09 - Orang Tua Baru
Inayah menyempatkan datang saat jam makan siang. Membawa banyak sekali bingkisan untuk Melisa dan bayinya. Katanya dari staf Yukata Books serta para penulis yang pernah disunting naskahnya oleh Melisa.
"Ini dari Pak Arya, ini dari Gusti, dari Echa, dari Lulu, Zara, Aulia, Rama, Wawan, yang ini dari aku." Inayah mengabsen satu per satu bingkisan itu. Di sekitar sisi ranjang Melisa kini penuh dengan barang. Semuanya terdapat kartu ucapan selamat dan doa.
"Tolong bilangin makasih ke mereka, ya, Nay. Nggak nyangka, lho, dikasih kado."
"Iya, mereka nggak mau datang ke sini karena takut ganggu kamu yang lagi masa pemulihan."
"Nggak apa-apa. Nanti biar aku undang mereka ke acara akikah aja."
Inayah memandang wajah temannya itu. "Kamu udah keliatan seger sekarang."
"Seger dari mana? Aku udah mau tiga hari nggak mandi. Badanku gatal semua."
"Luka operasinya gimana?"
"Masih nyeri, tapi nggak sesakit kemarin. Kalau kemarin kayak mau mati rasanya. Nay, pokoknya kalau bisa jangan SC. Rasanya nggak enak. Mau bangun harus dibantu, mau jalan susah, badan rasanya remuk semua. Nggak karuan, deh."
"Itu kamu jalan nggak apa-apa?" Jujur saja Inayah sedikit ngeri melihat Melisa jalan. Temannya itu seperti masih menahan sakit. Apalagi setelah mendengar curhatan barusan, Inayah tak bisa membayangkan kalau dirinya ada di posisi Melisa.
"Nggak apa-apa, kan, emang harus belajar jalan biar cepat pulang. Aku udah bosen di sini."
Sepertinya Melisa dengan rumah sakit tidak akan pernah akur. Walaupun diberi fasilitas bagus sekalipun, mendingan tiduran di rumah. Gerakannya terbatas kalau di sini. Pun kalau malam tidak bisa memeluk Xania.
Xania terlelap di box bayinya setelah diberi susu. Sama sekali tidak terusik dengan kebisingan orang dewasa. Melisa merasa usahanya saat masih di dalam perut cukup berhasil. Dia selalu berkata kalau sudah lahir nanti jangan rewel dan jadi anak yang baik.
Kalau bapaknya sekarang di mana? Candra sudah pergi dua jam yang lalu, mengurus akta kelahiran anaknya sebelum masa cutinya habis. Sebagai manusia yang hidup dengan keteraturan, Candra mau Xania segera mendapatkan haknya sebagai warga negara.
"Mel, Candra gimana setelah ada Xania?" tanya Inayah.
"Ya, kayak bapak-bapak pada umumnya. Suka ngeliatin Xania kayak kagum sama hasil kerja keras dia. Terus, ya, masa, semalam Xania digendong terus, katanya takut kedinginan. Padahal udah dikasih selimut, udah dibedong. Untung setelah mama ngomong, Mas Candra mau taruh Xania di box." Gara-gara ini, semalam sepasang orang tua baru ini hampir berdebat saking gemasnya. Bibit-bibit overprotektif Candra mulai bermunculan.
"Kok, aku ikutan gemes. Aku kalo jadi orang tua baru mungkin kayak gitu kali, ya."
"Iya, sih. Aku juga panik gara-gara ASI-ku masih sedikit. Aku takut kalau Xania kelaparan gara-gara aku, Nay."
Inayah lantas menggenggam tangan Melisa. "Mel, kamu baru berapa hari jadi ibu. Aku rasa wajar kalau masih begini. Tubuh kamu dan Xania sama-sama lagi adaptasi. Mendingan kamu jangan mikir yang aneh-aneh dulu. Kamu ikuti aja semua saran dari dokter. Kamu harus inget, nggak ada kesempurnaan yang diraih dalam waktu singkat."
Di saat seperti ini dukungan dari orang terdekat sangat dibutuhkan. Inayah memang belum pernah merasakan, tapi setidaknya dia berusaha untuk tidak akan mengeluarkan kata-kata yang memojokkan Melisa. Inayah tidak mau Melisa sampai terkena baby blues. "Kamu udah coba pumping belum?"
Melisa menggeleng. "Sebenarnya aku udah punya niatan apalagi dokter udah menganjurkan, tapi aku takut hasilnya sedikit, Nay."
"Coba dulu, Mel. Nggak apa-apa hasilnya sedikit. Kalau kamu lakuin setiap hari, pasti jadi banyak. Nah, kebetulan aku kasih kamu pumping ASI. Nanti jangan lupa dicoba, ya."
Tidak hanya Fyan dan Hartanto yang saling berebut, si kakak-beradik Yumna dan Yusna tidak bisa lolos dari pesona Xania. Sejak kedatangan mereka, Xania jadi bahan rebutan. Demi mereka berdua, Fyan dan Hartanto kembali mengalah.
Melisa senang-senang aja. Malah berterima kasih karena banyak yang membantu menjaga Xania. Ia sendiri belum bisa selincah Ratna atau Sintia. Luka bekas operasi masih menghalangi pergerakannya. Urusan memandikan Xania, bukan perawat lagi yang mengerjakan, melainkan kedua neneknya. Xania baru diserahkan ke ibunya kalau mau menyusui.
Sesuai dengan apa yang Melisa katakan sebelumnya, dia akan memberi Ratna waktu yang banyak untuk cucunya. Untuk sekarang biarlah Xania menjadi milik keluarganya. Kalau mereka sudah sibuk dengan kegiatan masing-masing, pasti akan sulit bertemu.
"Nggak boleh dicium, ya. Baby masih rentan. Jangan digoyang-goyang juga. Kamu timang-timang aja." Sintia terus memperingati kedua anaknya.
"Iya, Mami," balas Yusna.
"Yusna, ayo, gantian!" seru Yumna.
"Tunggu sebentar, Kak. Aku belum selesai."
"Ih, kamu udah lama! Ayo, Yusna!"
"Sini, sini, biar sama mami aja." Akhirnya Sintia mengambil Xania dari pangkuan Yusna, kemudian meletakkan Xania di box. "Besok lagi, ya. Xania biar tidur dulu."
"Yaah, aku belum gendong, Mami," protes Yumna.
"Tadi kamu sudah, Sayang. Besok lagi, oke?"
Yumna memajukan bibirnya.
"Kamu mau punya adik lagi, Yumna?" seloroh Hutama.
"No, Papi!" jawab Yumna dan Yusna serempak. Untuk yang satu ini mereka sangat kompak. Selain karena kedua orang tuanya sudah tua, mereka tidak mau menambah saingan lagi. Yumna merasa satu adik sudah cukup, begitu juga dengan Yusna, memiliki kakak seperti Yumna sudah membuatnya pusing.
"Persis kayak Ahsan dulu. Dia paling kukuh nggak mau punya adik lagi, malah Melisa muncul," kata Hartanto.
Candra mengelus telapak tangan Melisa, juga sempat menyentuh pipi gembul Xania. Mungkin kelihatannya lengkap, semuanya mengumpul demi menyambut anggota keluarga baru. Namun, tetap saja dia masih merasa ada yang kurang.
Kehadiran ibunya.
Wajar, kan, kalau di momen penting ini, Candra ingin Sarina hadir? Candra ingin Sarina melihat bagaimana dirinya menjadi orang tua baru. Selama ini dia tidak diam. Dia terus berusaha mengetuk pintu hati ibunya. Akan tetapi, Sarina bagai dinding kokoh. Sulit untuk ditembus.
Ketika satu per satu anggota keluarganya pulang, saat di ruangan ini hanya tinggal bertiga, Melisa menyadari perubahan wajah sang suami. "Mas kenapa? Capek?"
Candra menggeleng. "Nggak, Sayang. Aku cuma inget ibu."
Melisa tertegun. Apa yang dilakukan Sarina sekarang berhasil menyisakan ruang kosong di hati anaknya. Merasakan sepi di keramaian sangat tidak enak. "Yang sabar, ya, Mas. Nanti ibu pasti mau, kok, ketemu sama Mas. Apalagi udah ada Xania sekarang. Aku jamin ibu pasti nggak akan bisa berpaling dari anak kita."
Candra melihat istrinya tersenyum. Tidak salah memang, tetapi reaksi itu justru menimbulkan sebuah pertanyaan. "Mel, setelah apa yang ibu lakukan ke kamu, kenapa kamu masih kepikiran kayak gitu?"
"Ya, karena ibu tetep keluarga kita, Mas. Nggak ada yang bisa memisahkan hubungan ibu dan anak, kecuali kematian. Jadi, selama ibu masih di sini, Mas masih punya harapan."
Tidak ada kata-kata yang diucapkan, Candra memilih mencium pipi istrinya. "Kalau kamu lagi bijak begini, rasanya aku mau makan kamu."
Melisa menjauhkan wajahnya dari jangkauan Candra. "Inget, Mas, puasa tiga bulan."
Candra ingin membuka mulut, rengekan dari Xania terdengar. Dialah yang menghampiri box bayi, mengecek bagian bawah. Kering, berarti Xania butuh asupan dari ibunya. Memang ini waktunya minum susu.
"Ayo, Mas, diangkat anaknya. Nanti keburu nangisnya kenceng."
"Aku nggak berani, Sayang."
"Ya, terus gimana, dong? Tadi Mas, kan, yang nyuruh mama pulang dulu. Aku nggak mungkin turun lagi, Mas. Sakit tau. Sekarang mau nggak mau Mas berani."
Dengan terpaksa, Candra menyingkirkan perasaan cemasnya. Ia pegang leher dan pantat Xania, mengangkatnya pelan-pelan. Melisa sudah menyusun bantal di dekat perut, siap menerima tubuh mungil anaknya.
"Sini, sini, sama mama." Melisa mengambil Xania pelan-pelan. Ketika berhasil didekap, tangis anak itu perlahan mereda. Melisa mulai mendekatkan putingnya ke mulut Xania. "Nanti Ayah yang sendawain, ya."
Candra mengerjap. Baiklah, perjalanannya sebagai orang tua baru akan dimulai malam ini.
Sebenarnya aku udah pernah cari nama buat Xania, tapi ternyata nggak kesimpen wkwkwk. Terus, aku buka WA, ada kontak temenku namanya Camel, lah kok kebetulan gabungan nama Melisa sama Candra, dipake deh 🤣
Ini aku masih mau menawarkan grup gibah lagi wkwkwk. Aku sebenarnya udah bikin grup WA dan kayaknya paling mudah dan paling banyak yang pakai WA. Kalau kalian mau gabung, aku kasih linknya nih, copas aja. Atau besok aku taruh di profil.
https://chat.whatsapp.com/EQR6xX9qMmgIvm6rIwsvPF
Terus rencananya aku mau bikin spesial part lagi. Kali ini aku lagi andai2 kalau Melisa sama Sarina damai lagi ngurus Xania. Ada yang mau baca nggak?
Btw, siapa yang baca jam segini?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro