Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

16 - Gantung

Sudah hampir dua jam Melisa tidak berhenti mengirim pesan ke nomor Candra. Namun, hasilnya selalu sama, ceklis satu. Melisa juga mencoba menelepon, tapi yang jawab mbak-mbak operator dua bahasa itu, bukan suara suaminya.

Anda: Mas!

Anda: Kalau nggak jawab, aku ngambek seminggu, nih!

Anda: Ayahnya Xania 😌🙄🤨😑😐

Anda: Beneran, lho, Mas, aku ngambek.

Anda: Mas Candra.

Anda: Aku belum siap jadi janda anak satu.

Anda: Mas juga belum beliin aku Lamborghini.

Anda: Kita juga belum liburan bertiga.

Anda: Mas belum lihat Xania senyum.

Anda: Bales, ih. Bilang sama aku kalau berita di internet sama TV itu nggak bener.

Anda: Mas!!!

Jempolnya lelah, Melisa memilih membanting benda pipih itu ke kasur. Sudah matanya sakit, perutnya juga ikutan perih. Takut luka operasinya terbuka kembali, Melisa terpaksa menghentikan air mata, padahal aslinya dia ingin meraung-raung kalau berita itu benar.

"Nggak boleh! Mas Candra matinya entar aja kalau udah pensiun jadi pilot." Melisa memukul bibirnya sendiri. Dia memang sudah tahu risiko jadi istri pilot. Candra bahkan sudah berulang kali mengatakan harus ikhlas kalau terjadi sesuatu padanya saat terbang. Tapi, Melisa adalah manusia biasa yang hatinya selembut jelly. Mendengar ada pesawat hilang kontak yang kebetulan nomor penerbangannya sama saja sudah runtuh begini, bagaimana kalau ternyata ....

"Nggak, bukan! Itu pasti orang lain. Kalau emang beneran Mas Candra, dia pasti selamat, kok. Wong, pas turbulensi aja dia bisa benerin." Sekali lagi, Melisa mencoba berpikir positif. Candra tidak mungkin tega meninggalkannya dalam keadaan seperti ini. Mana Xania baru sepuluh hari umurnya, masa jadi anak yatim.

Ngomong-ngomong Xania, anak itu tampak tenang di tempat tidurnya. Sejak tadi, Xania hanya menangis sekali, itupun karena ingin minum susu. Melisa jadi bingung. Biasanya anak kecil akan menangis kalau terjadi sesuatu, kan? Ini Xania malah tidur pulas. Namun, kebingungannya tidak berlangsung lama. Melisa sedikit lega Xania tidak rewel di saat hatinya sedang kacau.

"Gimana, Mel? Udah bisa dihubungi?"

Itu suara Inayah. Dia adalah orang pertama yang Melisa hubungi setelah mendapatkan kabar itu. Melisa tidak mau sendirian, dia mau tetap waras supaya masih bisa mengurus Xania. Aslinya kalau bisa, Melisa mau meluluhlantakkan kamar ini biar emosinya bisa tersalurkan.

"Belum, Nay. Ayah sama mami juga belum hubungi aku."

Selain Inayah, Melisa juga menghubungi Sintia. Wanita itu  mengajak suaminya terjun langsung ke bandara untuk mencari informasi. Sarina? Melisa sempat kepikiran menelepon ibu mertuanya. Namun, niat itu diurungkan. Melisa sudah bisa menebak bukan ketenangan yang dia dapat kalau Sarina ada di sini, melainkan huru-hara. Lagi pula, terlalu cepat untuk mengabari Sarina. Siapa tahu, kan, Candra tidak ada di pesawat itu.

Melisa memijat keningnya ketika nyeri kembali terasa. Sampai kapan dirinya begini? Sampai kapan Candra tidak bisa dihubungi? Rasanya Melisa ingin meluncur ke bandara untuk mencari langsung. Melisa tidak bisa diam saja seperti ini, kan? Melisa tidak suka digantung begini.

"Mel, kamu mau ke mana?" seru Inayah begitu melihat Melisa bangkit dan berjalan menuju pintu. Perempuan itu segera menghalau Melisa yang sepertinya ingin keluar.

"Aku mau ke bandara, Nay. Aku nggak bisa begini terus!"

"Iya, terus Xania gimana, Mel? Kalau dia nangis nyariin kamu gimana?"

Melisa melangkah lagi ke ranjang, duduk di sana. Kedua tangannya menutup wajah.

"Nay, coba kamu bayangin, suami kamu ada di pesawat yang hilang kontak. Kalau pesawat itu jatuh, mustahil untuk selamat, Nay. Keajaiban Tuhan itu satu banding seribu." Melisa jadi ingat berita-berita pesawat jatuh. Rata-rata jatuhnya di laut dan sebagian penumpangnya tidak ada yang terindentifikasi, bahkan ada yang tersisa potongan tubuhnya saja. Melisa tidak siap kalau Candra hanya ditemukan sebagian tubuhnya atau yang lebih buruk ... tidak ditemukan sama sekali.

Inayah yang terenyuh itu lantas duduk di samping Melisa. Tangannya memeluk tubuh temannya itu. "Aku tahu, Mel. Tapi, udah ada mertua kamu di sana. Kamu serahin ke mereka. Aku tahu ini berat buat kamu. Nggak ada yang bisa kita lakukan selain berdoa, Mel. Aku sama kayak kamu, berharap Candra nggak ada di pesawat itu."

Tak mau berlarut-larut dalam kesedihan, Melisa memilih mengangkat Xania dari baby crib-nya. Ia dekap dan cium pipi hingga si empunya terbangun. Mulutnya seketika mencari sesuatu. Melisa tersenyum, tapi matanya berair.

"Ayah kamu jahat banget sama mama. Ngerjain mama sampai mama nangis begini. Kalau ayah pulang, kamu pipisin sama pup di celana ayah, ya. Kamu harus balas perbuatan ayah."

Saat Melisa menempelkan pipinya ke mulut Xania, dia merasakan hangat. Seolah-olah sumber makanannya, Xania menjilat-jilat pipi itu. Melisa tertawa kecil, salah satu tangannya menyeka air mata.

"Kamu tenang aja, mama yakin ayah nggak ada di pesawat itu."

Sekitar dua jam yang lalu setelah bertelepon dengan Melisa, ketika Candra menunggu pesawatnya yang delay, tiba-tiba saja pihak maskapai mengubah jadwal penerbangannya. Harusnya Candra pergi ke Palembang, tetapi dialihkan ke Makassar. Pesawat keberangkatan menuju Palembang dan Makassar berangkat bersamaan pada pukul 14.00.

Penerbangan hari ini cukup lancar. Pesawat mendarat mulus di landasan pacu bandara Sultan Hasanuddin. Setelah pesawat berhenti di apron dan mesin-mesin telah dimatikan, Candra merogoh saku celananya mencari ponsel. Namun, benda yang dicari tidak ada di dalam kantung tersebut. Seingatnya, barang keramat itu sudah ia masukkan ke saku sebelum berangkat.

Karena pesawat akan dibersihkan, Candra memilih turun sambil terus meraba saku celana. Ia juga membuka navigasi bag dan tas berisi bajunya, tetapi ponselnya tidak juga ditemukan. Sudah dipastikan benda itu jatuh atau tertinggal di bandara sebelumnya. Nah, masalahnya kalau benda itu tidak ada, Melisa pasti ngamuk-ngamuk di rumah.

"Captain sepertinya sedang mencari sesuatu," kata seorang laki-laki yang tidak lain adalah Adam. Dia bertugas mendampinginya sebagai kopilot. Mereka tadi keluar bersama.

"Iya. Saya mencari ponsel. Sepertinya jatuh waktu mau berangkat."

"Coba saya hubungi bagian ruang briefing crew, barangkali ponsel Captain tertinggal di sana."

Adam lantas mengeluarkan ponsel dan menyalakannya. Notifikasi mulai berdatangan. Yang membuatnya terkejut adalah berita dari grup.

"Capt! Bukannya ini pesawat yang harus dikemudikan Captain? Pesawatnya hilang kontak setelah lima menit take off!" seru Adam seraya menyodorkan ponselnya ke wajah Candra.

Seketika Candra melebarkan mata. Jantungnya serasa diremas saat membaca berita tersebut. Harusnya dia yang ada di pesawat itu, tapi Allah menyelamatkannya. Allah masih memberinya kesempatan membahagiakan Melisa dan Xania.

Mengingat dua nama perempuan yang dia sayangi itu, hati Candra kembali remuk. Ponselnya hilang dan seingatnya Melisa belum tahu kalau rute penerbangannya berubah. Namun, ada satu lagi yang membuat pikirannya kacau.

"Martin ada di sana!"

"Ya Allah! Innalillahi wa innailaihi rojiun."

Candra masih ingat wajah Martin yang ceria karena jadwalnya tidak berubah. Dia ingin menyusul istrinya yang kebetulan sedang berada di Palembang. Sekarang bagaimana kondisi pesawat itu? Apa sudah ditemukan?

"Adam, boleh saya pinjam ponselnya? Saya ingin mengabari istri saya."


Gimana? Udah lega?

Nggak juga. Martin ternyata yang ada di pesawat itu 😭😭😭

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro