Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

18 - Paket Terakhir


Di saat genting seperti ini, Candra bersyukur Allah memberikan kapasitas otak yang luar biasa kepadanya. Melisa yang tidak pernah mengganti nomor sejak awal bertemu, memudahkan Candra menghubungi istri tercinta. Hatinya tersayat mendengar tangis perempuan yang jarang sedih itu. Di rumah, Melisa pasti terkejut mendengar berita tersebut.

Usai menghubungi istrinya, Candra tidak sepenuhnya lega. Martin ada di pesawat yang dikabarkan menghilang itu. Candra ingin tahu bagaimana kabar Martin serta kru lain. Ketika berhasil membeli ponsel dan kartu SIM baru, dia mulai memantau perkembangan pencarian pesawat sembari menunggu penerbangan berikutnya.

"Manifest pesawat MA-182 sudah dirilis, Capt. Martin menjadi salah satu kru di sana. Lalu, dari tim Basarnas menemukan puing-puing pesawat berada di laut. Kemungkinan tempat jatuhnya di sana."

Candra menggigit bibirnya. Terngiang kembali pertemuan terakhir mereka di bandara beberapa jam yang lalu. Candra masih ingat wajah ceria Martin, bahkan tawa pria itu masih terekam jelas. Seandainya Candra tahu pesawat itu akan mengalami musibah, tentu saja dia akan menghalangi Martin. Seandainya rute mereka sama, pasti dari menara kontrol meminta bantuannya untuk mencari pesawat itu. Sulit rasanya untuk bersyukur atas kesempatan ini. Jika tidak ada perubahan jadwal, sekarang Candra tidak ada di sini.

Merpati Air sendiri merupakan maskapai yang jarang mengalami tragedi. Dalam sepuluh tahun terakhir, maskapai ini hanya mencatat tiga kali kecelakaan. Setiap tahunnya, mereka terus berbenah demi kenyamanan kru serta penumpang. Makanya ketika maskapai ini ada tawaran pekerjaan pilot, Candra tidak ragu mendaftar. Selama hampir enam belas tahun, dimulai dari masa training hingga menjadi pegawai tetap, dan sampai menjadi kapten, Candra jarang mengalami kendala.

Awal mula Candra bertemu dengan Martin ketika masih di sekolah penerbangan. Martin baru saja masuk, sedangkan Candra akan lulus. Lima tahun kemudian, mereka bertemu lagi dan bekerja di maskapai yang sama. Ketika Candra menjadi kapten, mereka sering dipasangkan dan terbang bersama. Menurut Candra, Martin termasuk orang yang disiplin, cekatan, partner yang mudah diajak kerja sama, dan tahu kapan waktunya bercanda dan kapan waktunya serius saat berada di dalam ruang kendali pesawat.

Dalam lingkaran pertemanan, Martin termasuk pribadi yang baik. Candra memilih dekat dengannya karena memang bisa dipercaya. Martin tahu Candra menjadi pilot karena keinginan ibunya, Martin juga yang mengubah cara pandang Candra tentang anak. Yang paling menyakitkan dari semua ini adalah Martin sebentar lagi akan naik pangkat, baru saja menikah, dan rencananya ingin memiliki anak tahun ini.

Kala mendengar kabar ini, sebagai seseorang yang dekat dengan Martin, Candra ingin Martin mendapatkan keajaiban. Walaupun secara teori kecil kemungkinan akan selamat dari kecelakaan pesawat, apalagi ketika kru kabin tidak sempat melakukan prosedur penyelamatan sebelum terjatuh.

Candra juga membaca flight radar. Persis seperti yang dikatakan Melisa, pesawat itu jatuh dari ketinggian 10.000 kaki dalam beberapa detik dengan kecepatan tinggi. Sudah dipastikan mereka tidak sempat melakukan penyelamatan, bahkan bisa saja pesawat meledak lebih dulu sebelum menyentuh air laut saking cepatnya.

Tidak ada yang bisa dilakukan selain menunggu Martin ditemukan entah dalam keadaan utuh atau tidak.

Ini sudah kesekian kalinya Melisa mengintip dari jendela. Candra yang memakai nomor baru mengabarkan sedang dalam perjalanan menuju rumah. Melisa sudah tidak sabar, bahkan berkali-kali mengirim pesan, menanyakan keberadaan suaminya. Melisa tidak mau cuek lagi. Dia harus tahu tiap detik Candra ada di mana.

Ketika telinganya mendengar suara mobil berhenti, Melisa membuka pintu dan keluar. Kakinya melangkah cepat menghampiri sang suami yang baru saja turun dari mobil itu.

"Mas!"

Melisa merengkuh tubuh Candra. Tangisnya kembali pecah membasahi seragam suaminya. Sekali lagi, dia bersyukur karena masih diberikan kesempatan memeluk suami. Melisa tidak bisa membayangkan apa jadinya kalau Candra benar-benar di pesawat yang jatuh itu.

Candra membalas pelukan itu lebih erat. Juga memberikan kecupan di puncak kepala istrinya. "Mel, aku udah bilang nggak boleh nangis."

Melisa mengurai pelukan itu, lalu mencubit kencang perut Candra hingga mengerang kesakitan. "Siapa yang bikin aku kayak gini, hah?"

Candra membungkuk. Tangannya memegang bagian perut yang panas. "Kan, aku udah minta maaf dan jelasin."

"Menurut Mas, itu cukup? Mas nggak tahu dari tadi aku panik gara-gara berita itu!"

Kali ini, Candra menangkup wajah Melisa. Mengusap air mata menggunakan ibu jarinya. "Aku minta maaf, ya. Yang penting sekarang aku nggak apa-apa. Aku nggak ada di pesawat itu. Maafin aku, ya, udah bikin kamu khawatir."

Melisa mengangguk.

"Xania mana?"

"Di dalam sama mami."

"Mami ada di sini?"

"Iya, tuh, pengawal mami masih ada di sini. Mami juga yang tadi datang ke bandara buat cari tahu Mas ada di pesawat itu apa nggak. Terus, tadi juga ada Inayah, tapi dia pulang karena ada urusan."

Barulah Candra sadar ada lima orang pria berpakaian hitam berdiri di sekitar teras rumahnya. Ia sedikit lega Melisa memanggil mereka.

Kemudian, Candra merangkul pinggang Melisa saat memasuki rumah. Setibanya di ruang tengah, melihat Hutama, Sintia, dan Xania, Candra kembali mengucap syukur dalam hati. Allah masih memberinya kesempatan bertemu dengan keluarga dan menyaksikan tumbuh kembang anak ini.

"Ayah kira, waktu kita cuma sebentar," kata Hutama setelah Candra mencium tangannya. Tadi siang ketika Melisa mengabarkan berita itu, Hutama panik luar biasa. Dari rumah, ia dan istrinya langsung meluncur ke bandara.

"Maaf udah bikin Ayah sama Mami khawatir."

"Nggak ada yang perlu dimaafkan. Yang penting kamu di sini, pulang dalam keadaan utuh."

Sintia yang masih menggendong Xania itu mengusap wajah Candra dengan penuh kasih sayang. "Mami nggak bisa bayangin kamu beneran ada di pesawat itu. Kita baru aja ketemu, lho. Mami baru aja ngerasain punya anak laki-laki."

Candra tersenyum tipis. "Maaf, ya, Mi. Makasih juga udah ada di sini temenin Melisa."

Karena Candra sudah ada di rumah, Sintia dan Hutama memutuskan untuk pulang. Setelah kedua orang tuanya pergi, Melisa dan Candra yang menggendong Xania masuk ke kamar.

Xania tetap tenang saat Candra meletakkannya di baby crib. Sebelum pergi, Candra mengecup pipi anaknya singkat. Barulah dirinya masuk ke kamar mandi untuk bersih-bersih.

Sementara itu di ranjang, Melisa memulai kegiatan memompa ASI sambil menunggu suaminya. Matanya sudah berat, kepalanya masih pusing, tetapi Melisa tidak mau melewatkan bagian ini karena kedua dadanya sangat sakit.

Candra keluar dan pada saat yang bersamaan Melisa selesai memompa. Pompa ASI-nya ada dua, jadi Melisa bisa melakukannya secara serentak. Melisa sudah akan merebahkan tubuhnya, tetapi teringat dengan paketan dari teman suaminya.

"Mas, tadi siang ada paket dari Martin Stevan Lukas. Itu teman Mas yang waktu itu aku datang di acara nikahnya pas hamil Xania, kan? Kalau nggak salah dia juga satu maskapai sama Mas, kan?"

Mendengar ucapan istrinya, ingatan Candra kembali terlempar beberapa jam yang lalu. Sebelum berangkat, Martin sempat berkata dirinya mengirim sebuah paket ke rumah. Katanya paket itu untuk Xania.

"Di mana paketnya?"

"Itu sama Mbak Ambar ditaruh deket cermin."

Candra segera mengambil pisau cutter dari nakas, kemudian menghampiri kardus besar paket dari Martin. Ketika kardus tersebut berhasil dibuka, tenggorokan Candra tercekat. Di dalamnya terdapat perlengkapan tidur bayi juga kartu ucapan dalam campuran bahasa Inggris dan Indonesia.

"Congratulations on your new arrival. Good luck with your next great adventure. Capt, semoga masih bisa dipakai, ya. Kalau sudah tidak cukup, simpan saja untuk anak kedua. Hahaha."

Siapa yang mengira kalau Candra akan menerima paket terakhir dari Martin?


Luar biasa wkwkwk

Makasih banyak buat yang udah nunggu. Komen yang banyak dong biar aku up cepet lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro