Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

100 - Bukan Sempurna, Melainkan Terbaik [END]

Berhubung ini terakhir, ada yang berani kasih banyak komen?

2600 word ini. Kalau masih merasa kependekan ya maap 🤧

***

Semua telah direncanakan. Melisa akan melakukan operasi caesar pada minggu ke-34 karena dua bayinya berada di dalam satu kantung ketuban dan satu plasenta. Karena sudah tahu tanggal kelahiran anaknya, persiapan mulai dilakukan, seperti mengemasi barang-barang yang akan dibawa ke rumah sakit, menghubungi Ratna dan Sintia, dan Melisa istirahat total di rumah. Candra pun masih berani menerima jadwal penerbangan ke luar negeri sebab mengira anak kedua akan lahir sesuai rencana.

Akan tetapi, sayangnya rancangan Allah selalu di luar prediksi manusia. Pada minggu ke-33 alias pagi ini, Melisa merasa pakaiannya basah setelah bangun tidur dan ternyata air ketubannya pecah. Melisa pun dilanda panik lantaran Candra baru saja berangkat ke Sidney dan akan di sana selama tiga hari, sementara Ratna dan Sintia juga belum datang. Akhirnya dibantu Ambar, Lala, dan Tejo, Melisa berangkat ke rumah sakit. Xania ditinggal berdua dengan Sarina. 

Sampai di rumah sakit, Melisa melakukan serangkaian pemeriksaan dan harus puasa. Setelah itu, sebelum dibius, Melisa menghubungi keluarganya, terutama Candra. Tidak lupa meminta doa supaya operasinya berjalan dengan lancar. Sekitar pukul sepuluh pagi, Melisa masuk ke ruang operasi tanpa didampingi siapa pun. 

Setelah perut Melisa dibedah, dokter menunjukkan bayi pertama dengan tangisan melengking. Selang sepuluh menit, bayi kedua lahir tetapi tanpa terdengar tangisannya. Melisa sempat drop karena banyak kehilangan darah sehingga cukup lama berada ruang pemulihan, sementara bayi kembarnya dimasukkan ke inkubator lantaran ada masalah dengan pernapasannya. Melisa juga tidak bisa melakukan inisiasi menyusui dini untuk kedua bayinya. 

Pukul 3.00 sore, Sintia dan Hutama tiba lebih dulu, sedangkan tiga jam kemudian, Ratna datang bersama Ryan. Kondisi Melisa berangsur membaik, sudah dipindahkan ke kamar VVIP. Hanya saja, dia belum boleh bertemu dengan kedua anaknya. Si kembar masih berusaha bernapas menggunakan alat, dipantau oleh dokter anak.

"Xania sama siapa, Nak?" tanya Ratna. 

"Sama Mbak Lala, Mbak Ambar. Mereka pulang setelah mami datang."

"Kamu sendiri gimana?" 

Melisa tersenyum tipis, berusaha menegakkan tubuhnya, tapi akhirnya dibantu Ratna. "Udah mulai cenut-cenut lukanya, tadi sama suster udah dikasih obat. Terus besok pagi, aku udah boleh lepas kateter."

"Kamu udah makan?" 

"Udah, Ma."  

Melisa kembali mengubah posisi tubuhnya saat nyeri datang. Nyerinya memang tidak separah sebelumnya, tetap saja rasanya tidak nyaman.

"Ma, bisa minta tolong cabutin HP aku di nakas. Mau telepon Xania."

"Oke, sebentar." 

Ratna mendekati nakas, mencabut ponsel dari pengisi daya, kemudian melangkah lagi ke arah ranjang Melisa. Begitu ponsel di tangannya, Melisa mengucapkan terima kasih. 

Melisa mencari nomor Ambar, kemudian menekan tombol panggilan video. Cukup lama menunggu sampai akhirnya Ambar menerima telepon Melisa. 

"Maaf, Mbak. Tadi saya lagi di belakang." 

Perempuan itu tidak berbohong. Rambut bagian depan serta wajah Ambar tampak basah dan barusan Ambar menyekanya.

"Xania mana, Mbak?" 

"Oh, ada di depan, Mbak. Belum mau tidur."

"Tolong arahin ke dia, Mbak." 

Ambar kemudian melangkah. Dari layar, terlihat perempuan itu pindah ke ruang tengah. Setibanya di sana, Melisa bisa melihat keadaan ruangan yang dipenuhi dengan mainan-mainan Xania. Anak itu tampak sedang asyik memainkan dadu bersama Sarina. Saat Ambar mengatakan 'mama telepon', Xania langsung melepas mainannya dan berlari ke arah Ambar.

"Mama! Mama!" 

Melisa tersenyum setelah wajah Xania muncul di layar. "Halo, Kakak. Kok, belum bobo?" 

"Mama, nini!" 

"Kakak malam ini tidur sama Mbak Ambar dulu, ya. Mama masih di rumah sakit sama adik. Sekarang Xania udah resmi jadi kakak." 

"Akak Yaya!" 

"Iya, Kakak Yaya. Besok ke sini, ya, lihat Adik."

"Adik! Mama!"

"Iya, Kakak. Besok Kakak ke sini, ya, lihat Adik. Sekarang Kakak tidur, ya, sama Mbak Ambar."

"Emoh, Mama!" 

"Kok, nggak mau? Kan, mama lagi di rumah sakit, ayah lagi kerja. Tidur sama Mbak Ambar, ya."

Xania tidak fokus lagi dengan mamanya. Anak itu malah beralih menarik kereta dorong bonekanya. Melisa memanggil pun tidak ada sahutan. Namun, Melisa bersyukur Xania tidak rewel, padahal sejak tadi dia terus memikirkan anak ini.

"Tolong tidurin Xania, ya, Mbak. Terus besok pagi ajak ke sini."

"Emang boleh, Mbak? Terus udah bisa ketemu adiknya?" 

"Kalau sebentar boleh, Mbak. Lagian aku di ruang VVIP. Belum ketemu, sih, tapi aku yang kangen Xania."

"Ya udah, Mbak, nanti saya tidurin Xania. Mbaknya juga istirahat."

Melisa mengangguk. Setelah itu, telepon diputus oleh Ambar. Belum ada semenit, ponsel Melisa berdering nada telepon. Rupanya Candra yang telepon.

"Sayang, kok, tadi kamu di panggilan lain?" 

"Iya, Mas, tadi aku telepon Mbak Ambar, mau lihat Xania." 

"Gimana keadaan kamu, Sayang? Kata mami, kamu sempat pendarahan banyak."

"Aku baik-baik aja. Ya, emang sempat ada kejadian, tapi aku nggak apa-apa sekarang. Malah katanya besok udah boleh lepas kateter, terus latihan jalan. Sebentar lagi aku sehat."

Melisa benar-benar menjelaskan keadaannya saat ini dan memasang senyum supaya Candra tidak khawatir berlebihan. Namun, rupanya itu tidak cukup. Melisa melihat mata suaminya berkaca-kaca.

"Mas, jangan nangis. Aku beneran nggak apa-apa. Dokternya hebat banget!" 

Candra menyeka sudut matanya menggunakan tangan. "Habis ini kamu jangan hamil lagi, ya. Udah cukup tiga anak aja. Kamu juga nggak usah KB. Nanti kayak dulu kamu diem-diem lepas."

Melisa ingin tertawa mengingat tindakan bodohnya demi Xania hadir. Namun, dia tahan karena paham perasaan Candra. Dia pun mengulum bibirnya. "Iya, Mas. Silakan kalau Mas mau vasektomi."

Keesokan harinya, Ambar benar-benar datang ke rumah sakit membawa Xania. Tidak hanya bersama Xania, ternyata Sarina ikut serta. Melisa yang baru saja selesai belajar jalan itu tidak menyangka ibunya akan datang.

"Adu, adu, ini siapa yang nguncir rambut Kakak?" Melisa mengelus kepala putrinya. 

"Mbah!" 

Saat itu juga, Melisa melirik Sarina yang memasang raut wajah datar sejak kedatangannya. Padahal, di sini tidak ada Sintia dan Hutama. Mereka sedang pergi mencari sarapan. 

"Mama! Aik!" Xania yang sudah turun dari gendongan Ambar berseru minta naik ke ranjang Melisa. 

"Kakak boleh naik, tapi jangan deket-deket mama, ya. Jangan jalan-jalan juga. Mama lagi sakit perutnya. Mama lagi nggak bisa gendong Xania."

"Atit!" 

"Iya. Lagi sakit."

"Adik, Mama!" 

"Adik udah nggak ada di sini, Kakak. Adik lagi di kamar lain."

"Mama, aik!" 

Melisa lantas menyuruh Ambar mengangkat Xania ke ranjangnya. Untung masih cukup kalau untuk Xania. Setelah berada di dekat mamanya, anak itu memperhatikan telapak tangan Melisa yang terdapat plaster dan gelang rumah sakit. 

"Mama, nini." Xania menyentuh plaster itu menggunakan jari telunjuknya. 

"Ini plaster namanya. Tangan Mama habis diinfus." 

"Mama, nini." Kini, Xania menyentuh gelang di pergelangan tangan mamanya. 

"Ini gelang. Coba ini gelangnya warna apa?"

"Pink!"

Melisa tersenyum. "Pinternya anak mama!"

"Mama au." 

"Nggak bisa. Ini punya mama. Kalau dipegang, boleh." 

Akhirnya Xania memeluk lengan mamanya, tiduran di samping Melisa tanpa melepas genggaman pada gelang itu. Melisa mengelus rambut Xania yang dikuncir mirip air mancur itu. Melisa baru ingat belum mengucapkan terima kasih pada Sarina.

"Makasih, ya, Bu, udah mau ngurus Xania."

Sarina melengos. Tidak mau menatap sang menantu. 

"Aku udah nggak apa-apa, Bu. Tadi baru aja bisa jalan dan ke kamar mandi sendiri. Kalau si kembar masih di NICU, tapi katanya ada yang udah boleh keluar dari sana." Melisa menambahkan. Ya, meskipun tidak ditanya.

Beberapa saat kemudian, dua orang suster muncul. Salah satunya mendorong box berisi salah satu bayi Melisa.

"Selamat pagi, Bu Melisa! Salah satu bayinya berhasil bernapas tanpa alat, jadi mulai saat ini dia sudah bisa menyusui langsung. Apa Ibu sudah siap?" 

"Sangat siap, Sus!" jawab Melisa. Lalu, meminta tolong mamanya mengambilkan bantal menyusui. Karena tangannya masih dipeluk Xania, Melisa lantas melepaskan gelang rumah sakit supaya perhatian Xania teralihkan. Akan tetapi, saat bantal diletakkan di dekat perutnya, Xania tiba-tiba merebahkan kepalanya di sana. Ratna dan Ambar seketika panik karena takut menyenggol luka caesar

"Ini buat Adik, Sayang. Kakak geser sedikit, boleh?"

"Adik, Mama!" 

"Itu Adik ada di dalam box."

"Adik, Mama!" 

Suster lantas membuka tirai yang menutup box itu, lalu mengangkat tubuh mungil yang terbungkus kain bedong berwarna biru muda dan kepalanya tertutup topi kuning. Setelah itu, bayinya diletakkan di dekat dada Melisa.

"Ini yang pertama keluar, ya, Sus?" tanya Melisa. 

"Iya, Bu. Yang ini ketika oksigen dilepas, dia bisa beradaptasi. Namun, saat menangis, saturasinya menurun sehingga dokter memutuskan untuk tetap dipasangi alat sampai saturasinya normal. Sementara yang satu lagi, masih harus menggunakan alat, Bu, dan dipantau dokter."

Melisa mengangguk paham. Ini akan menjadi pengalaman terbaiknya selama menjadi ibu. Memiliki anak yang lahir prematur tentu akan membutuhkan waktu dan tenaga yang banyak. Lagi-lagi dia bersyukur anak yang pertama sudah boleh keluar. 

"Halo, Sayang. Adik yang pertama hebat udah bisa keluar ketemu mama. Kenalin, ini mama." Melisa menyentuh pipi merah bayinya untuk pertama kali, lalu ke kelopak mata, hidung, dan mulut. Semuanya mirip Candra. Semoga di bayi yang kedua ada kemiripan wajah dengan mamanya. 

"Mama!"

Melisa menoleh ke arah Xania yang melongo melihat makhluk mungil di pelukan mamanya. "Ini adik. Kakak mau pegang?" Melisa membimbing tangan Xania mengelus tubuh adiknya.

"Halo, Adik. Coba bilang?" 

"Adik!" Xania memamerkan enam giginya. Tangannya kembali menyentuh tubuh adik. Setelah itu, tiduran lagi di bantal yang harusnya jadi penyangga selama menyusui. 

"Kakak anteng, ya. Boleh tidur di sini, tapi jangan bergerak, ya." 

Untungnya Xania memahami ucapan Melisa. Anak itu benar-benar tidak bergerak selama Melisa mencoba menyusui.

Begitu sampai di Jakarta, Candra langsung berangkat ke rumah sakit. Dia sudah tidak sabar untuk melihat kondisi Melisa dan anak-anaknya. Tiga hari di Sydney sangat menyiksa. Dia bahkan menolak ajakan teman satu krunya jalan-jalan mumpung di luar negeri.

Ketika membuka pintu kamar inap istrinya, Candra melihat Melisa keluar dari toilet sendiri, perasaannya membuncah. Segera saja dia menghampiri istrinya, merengkuh tubuhnya. 

"Mas, aku kaget tahu! Kalau jahitannya lepas gimana?" 

Sontak Candra melepas pelukannya, memasang wajah cemberut. "Kamu jangan nakutin aku." 

Melisa menahan senyum, lalu mencubit pipi suaminya. "Untung nggak ada orang."

"Ke mana semuanya?" 

"Aku suruh makan di luar. Kasian, kan, kalau di sini."

Candra memeluk Melisa lagi. Kali ini pelan-pelan. "Kamu hebat, Sayang. Aku bangga punya kamu." 

Senyum merekah di wajah Melisa yang kini sedang mengelus punggung suaminya. "Mas juga hebat bisa sampai sini. Aku yakin Mas mikirin aku dan anak-anak, tapi Mas tetep berhasil bawa pesawat dengan baik." 

Setelah dua menit berada di posisi itu, Candra mengurai pelukannya, lalu mengangkat tubuh Melisa dengan hati-hati. "Kamu harus istirahat biar cepet pulang." 

Melisa memukul dada Candra. "Aku bisa jalan sendiri!"

"Sst! Ini sebagai ganti aku yang nggak temenin kamu waktu operasi. Kamu harus nurut." 

Kalau begitu, Melisa mana mungkin menolak. Dia biarkan suaminya menggendongnya sampai tempat tidur, padahal jarak antara ranjang dengan toilet cukup dekat.

"Mas udah makan? Kalau belum, Mas nyusul mereka aja." 

Candra menggeleng. "Aku di sini buat nemenin kamu, bukan makan, apalagi jalan-jalan."

"Ya udah, kalau gitu pijitin aku, dong. Aku mau nyoba mompa ASI."

Selanjutnya, Candra berdiri di sisi ranjang, sedangkan Melisa duduk tegak dan tangannya mulai mengoperasikan alat pompa ASI. Setelah melepas dua kancing bajunya, Melisa menempelkan alat berbentuk corong itu di kedua payudara. Usai terpasang sempurna, Melisa menekan tombolnya. Dalam waktu yang bersamaan, Melisa merasakan pijatan yang lembut dari Candra dan tekanan dari alat tersebut. 

Dirasa payudaranya sudah kosong, Melisa mematikan mesinnya, kemudian mengeluarkan kedua alat itu. 

"Masih sedikit, tapi lebih baik dari kemarin," kata Melisa.

"Kamu butuh ASI booster?" 

Melisa berpikir sejenak. "Kayaknya belum, deh, Mas. Kita lihat dulu keadaan si kembar."

"Ya udah, sini biar aku yang masukin." 

"Cuci tangan dulu, dong, Mas."

"Oh, iya." Candra masuk ke toilet untuk cuci tangan. Setelah itu, balik lagi dengan membawa botol susu serta kotak penyimpanan ASI dari nakas.

ASI hasil perah itu dijadikan satu dalam botol, lalu diberi tanggal dan waktu, baru dimasukkan ke dalam kotak penyimpanan.

"Wah, ternyata Mas masih inget!" puji Melisa, mencium pipi suaminya.

Pintu terbuka, menampakkan wajah suster yang kemudian mendatangi Melisa.

"Selamat siang, Bu, Pak! Saya mau memberitahu kalau Ibu dan Bapak sudah bisa menjenguk bayinya di ruang NICU. Ibu sendiri sudah bisa jalan ke sana?" 

"Oh, tentu saja bisa, dong, Sus!" seru Melisa. 

"Kamu pakai kursi roda aja, ya, Sayang," sela Candra. Namun, Melisa justru menatapnya tajam. 

"Aku udah bisa jalan, Mas. Lagian, deket, kok, ruangannya. Iya, kan, Sus?" 

"Iya, Bu. Ruangannya dekat." 

"Tuh!" 

Candra kalah akhirnya. Namun, dia melangkah di belakang Melisa. Sesekali berhenti supaya Melisa tidak kesakitan. Ketika masuk ke ruangan itu, ada dua orang suster dan dokter yang mengawasi dua bayinya. Seketika hati Melisa mencelus melihat bayi satu lagi dikelilingi alat-alat. 

"Bayi pertama sudah boleh disusui langsung, sedangkan yang kedua masih harus pakai botol dan susunya sudah ditakar sama suster sesuai kebutuhan. Itu harus habis, ya, Bu, supaya BB-nya cepat naik," jelas dokter. 

"Saya boleh gendong, Dok?" tanya Melisa. 

"Boleh, Bu. Justru bagus kalau dekat dengan ibunya." 

Suster lantas mengeluarkan bayi dari dalam sebuah kotak, lalu diserahkan kepada Melisa. Perempuan itu sudah duduk di kursi yang disediakan dengan pakaian setengah terbuka supaya kulitnya dan kulit bayi saling menempel. Melisa lantas menyadari badan bayi ini lebih kecil dari bayi pertama. 

"Sayang, ini mama. Selamat datang di dunia, Nak." Melisa menenangkan anaknya yang merengek. Setelah itu, menempelkan ujung dot ke mulut mungilnya. Tak lama, bayi itu mulai menghisap. "Pelan-pelan minumnya, ya. Mama nggak akan minta, kok. Semuanya buat adek."

"Yang satu lagi mau Bapak yang skin to skin?" tanya dokter pada Candra.

"Oh, bisa, Dok?" 

"Bisa, Pak. Biar suster bantu, ya." 

Candra lantas duduk di sofa, mulai bertelanjang dada. Kemudian, suster meletakkan bayi pertama di atas dada dan menyuruh Candra memeluknya. Setelah itu, suster dan dokter pergi. Sebelumnya menginstruksi Melisa dan Candra untuk menekan bel jika sudah selesai. 

Candra mulai mengelus kepala, juga punggung bayinya yang tertutup selimut. Saat bayi itu merengek, Candra menenangkannya. 

"Kok, mirip aku semua, ya, Ma?" 

Melisa melirik tajam, mencebik. "Nggak usah diperjelas!" 

Candra tersenyum, lalu mengecup singkat kepala anaknya. "Sayang, dia mulai jilat-jilat dada aku." 

Mendengar itu, mata Melisa melebar. "Itu tandanya dia minta susu, Yah. Ayah harus bangga karena sekarang anaknya udah bisa respons!"

Candra kembali mengelus kepala anaknya. "Anak ayah keren! Udah nggak sabar mau minum susu, ya?" 

"Sabar, ya, Sayang. Mama masih bantu minum susu adik," kata Melisa.

"Xavier namanya."

Melisa spontan mendongak ke arah suaminya. "Hah?"

"Yang sama kamu namanya Xavier, yang sama aku namanya Xabian. Xavier artinya bersinar, kalau Xabian artinya mudah dibimbing."

Melisa mengerjap. Padahal sama-sama dari Jawa, tapi nama anak bule semuanya. "Jangan bilang nama tengahnya gabungan nama kita lagi kayak Xania?" 

"Oh, iya, dong. Xabian Mecca sama Xavier Lindra. Nama belakangnya sama kayak namaku." 

Kali ini Melisa benar-benar takjub. Untuk nama anak, memang dirinya tidak ikut campur. Toh, saat memberi nama Xania Camelia, Melisa sangat suka. Lagi pula, nama kedua anak laki-lakinya tidak terlalu buruk. Malah cocok jika disandingkan dengan Xania.

"Oke, mama setuju. Sekarang kamu dipanggil Adek Xavier. Gantengnya anak mama. Gimana cara bedainnya, ya?" 

"Gampang, Sayang. Xabian rambutnya tipis, terus unyeng-unyengnya di tengah. Kalau Xavier rambutnya lebat, unyeng-unyengnya di sebelah kiri."

Melisa lagi-lagi takjub. Bahkan, Candra yang baru bertemu beberapa menit sudah bisa membedakan anaknya. "Ayah keren! Selamat karena udah resmi jadi bapak anak tiga yang mukanya mirip Anda semua! Mamanya cuma jadi tempat kos." 

Candra tersenyum lagi. "Walaupun mukanya mirip aku, semoga mereka jadi orang hebat kayak mamanya. Kita berjuang sama-sama, ya, Sayang." 

"Kita nggak akan jadi orang tua yang sempurna, tapi kita harus berusaha jadi orang tua terbaik versi kita."

02 Januari - 01 Agustus 2023

***

Ini foto keluarga Mamamel dan Ayahcan yang aku janjikan. Di sini Xania umur 5.5 tahun dan si kembar umur 4 tahun

ALHAMDULILLAH AKHIRNYA TAMAT!

Nggak tahu mau ngomong apa lagi, pokoknya makasih banyak buat yang udah bersedia baca, terus vote dan komen, terus kasih dukungan juga di KK. Alhamdulillah, aku seneng banget bisa deket sama kalian.

Oh ya, aku mau kasih alasan kenapa aku mau bikin season 3. Pertama karena di sini udah kebanyakan part, kalau buka work ini tuh luamaaa banget. Aku keburu nggak sabar. Terus aku pengen bagi2 keseruan Mbak Mel mengurus tiga anak yang jaraknya deket sekali 🤣

Tapiii, season 3 akan muncul setelah cerita Mas Ahsan, Gaes (Bisa lebih cepet tapi di Karyakarsa). Ya, kira-kira akhir tahun ini atau tahun depan. Alasannya biar kalian nggak kena spoiler kehidupan Mas Ahsan di season 3 Mbak Mel. Jadi alangkah baiknya aku publish duluan cerita Mas Ahsan. Nah ini aku kasih lihat cover sama judulnya.

Terus bakal up kapan kak? Setelah novelku yang judulnya Lengkara tamat ya, Gaes. Atau paling nggak udah setengah jalan lah biar aku nggak dikira PHP hehehe. Pokoknya follow aja akun ini biar nggak ketinggalan notifnya.

Terus jangan hapus cerita ini dari library dulu ya gaes karena aku masih mau kasih part bonus, tapi kalau lapak ini udah nyentuh angka 888k viewers. Makanya yuk bantu share cerita ini biar banyak yang baca.

Oh ya, aku mau tahu dong kesan-kesan kalian setelah baca cerita ini. Jujur aku takjub banget sama kalian yang kuat baca sampai 100 bab ini. Makasih banyak pokoknya. Maaf kalau aku masih banyak kurangnya 🙏

Akhir kata, terima kasih sudah menemukan cerita ini. Silakan dibaca sepuasnya sampai aku tiba-tiba unpublish sebagian 🥺

Sampai ketemu di season 3 dan cerita2ku selanjutnya 💃💃💃

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro