12 - Tidak Sempurna
Ratna dua kali mengalami operasi caesar gara-gara jarak kelahiran dekat. Sementara itu, Sintia mengalami sekali saat melahirkan Yusna. Tidak hanya mereka, para ibu di luaran sana pasti pernah melahirkan secara caesar dan pastinya banyak menerima ungkapan menyakitkan dari orang luar. Harusnya Melisa tidak perlu kaget, kan? Tidak perlu kesal juga, kan?
Perang melawan hati memang sulit. Dari awal Melisa sudah memikirkan semuanya dan sudah tahu bagaimana cara menghadapi mulut-mulut mercon si paling sempurna. Akan tetapi, kenapa prakteknya jauh lebih sulit? Entah sampai kapan persaingan antara kelahiran normal dan caesar akan terus bergulir.
"Ya ... bener, sih, Mbak. Aku malas karena uang suamiku banyak. Dia bisa biayain operasi metode baru itu, lho. Bahkan, bisa bayar ruang rawat inap yang paling mahal. Coba kalau itu dialami sama Mbak pas lahiran Tiara, pasti nggak sesehat aku sekarang. Aku, nih, dua jam setelah operasi udah bisa IMD, enam jam setelah operasi udah bisa duduk, delapan jam setelah operasi udah bisa jalan. Mbak bisa nggak?"
"Tapi, kamu nggak sempurna karena nggak merasakan sakitnya mengeluarkan bayi. Kamu juga nggak bakal disayang lagi sama suami kayamu itu karena punya sayatan di perut. Ya, paling nanti suamimu selingkuh sama pramugari yang kulitnya masih mulus."
Melisa terbelalak. Apa katanya? Tidak merasakan sakit? Itu kontraksi berjam-jam dengan harapan bisa melahirkan normal apa namanya kalau bukan sakit? Terus, saat anestesi, saat bius habis tapi harus bisa bergerak, rasanya nggak karuan, lho!
Terus, apa lagi? Candra selingkuh karena istrinya punya luka bekas operasi? Sepertinya Mutia kebanyakan makan sinetron azab.
Melisa menghela napas. Tidak ada gunanya marah-marah di depan si paling sempurna. Selain membuang energi, dia tidak mau stress. "Nanti, deh, Mbak cobain di kelahiran kedua. Biar Mbak Mutia tahu rasanya dibedah perutnya."
Demi melampiaskan kekesalan yang bercokol di dalam dada, Melisa menyenggol bahu Mutia sebelum pergi. Alih-alih kembali berkumpul bersama keluarganya, dia memilih naik pelan-pelan ke kamar. Menurutnya, dia butuh waktu sendiri. Dengan sepi, Melisa bisa mengeluarkan sesak yang sejak tadi ditahannya.
Melisa berdiri di depan cermin besar, kemudian menyingkap dress dan menurunkan celana longgar. Tangannya meraba perut yang masih terdapat penutup luka. Sebuah sayatan memanjang dari bawah pusar sampai atas bikini, mengukir sebuah sejarah baru dalam hidup Melisa. Xania keluar dari sana. Tempat yang kata Mutia tadi bukan tempat yang sempurna.
Tiba-tiba saja bola matanya memanas, lalu berembun, dan setitik air jatuh membasahi permukaan tangannya. Melisa tidak ingin menangis, tetapi perasaan sulit diajak kerjasama. Mutia benar, dirinya bukan ibu yang sempurna. Dia tidak bisa mengantarkan Xania ke jalan yang seharusnya. Dia membiarkan ketubannya pecah lebih dulu sehingga bayinya harus dikeluarkan segera. Dia tidak berusaha keras.
Pintu terbuka lebar. Melisa segera menyeka air mata dan menurunkan bajunya, lalu membalikkan tubuhnya saat Candra melangkah mendekat.
"Kok, kamu ke kamar nggak bilang sama aku, Sayang? Kamu, kan, nggak boleh naik tangga sendirian."
"Aku udah nggak apa-apa, Mas."
"Iya, aku tahu, tapi, kata dokter kamu—-"
"Mas, bisa nggak jangan perlakukan aku kayak orang sakit? Aku udah nggak apa-apa!"
Candra terkejut mendengar suara istrinya naik. Dia juga baru menyadari kedua mata Melisa tampak merah. "Sayang, kamu kenapa?"
"Aku nggak apa-apa ...."
Jawaban yang berbanding terbalik dengan situasi Melisa. Perempuan itu menutup wajahnya dengan kedua tangan. Menghalau air mata yang lagi-lagi mendesak. Ketika Candra memeluk tubuhnya, tangis Melisa makin deras.
Candra mengusap punggung istrinya. Kepalanya penuh dengan pertanyaan. Apa yang membuat Melisa berubah sedrastis ini? Sebelum ke kamar mandi, Melisa tampak baik-baik saja. Istrinya masih ceria.
"Maafin aku, Mas ...."
Kening pria itu berkerut. "Kamu minta maaf buat apa, Sayang?"
"Aku bukan ibu yang sempurna buat Xania."
"Siapa yang bilang begitu? Kamu hebat, kamu sempurna."
"Kalau sempurna nggak mungkin di operasi darurat, Mas ...."
Ketakutannya kini menjadi nyata. Candra yakin Melisa tidak mungkin berpikiran seperti ini kalau tidak ada pemicunya. Yang menjadi pertanyaannya, siapa yang berani melakukan ini pada Melisa?
"Sayang, operasi itu dilakukan biar kamu sama Xania selamat. Orang tua mana yang mau anaknya kenapa-napa? Nggak ada, Sayang. Kamu udah melakukan sesuatu yang hebat. Kamu berhasil mengantarkan Xania ke dunia."
"Tapi, Mas, badan aku nggak balik kayak dulu lagi. Aku masih gendut sekarang."
Candra mengecup kening istrinya. "Aku nggak peduli. Kamu bisa habiskan uangku untuk perawatan. Aku pastikan lukanya sembuh tanpa bekas," ucapnya, lalu menangkup wajah Melisa yang basah. Jempolnya menyeka air mata. "Jangan nangis lagi, ya. Jangan mikir apa pun. Aku masih sayang sama kamu."
Melisa menyedot ingusnya. "Kok, aku jadi cengeng gini, ya."
"Itu normal, Sayang. Sekali aja, ya. Habis ini, kamu harus ceria lagi."
"Xania mana, Mas?"
"Masih di bawah. Kamu di sini aja, biar aku yang bawa Xania."
Pada saat yang bersamaan, pintu kembali dibuka dan menampakkan Xania digendong oleh Sintia. Wanita itu melebarkan mata melihat Melisa menangis.
"Sayang, are you okay? Ada yang sakit?"
Melisa menggeleng. Tersenyum kikuk. "Nggak, Mi. Tadi cuma sedih sedikit."
"Kalau ada sesuatu, jangan sungkan cerita sama mami, ya. Mami mau kamu nggak ada yang ganjal, biar Xania juga senang."
Mata Melisa berkabut lagi. Bersyukur karena dikelilingi orang-orang baik di saat ada masalah seperti ini. "Makasih, Mi."
"Ini Xania kayaknya mau minum susu."
Sintia lantas menyerahkan Xania kepada ibunya. Kemudian, Melisa membawanya duduk di pinggir ranjang. Candra membantu menyusun bantal di dekat perut.
"Mas, Mami, bisa nggak aku ditinggal berdua aja sama Xania," kata Melisa sebelum membuka kancing bajunya.
"Beneran kamu nggak apa-apa?" tanya Candra.
"Nggak apa-apa, Mas. Aku mau quality time sama Xania."
Sintia yang mendengar itu tersenyum juga waswas. Dulu, dirinya pernah merasakan hal yang sama seperti Melisa. Mood kacau setelah melahirkan memang benar adanya. Tapi, mau bagaimana lagi, Melisa inginnya ditinggal berdua. Sintia harus menghormati itu.
"Ya sudah, mami tinggal, ya."
Sebelum pergi, Candra sempat mencium kening Melisa dan menyentuh pipi Xania. Barulah dia dan Sintia jalan sejajar meninggalkan kamar.
"Kamu sudah tahu tentang baby blues, kan?" tanya Sintia saat kakinya menuruni satu tangga.
"Udah, Mi. Makanya saya masih cuti karena takut hal itu juga terjadi pada Melisa."
"Berarti kamu juga sudah tahu, kan, kalau baby blues nggak ada dialami ibu, ayah juga bisa."
Candra mengangguk. "Iya, Mi."
Sintia kemudian menepuk bahu anak sambungnya itu. "Kalau kamu merasa ada sesuatu yang menggangu pikiran, jangan sungkan ngomong ke mami atau ke ayah kamu, ya. Kalau dipendam sendiri nanti jadi penyakit. Mami sama ayah kamu selalu berdiri di belakang kamu."
Huaaa aku masa ikutan nangis 🥺
Semangat Mbak Mel, hempaskan mulut-mulut julid.
Yang punya Karyakarsa dan mau baca spesial chapter-nya, bisa copas link ini.
https://karyakarsa.com/pesulapcinta/hi-little-captain-special-part
https://karyakarsa.com/pesulapcinta/hi-little-captain-special-part-2
Murah kok, cuma 20 kakoin kalian bisa nikmati spesial chapter-nya ❤️
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro