melihat berita itu, Lala mulai mengerti sekaligus lega. Sarina pasti ingin tahu kabar anaknya, tapi gengsi masih menguasai hatinya. Makanya minta bantuan Lala walaupun sebenarnya Sarina punya nomor telepon Melisa.

"Baik, Bu. Saya coba telepon sekarang." Lala mengeluarkan ponsel dari saku celana dan mencari nomor Melisa. Begitu sudah ketemu, Lala menekan tanda panggil, lalu menghidupkan pengeras suara.

"Mbak Lala, tumben telepon!" Suara Melisa terdengar beberapa detik kemudian.

"Anu, Mbak ... ini Ibu tadi lihat berita kecelakaan pesawat di TV. Mas Candra nggak ada di pesawat itu, kan, Mbak?"

"Oh, ternyata Ibu yang nyuruh Mbak telepon aku. Kenapa nggak telepon sendiri, sih? Gengsi, ya, telepon menantunya duluan?"

Mendengar itu, Sarina mendengkus. Ia merebut ponsel Lala dari tangan pemiliknya. "Sudah, kamu tinggal jawab Lala tadi apa susahnya?"

"Sabar, dong, Bu. Jangan tegang gitu. Nih, ngomong langsung sama orangnya biar Ibu percaya."

Selanjutnya, terdengar Melisa memanggil Candra. Tak lama, Sarina mendengar suara anaknya di telepon.

"Ibu, Ibu cari aku?"

Sarina justru membungkam mulutnya. Sekali lagi, hatinya masih dibatasi tembok tinggi. Meskipun lega karena masih bisa mendengar suara anaknya. Sarina belum berani mengutarakan semuanya.

"Maaf, ya, Bu, HP aku hilang dan belum sempat ngabarin ke Ibu. Aku tadinya emang ada di pesawat itu, tapi sebelum berangkat, aku tiba-tiba diganti jadwalnya."

"Alhamdulillah, syukurlah Mas Candra masih dikasih kesempatan. Allah baik banget kasih keajaiban buat kita," kata Lala yang ikut senang mendengar perkataan Candra.

"Iya, Mbak. Alhamdulillah. Ibu sehat, kan?"

Sarina masih enggan menanggapi Candra. Lala pun berinisiatif menjawab. "Iya, Mas, Ibu sehat, barusan habis sarapan."

"Bu, dengan kejadian ini, harusnya Ibu bersyukur. Coba kalau Mas Candra ada di pesawat itu, Ibu beneran kehilangan anak kesayangan Ibu. Mumpung Mas Candra masih ada di bumi, jangan gengsi-gengsi gini, dong." Suara Melisa terdengar lagi. Sarina ingin merespons, tapi Candra menengahi.

"Nggak apa-apa kalau Ibu masih belum mau ketemu aku. Nanti kalau udah saatnya, jangan ragu lagi, ya, Bu. Pintu rumah kita terbuka untuk Ibu."

Lala tertegun. Anak sebaik ini, kenapa masih disia-siakan oleh Sarina?


Ayo, Mbah, sadar, dong. Seneng, kan, anaknya masih selamat? 😐

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro