10 - Kabar
Sudah beberapa kali Sarina memandang foto di ruang pesan anaknya dua hari yang lalu. Di sana terlihat Candra sedang menggendong seorang bayi dengan kain warna pink yang Sarina yakini anak perempuan.
Bu, ini anak aku. Perempuan. Namanya Xania.
Ibu mau dipanggil nenek, eyang, atau mbah? Kalau mama katanya mau dipanggil nenek biar sama kayak cucu sebelumnya.
Menurut Ibu, Xania mirip aku atau Melisa?
Nanti pas syukuran Ibu mau datang, kan?
Hanya dibaca dan Sarina tidak berminat membalas. Untuk apa? Sejak kejadian itu, Sarina menganggap Candra sudah mati. Sarina membangun tembok tinggi dan tebal supaya anak itu tidak mudah masuk. Walau tak bisa dipungkiri, Candra nyaris tidak berhenti mengabarkan apa saja yang terjadi di hidupnya dan Sarina senantiasa membaca. Selain berpesan, Lala sering mengabarkan kalau Candra menyempatkan datang ke rumah. Sarina tahu tujuannya. Candra ingin bersua.
Harusnya Sarina bangga, bukan? Ia memiliki anak yang tetap berbakti meskipun sudah banyak luka yang dilewati. Candra tetap hadir meski Sarina memilih menyingkir. Candra tetap ingin masuk meskipun Sarina selalu melontarkan kata-kata menusuk. Kini mereka ibarat dua orang asing yang tidak pernah menorehkan bising.
Rumah jadi sepi setelah kepergian anak dan menantunya. Sunyi terasa setelah tidak ada seseorang yang memancing bicara. Kegiatan Sarina selama beberapa bulan ini tidak jauh dari makan dan tidur. Mengobrol dengan Lala pun tidak akan pernah bersatu. Sarina merasa kesepian.
"Bu, saya pulang dulu, ya."
Lala datang lalu membungkuk sebentar. Membuat Sarina mengalihkan pandangannya dari jendela kamar.
"Ada apa?" tanya wanita bersanggul itu.
"Ibu saya sakit, Bu. Katanya sekarang udah dibawa ke rumah sakit. Saya mau lihat dulu."
"Ya sudah. Sarto mana?"
"Eh, Pak Sarto masih nyuci mobil, Bu."
"Kamu bilang sama dia, kalau sudah selesai suruh menghadap saya."
Lala sudah mengerti kalau Sarina mencari Sarto, berarti wanita itu ingin pergi. Yang menjadi pertanyaannya sekarang, Sarina ingin pergi ke mana? Tidak mungkin kalau mau pergi menemui anaknya, kan?
Sayang sekali Lala tidak bisa ikut lantaran harus pergi ke rumah sakit sekarang.
Ada dua kabar bahagia hari ini. Pertama, Melisa dibolehkan mandi. Kedua, nanti sore dia dan Xania sudah boleh pulang. Untuk yang pertama, tadi perawat sudah melepas perban dan diganti dengan yang baru, infus juga sudah dilepas, lalu Candra yang membantunya di dalam kamar mandi. Melisa senang karena kini ia tidak mengenakan pakaian rumah sakit lagi.
Pengering rambut dimatikan. Di belakang, Candra menyisir rambut istrinya, sedangkan si empunya sedang sibuk memakai skincare sambil duduk di sofa.
"Kenapa kamu pakai itu?" tanya Candra saat Melisa mulai mengoleskan kuteks warna ungu di jarinya.
"Karena masih nifas. Aku mau keliatan cantik meskipun habis melahirkan."
"Itu aman?"
"Aman, Mas. Aku pernah pakai, lho, pas masih hamil. Kalau nggak aman, kan, nggak mungkin aku pake."
Beberapa menit kemudian, kesepuluh jari Melisa sudah berubah warna. Tampak cantik.
"Mau makan sekalian?"
Melisa menoleh ke arah box yang terletak di sampingnya. Xania juga sudah cantik berkat Ratna. Anak itu sekarang mengenakan warna serba pink, senada dengan mamanya. "Mau, Mas. Mumpung Xania lagi tidur. Aku laper banget."
"Mau disuapin?"
"Kalau yang ini, sih, nggak mungkin nolak. Kuteksnya juga belum kering, nih."
Candra tersenyum. Tangannya menarik meja dorong yang terdapat dua butir telur rebus, semangkuk sayur kangkung, dan satu buah apel. Pertama-tama, Candra membelah telur jadi empat bagian, dicampur dengan kangkung, barulah mengarahkan sendok ke mulut Melisa.
"Mas sampai kapan cutinya?"
Sebelum menjawab, Candra menyuapi yang kedua kali. "Sampai kamu benar-benar pulih. Mungkin sampai dua minggu," jawabnya. Dia pernah membaca beberapa artikel yang menerangkan tentang kondisi psikis ibu pasca melahirkan, terutama melahirkan secara Caesar darurat. Biasanya ibu yang mengalami itu akan merasa rendah diri, merasa dirinya bukan ibu yang baik karena tidak bisa melahirkan secara normal. Maka sejak pertama kali Melisa masuk ruang operasi hingga sekarang, Candra mencurahkan segala perhatian sebisanya. Pun Candra mengobrol hal ini dengan psikiaternya.
Candra sebisa mungkin menerima apa pun yang terjadi, baik yang kemarin maupun besok atau nanti. Demi Melisa, dirinya harus bisa berpikir jernih. Terjebak dalam ketakutan sama saja bunuh diri secara perlahan.
"Mas udah sarapan, kan?"
"Udah. Aku tadi makan burger di seberang rumah sakit. Tapi, aku nggak bisa beliin buat kamu karena kamu belum boleh makan junk food."
"Padahal aku udah kangen makan burger, kentang goreng, minum Coca-Cola sama es boba."
"Sabar, ya. Nanti kalau kamu udah sembuh, kamu boleh makan itu sepuasnya."
"Bener, ya, Mas?"
"Iya, Sayang. Tapi, syaratnya, makanan ini harus habis dulu."
"Oke."
Melisa membuka mulut, menerima suapan dari suaminya. Sejak hamil, dirinya sudah terbiasa makan sayur, buah, dan sedikit nasi. Apalagi waktu trimester dua harus mengejar berat badan. Bisa dibilang kehadiran Xania mampu mengubah pola hidup Melisa. Perempuan itu jadi rajin berolahraga, tidak begadang, dan makan teratur.
"Aku mau apelnya, dong, Mas."
"Oke."
Dengan sigap Candra meraih apel dan pisau. Ia belah menjadi delapan bagian. Melisa mengambil satu potong.
"Nanti aku pulang sebentar, ya. Mau ngecek kamar buat kalian besok."
"Kan, udah ada Mbak Ambar, Mas."
"Iya, aku tahu dan aku yakin Mbak Ambar bersih kerjanya, tapi nggak ada salahnya, kan, aku mau ngeliat langsung? Aku mau yang terbaik buat kamu dan anak kita."
Melisa mengulum bibir. Wajahnya memanas. "Mas, jangan bikin baper, deh. Aku lagi nggak bisa kasih jatah."
"Lho, emangnya kalo nggak bisa kasih jatah nggak boleh baper?"
"Biasanya juga gitu, kan. Ngomong bijak pasti ada maunya."
Candra menyuapi satu potong apel lagi. "Sst, nanti Xania denger."
"Denger juga belum ngerti. Lagian kalau ibu sama ayahnya seneng, anaknya juga ikutan seneng."
Seakan-akan tahu sedang dibicarakan, anak itu menendang selimut dan mulai merengek. Melisa tersenyum. Tanpa berlama-lama lagi, Melisa mengangkat tubuh mungil Xania di saat Candra menyingkirkan meja dorong. Seketika anak itu tenang setelah dipeluk mamanya.
"Nggak betah, ya, tidur di situ? Mau sama mama." Melisa mengecup pipi Xania.
Candra juga memperhatikan wajah anaknya. "Anteng banget kamu."
"Beneran duplikat bapaknya."
"Kan, masih bayi. Nanti tiga bulan lagi kayak kamu nggak bisa diem."
Ponsel milik Candra berdering singkat. Pertanda ada pesan baru yang masuk. Sang pemilik segera membuka pesan itu. Namun, setelahnya membeku.
Ibu: Ibu di rumah kamu. Tapi, ada laki-laki yang nggak izinin ibu masuk.
Laki-laki? Mungkin maksudnya pengawal Sintia. Mereka memang masih ada di sana dan sepertinya Hartanto tidak melihat kedatangan Sarina. Kalau melihat tidak mungkin melarang masuk.
"Kenapa, Mas?" Melisa menyadari perubahan wajah sang suami. Pasti pesan itu cukup mengejutkan Candra.
Candra menatap Melisa dan Xania secara bergantian. Hatinya rqgu mengatakan ini, tetapi tidak mungkin juga disembunyikan. Sarina sudah telanjur di sana.
"Ibu ada di rumah kita."
Hayoloh 🤣🤣🤣🤣
Nah, berhubung Mbah sudah muncul, aku punya penawaran menarik nih. Buat yang mau gabung ke grup WA bisa DM aku di wp atau save aja nomorku 085728978020 terus chat aja 'aku pembaca Ibu Negara' nanti aku save balik dan masukin ke grupnya.
Hari ini aku nggak bisa double update ya. Dari kemarin tanganku yang kanan sakit. Tadi pagi dibuat nyuci malah makin sakit. Makanya ini nulisnya lama soalnya pakai tangan satu wkwkwk.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro