11 - Kangen Ribut
Senang dan cemas. Dua rasa menyergap Melisa setelah mendengar ucapan suaminya. Senang karena akhirnya Sarina datang. Melisa tahu Candra selalu berusaha. Setiap malam dia selalu bertanya kenapa ibunya tidak merespons, kapan ibunya luluh. Sekarang giliran muncul, Melisa juga merasakan cemas.
"Coba video call, Mas. Bisa aja ibu halu." Melisa memberi usulan. Bukannya tidak percaya, namanya di chat, kan, bisa saja bohong. Apalagi pelakunya Sarina.
Candra menurut. Dia mulai menekan tanda video di kanan atas. Tanpa menunggu kama panggilannya diterima Sarina. Melisa mengintip. Gambar menampilkan sosok wanita bersanggul sedang berdiri di depan gerbang rumahnya. Oke. Sarina tidak berbohong rupanya.
"Kamu di mana? Ibu mau masuk nggak boleh!"
Ah, suara itu, sudah berapa bulan Melisa tidak dengar? Pertemuan terakhir mereka memang momen paling menyebalkan, tapi namanya tiga tahun sudah bersama, lalu sekarang berpisah, ada, lah, kangen-kangen sedikit. Melisa kangen balas kata-kata racun mertuanya.
"Aku masih di rumah sakit, Bu. Ibu kenapa nggak bilang dulu kalau mau ke rumah?" Candra yang menjawab pertanyaan ibunya.
"Ngapain kamu masih di rumah sakit?"
"Ya, Melisa masih rawat inap, Bu."
"Kenapa masih dirawat? Ibu dulu waktu melahirkan kamu sehari langsung pulang."
Melisa ingin membalas, tapi Candra langsung mencegahnya.
"Bu, Melisa kemarin operasi, wajar kalau sampai sekarang masih di rumah sakit."
"Operasi katamu? Dari dulu kerjaan Melisa cuma buang-buang uang. Itulah akibatnya kalau malas-malasan, nggak mau makan sayur sama buah, melahirkan saja harus dioperasi. Mana bayinya kecil. Nggak pernah disusui apa gimana!"
Kalau situasinya normal, mungkin Melisa akan mengabaikan ucapan Sarina ini. Masalahnya, siapa yang mau melahirkan caecar? Kalau bisa, ya, normal saja supaya cepat sembuh, supaya bisa mengurus bayinya sendirian, supaya tidak merepotkan keluarganya. Kalau manusia merasa paling sempurna ya begini ini. Ada noda setitik aja bisa jadi masalah besar.
Untung, ya, yang bilang begitu adalah Sarina. Melisa sudah hafal tingkahnya.
"Daripada Ibu, bikin anak cuma buat investasi masa depan." Melisa sudah tidak kuat menahan mulutnya. Nyinyir harus dibalas nyinyir. Walau sekarang lagi gendong anak.
"Mel." Candra menegur istrinya, tapi Melisa tidak mau kalah sebelum berperang. Enak saja!
"Lho, anak itu ya harus jadi seperti apa yang orang tua mau, to?"
Andai, ya, ini lagi saling berhadapan, Melisa rasanya ingin melempar batu ke wajah Sarina. Katanya apa? Harus jadi apa yang orang tua mau? Sepertinya Sarina perlu rebounding kepala. "Bu, berbulan-bulan ditinggal itu tobat, bukan malah makin nyinyir. Inget umur, Bu. Kirain ditinggal mau lurus pikirannya, malah makin bengkok. Udah punya cucu, nih."
"Halah, punya anak nggak becus. Masa masih kecil gitu!"
"Bu, namanya baru lahir, belum ada seminggu, masa langsung naik sepuluh kilo. Bahaya, dong."
Awalnya Candra sempat khawatir Melisa akan tersinggung dengan ucapan ibunya, biar bagaimanapun istrinya baru saja merasakan adaptasi dengan status barunya. Namun, sepertinya ia tidak perlu cemas. Melisa yang dulu tidak akan pernah berubah.
Telepon akhirnya diputus secara sepihak oleh Sarina, tanpa meninggalkan kata. Melisa merasa menang untuk kesekian kalinya.
"Gemes, deh, sama ibu. Nggak ada niatan mau tobat gitu?" gerutu Melisa. "Untung kita nggak tinggal di sana lagi. Kasian Xania deket-deket sama nenek yang nyinyir."
"Kamu kangen, ya, sama ibu?"
"Kangen ributnya iya! Kalau mukanya, ogah!"
Candra tertawa.
Setelah dikonfirmasi, ternyata memang ada salah satu pengawal yang menemui Sarina. Namun, karena di rumah tidak ada siapa pun, pengawal tersebut tidak berani mengizinkan Sarina masuk.
Kini, Melisa dan Xania tiba di rumah. Tentu saja para om dan tante menunggu di sana. Yang membuat Melisa kaget adalah kedatangan Ryan dan Ahsan. Tapi, ada juga yang membuatnya sebal, kakak tertuanya itu datang bersama istrinya.
"Bang Ryan, kok, bisa pulang?"
"Bisa, dong. Kan, punya uang. Tinggal beli tiket, terus meluncur. Kalau nunggu tiga bulan lagi, keburu bisa jalan keponakan aku."
"Mana ada bayi tiga bulan bisa jalan, Abang."
"Abang boleh gendong Xania, kan?"
"Boleh, tapi, jangan dicium."
"Beres."
Ryan lantas mendekati Tiara yang duduk di sofa sambil memangku Xania. Sejak kedatangannya, Tiara tidak berhenti minta pangku adik bayi. Tentu masih diawasi oleh Ratna dan Ahsan. Mereka semua lantas berkumpul di ruang tengah.
"Gantian sama om, ya?"
"Nggak mau!"
"Yah, om mau gendong juga."
"Nggak boleh!"
"Mas, kasih Tiara adik, dong, biar Xania nggak jadi rebutan," kata Ryan pada sang kakak.
Ucapan itu mengundang rasa penasaran Tiara. "Emang Papa bisa kasih Tiara adik bayi?"
"Bisa banget! Kamu tinggal bilang mama sama papa kamu, langsung jadi."
"Jangan ngomong gitu ke Tiara!" Mutia yang duduk di seberang bersuara.
"Lah, emangnya kenapa? Serius amat jadi orang," balas Ryan.
Candra dan Hartanto yang sedang kepulangan Melisa mengurus persiapan akikah akhirnya muncul, bergabung dengan istri dan anak-anak.
"Kamu ini pulang nggak ngabarin papa sama mama dulu," kata Hartanto pada Ryan.
"Kalo bilang nggak jadi kejutan, dong." Ryan menoleh ke arah Candra. "Selamat, ya, Mas. Selamat menunaikan ibadah puasa juga."
Ahsan tertawa mendengar itu. "Tau dari mana kalau Mas Candra puasa?"
"Ya, kan, ibu-ibu habis melahirkan itu ada masa nifas. Dulu waktu Mas Ahsan baru punya anak, papa bilang gitu ke Mas. Kalau Mas Candra puasanya berapa hari?"
"Kepo," seloroh Hartanto.
"Pa, ini namanya riset biar pas aku berumah tangga nggak kaget. Pasti ada yang bedanya, kan, puasa habis melahirkan normal sama operasi?"
"Sama aja, Ryan. Sama-sama lama. Cuma kalau operasi itu harus nunggu lampu hijau dari dokter dulu." Ahsan menjelaskan.
"Biasanya berapa lama, Mas?"
"Ada yang empat bulan udah boleh, ada yang enam bulan baru di-oke-in. Intinya kalau luka dalam sama luar udah bener-bener kering, dokter udah pasti mengizinkan. Nah keringnya berapa lama itu tergantung kondisi fisik serta aktivitas si ibu."
Ryan manggut-manggut. "Tuh, Cabe, dengerin kata Mas Dokter kesayangan kita. Jangan petakilan dulu kalau belum sembuh."
Ryan berkata seperti itu di saat Melisa baru saja berdiri dari posisi duduknya. "Nah, kan, baru dibilangin. Mau ke mana kamu?"
"Mau pipis. Abang mau ikut, terus ma liat bekas operasinya?"
"Makasih tawarannya, Dek. Kayaknya nggak dulu."
"Aku antar, ya," kata Candra.
"Nggak usah, Mas. Aku pipis di kamar mandi bawah, kok."
Melisa lantas berjalan pelan menuju kamar mandi yang letaknya di dekat dapur sembari memegangi perutnya. Sesampainya di tempat itu, Melisa masuk dan mulai membuang hajat. Harus hati-hati supaya tidak menimbulkan sakit pada bekas lukanya. Setelah itu, ia beranjak dan membuka pintu. Matanya terbelalak saat melihat wajah kakak ipar.
"Mbak, ngapain di sini?"
"Aku mau pakai kamar mandi juga."
"Kan, ada di sebelah ruang tamu. Kenapa harus nungguin di sini?"
"Ini yang paling deket."
Melisa mendengkus. "Ya udah, minggir. Mau lewat!"
"Susah, ya, jalannya? Makanya jadi ibu itu jangan males. Kamu pilih operasi karena nggak mau susah payah ngeluarin bayi, kan? Padahal bayi kamu kecil, tuh. Harusnya bisa, dong."
Tadi Sarina, sekarang Mutia. Ini dua orang kenapa sama-sama membuat Melisa kesal?
Hahaha udah muncul si Mbah. Waktu dan tempat aku persilakan 😂
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro