Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13 - ASI Booster

Serangkaian acara untuk merayakan kelahiran Xania tuntas. Kini, rambut hitam lebatnya dipangkas habis. Bayi itu tampak tenang selama acara. Padahal Melisa sempat mengkhawatirkan anaknya rewel lantaran sudah dua malam ini kerap menangis.

Ratna dan Hartanto berencana pulang ke Semarang hari ini. Berhubung tali pusar Xania sudah lepas, Ratna sudah yakin Melisa berani memandikan anaknya. Sebelumnya, Ratna mengajarkan caranya memandikan. Namun, saat dimandikan ibunya, anak itu menangis. Membuat Melisa kebingungan.

"Kok, Xania nangis terus, Ma? Apa aku megangnya kekencangan?"

"Kalau kamu takut, anaknya juga ikutan ngerasain dan nggak percaya sama kamu. Kamu rileks aja. Xania nggak mungkin merosot karena licin. Bak maninya canggih gini. Nggak kayak punya mamanya dulu."

"Jadi ini nggak apa-apa, Ma?"

"Nggak apa-apa. Kamu pegangnya pelan-pelan aja."

Untungnya, Ratna mengikuti perubahan zaman. Ia sadar mengurus bayi zaman dulu dengan sekarang berbeda. Dulu tali pusar diberi berbagai macam ramuan supaya cepat kering. Sekarang seperti itu tidak diperbolehkan. Dulu bayi setelah lahir langsung dimandikan. Sekarang hanya boleh dielap sebelum tali pusarnya lepas.

Ratna membantu Melisa memakaikan baju Xania. Tangisannya melengking mengiringi kegiatan itu. Melisa jadi ikutan sedih. Selama ditangani neneknya, anak ini jarang menangis. Kenapa giliran dirinya Xania seakan-akan menolak?

"Nah, sekarang kamu kasih susu, gih," kata Ratna.

Mendengar itu, nyali Melisa makin menciut. Dia senang dengan kegiatan menyusui, dia ingin menyusui setiap saat. Namun, kendalanya, Xania cepat sekali melepaskan putingnya, seolah-olah tidak mau, padahal Melisa tidak pernah absen menyusui setiap dua jam sekali. Pun Melisa sudah mencoba memompa ASI karena payudaranya terasa sakit.

"Mel, kok, bengong? Ayo, ini Xania mau nyusu."

"ASI Mel kayaknya kurang banyak, deh, makanya sering dilepasin gitu."

"Bukan kurang banyak, tapi udah kenyang. Lambung bayi masih kecil, Sayang. Wajar kalau cepet selesai. Kamu nggak usah khawatir, yang penting kamu rajin menyusui sama rajin pompa."

Melisa mengambil bayinya dan mulai proses menyusui. Ratna masih mengawasi. Ratna tahu anaknya begini karena ada orang yang berusaha menjatuhkan mentalnya. Ya, dua hari yang lalu, Melisa menceritakan semua yang Mutia katakan padanya. Ratna yang mendengar itu turut sedih. Siapa yang mau memilih jalan ini? Bukannya proses kelahiran sama saja rasanya? Yang membuat Ratna tidak habis pikir, yang mengatakan itu adalah seorang perempuan dan istri dokter. Bukannya seharusnya Mutia sudah tahu kenapa Melisa harus operasi darurat?

"Mama sama papa jadi pulang, ya. Kamu kalau masih takut, minta tolong Ambar. Dia pasti mau bantu," kata Ratna seraya mengelus kepala anaknya.

"Iya, Ma. Maaf, ya, aku ngerepotin terus."

"Jangan ngomong gitu. Mama sama papa seneng direpotin kamu. Jangan pikirin omongan orang lain, ya. Kamu itu ibu yang kuat. Kamu harus bahagia biar Xania ikut ngerasain."

"Iya, Ma."

Melisa menunduk. Menatap Xania yang masih semangat menyedot ASI. Melisa tersenyum ketika mata bulat anak itu tidak berhenti memandangi mamanya.

"Kita berjuang sama-sama, ya. Mama janji kasih yang terbaik buat kamu."

Melisa mendengkus seraya menatap botol berisi ASI perah yang hanya mencapai segaris. Entah sudah berapa kali ia mencoba memompa, tapi hasilnya masih sama. Semangatnya perlahan turun.

Pintu terbuka lebar. Menampakkan sosok Candra membawa sebuah kardus berukuran besar yang selanjutnya diletakkan di dekat nakas. Laki-laki itu mendekati Melisa.

"Mas, aku coba pumping tapi hasilnya masih sedikit. Xania juga nangis terus." Melisa membeberkan isi hatinya pada Candra. Tangannya terkulai lemas saat meletakkan botol berisi susu di kasur.

Candra mengelus kepala istrinya. "Ya udah, sekarang kamu istirahat dulu. Gantian aku yang jagain Xania."

"Itu Mas bawa apa?"

"Kamu mau tau sekarang?"

"Emang isinya apa?"

Sebelum menjawab, Candra lebih dulu membereskan alat pompa serta menyimpan susu hasil perah ke dalam lemari pendingin. Setelah itu, dia kembali duduk di samping Melisa.

"Aku tadi konsultasi sama dokter laktasi yang waktu itu bantu kamu IMD. Aku ceritain semuanya keluhan kamu. Terus dokter bilang kamu nggak boleh stres sama izinin kamu minum ASI booster. Tadi aku udah beliin buat kamu."

"Sebanyak ini?"

"Iya."

Melisa terbelalak. Iya, tahu dirinya sangat butuh dorongan dari orang terdekat, tapi ya tidak menghamburkan harta juga. "Itu kebanyakan, Mas. Aku malah tambah stres mikirin gimana cara habisinnya."

"Nggak usah kamu pikirin, Sayang. Kalau kamu ngerasa udah waktunya berhenti, ya, berhenti aja."

"Terus ini kalau nggak habis mau disimpen aja? Eman-Eman, dong."

"Kamu bisa kasih ke orang yang membutuhkan, Sayang. Aku nggak masalah uangku habis buat kamu sama Xania."

Melisa membungkam mulutnya. Mendadak hatinya terharu mendengar perkataan Candra hingga bola matanya memanas. Sebelum air matanya tumpah, Melisa memilih merengkuh suaminya. "Makasih, ayahnya Xania."

Candra mengecup puncak kepala Melisa. "Sama-sama, mamanya Xania. Sekarang kamu tidur."

"Kalau Xania nangis, tolong bangunin, ya."

"Iya."

Melisa melepaskan pelukan itu, lalu mulai mengatur posisi supaya tidurnya nyaman, dibantu oleh Candra. Perlahan, matanya terpejam dan gelap berhasil merenggutnya.

Pada kenyataannya, Candra tidak membangunkan Melisa saat Xania menangis. Dia sendiri yang mengganti popoknya, memberikan ASI perah menggunakan sendok kecil, menepuk punggung anak itu pelan-pelan supaya bisa sendawa. Melisa sama sekali tidak terusik. Saat Xania terbangun untuk ketiga kalinya, barulah Candra membangunkan Melisa karena sudah waktunya menyusui.

"Kok, popoknya udah ganti. Tadi udah bangun, ya?" tanya Melisa.

"Iya, tadi dia udah ngompol."

"Mas tidur aja kalau gitu."

"Nggak mau. Aku mau temenin kamu. Kalau aku tidur, siapa nanti yang sendawain Xania?"

"Ya, aku, lah."

"Nggak boleh kalau gitu. Kamu, kan, nggak boleh banyak gerak dulu, Sayang. Udah, kamu sekarang fokus dulu. Aku tungguin."

Mau tidak mau, Melisa tersenyum. Padahal, melakukan sendawa sambil duduk juga bisa, tetapi Candra masih ingin membantu. Sesungguhnya, ASI booster yang paling manjur adalah dukungan suami. Lagi-lagi dia bersyukur Candra mau terlibat dalam hal apa pun yang menyangkut Xania.

Selesai menyusui, gantian Candra yang mengambil alih tubuh mungil anaknya. Setelah itu, Xania baru diletakkan di baby crib.

"Ternyata malam masih panjang." Melisa menguap. "Nanti bangunin lagi, ya, kalau Xania nangis."

"Mau aku pijat?"

"Aku nggak mungkin nolak, lah. Tapi, maaf, ya, Mas, aku nggak bisa balas pakai plus-plus."

Candra tertawa kecil, tapi tubuhnya yang sudah naik ke ranjang bergerak ke belakang Melisa, dan kedua tangannya mulai memegang bahu istrinya. Ia mulai melakukan pijatan lembut. Mata Melisa sampai terpejam saking enaknya.

"Kalau lusa aku mulai terbang lagi, kamu nggak apa-apa, kan?"

"Nggak apa-apa, Mas. Mas, kan, harus cari uang buat beli pampers Xania."

"Kan, belum dipakein pampers."

"Ya, maksudnya nanti kalau udah boleh pakai. Kan, harus nabung mulai sekarang."

Beberapa menit dipijat, Melisa menyuruh Candra berhenti. Berkatnya, Melisa merasa lelahnya sedikit berkurang.

"Makasih, ya, Mas. Sini, aku kasih hadiah."

Belum sempat Candra membuka suara, Melisa lebih dulu menarik tengkuknya, lalu membungkam bibirnya.


Kasian Mutia, nggak bisa bikin Melisa down lama-lama 🤣🤣🤣

Mau double update nggak?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro