Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

08 - Resmi Bertiga

Tangisan pertama Xania Camel Putri terdengar nyaring memenuhi ruangan bernuansa hijau itu. Suara yang kini mengubah status Candra dan Melisa. Suara yang mampu menggetarkan hati seorang laki-laki yang dulunya tidak ingin punya anak. Sanggup merontokkan rasa letih dan cemas yang beberapa jam lalu dirasakan. Ketika dokter memberitahu Melisa memungkinkan melakukan inisiasi menyusui dini di ruangan itu, Candra dibuat takjub saat melihat Xania berhasil menemukan sumber makanan pertamanya setelah dua puluh menit diletakkan di atas dada ibunya. Bahkan, Candra bisa mendengar dengan jelas bayi itu sedang menghisap, menelan, dan bernapas. Tidak bisa menjelaskan perasaannya dengan kata-kata.

Sekitar pukul empat sore, Melisa dipindahkan ke ruang rawat inap bersama dengan Xania. Candra sendiri yang memilih kamar VVIP dengan fasilitas yang memadai. Di mana terdapat satu buah bed untuk pendamping, satu buah sofa panjang, lemari untuk menyimpan perlengkapan, kamar mandi, satu ruangan untuk menerima tamu, dan televisi yang menghadap ke arah ranjang pasien.

Melisa yang masih terbaring setengah duduk di ranjang memperhatikan Candra yang berhasil memangku anaknya setelah diajari oleh Ratna. Suaminya duduk di sofa dengan mata terus memandangi wajah Xania. Seolah-olah kini pria itu sedang mengagumi makhluk kecil di pangkuannya. Hari ini, mereka resmi bertiga. Xania adalah pelengkap hidup kedua orang tuanya.

"Hidungnya mirip aku. Mulutnya juga." Dengan hati-hati Candra menyentuh pipi anaknya. "Kayaknya mirip aku semua."

"Kalo mirip tetangga bahaya, dong," balas Melisa.

Candra merespons dengan senyuman. Ia menunduk, mengecup pipi Xania yang matanya terpejam. Masih tidak percaya manusia mungil yang selama ini ia ajak bicara dari luar perut, kini bisa dipeluk, bisa disentuh.

"Mama bilang apa, pasti mirip ayahnya." Ratna bersuara.

Melisa tersenyum tipis. "Iya, Ma. Aku cuma jadi tempat ngekos."

"Kamu kebagian, kok, Sayang. Rambutnya mirip kamu, tapi dia lebih tebel." Candra mengelus ubun-ubun Xania hingga topinya tersingkap.

"Rambut doang. Eh, tapi, panjang badannya tadi berapa, Mas?"

"Lima puluh satu."

"Alhamdulillah! Setidaknya tinggi badan ngikutin bapaknya. Nggak apa-apa, deh, kalau mukanya mirip."

Si kecil mulai menggeliat. Mulutnya bergerak mencari sesuatu. Rengekan kecil terdengar setelah itu. Candra lantas berdiri. "Sayang, kayaknya Xania haus lagi."

"Ya udah, bawa ke sini." Melisa menatap Ratna. "Ma, minta tolong pasangin bantalnya, dong."

Ratna kemudian mengambil bantal menyusui, diletakkan di perut anaknya. Baru setelah itu, Candra berjalan mendekati ranjang Melisa.

"Maaf, Ma, bisa minta tolong pindahin Xania? Saya masih takut."

"Ya udah sini." Ratna mengambil tubuh Xania. Kemudian, diletakkan di atas bantal tadi pelan-pelan. "Udah nyaman?"

"Udah, Ma."

Anak itu tenang lagi setelah berhasil melahap makanannya. Kini, giliran Melisa yang mengagumi rupa sang anak. Memang benar, Xania mewarisi sebagian besar paras ayahnya dan Melisa hanya kebagian rambutnya.

"Sayang, aku pulang dulu, ya. Mau taruh tas, ganti baju sama ngubur ari-ari Xania. Kalau udah selesai, aku ke sini lagi," kata Candra.

Melisa mengangkat kepalanya. "Iya, Mas."

"Kamu nggak apa-apa, kan, aku tinggal sebentar?"

"Nggak apa-apa. Lagian, ada mama sama mami juga nanti. Mas nggak usah khawatir."

Candra mendekat, lalu mencium dahi istrinya. "Makasih, Sayang. Kamu hebat."

Kedua sudut bibir Melisa terangkat. Kata-kata barusan cukup menenangkan hatinya.

Keesokan harinya, Melisa sudah bisa miring ke kanan-kiri dan bisa duduk setelah diberi arahan oleh suster. Nyeri bekas sayatan tidak begitu terasa usai diberi obat pereda. Sejauh ini tidak ada keluhan selain nyeri. Dokter pun menganjurkan untuk belajar jalan. Kateter pun telah dilepas.

Semalam Xania begitu tenang. Dia akan menangis kalau merasa haus atau basah. Candra merasa dunianya berubah dalam sekejap. Biasanya dia terbangun karena harus terbang, sekarang beda lagi urusannya.

"Mau mulai sekarang?"

"Iya, Mas."

Candra menyibak selimut, kemudian menurunkan kaki Melisa satu per satu. Tangannya memegang pinggang Melisa saat turun dari ranjang. Melisa bisa berdiri dengan tangan memegang tiang infus. Melisa mulai menggerakkan kaki kanan, lalu kaki kiri. Begitu terus. Candra mengikuti di sampingnya. Jujur, dirinya masih takut Melisa tiba-tiba terjatuh lalu jahitannya terbuka.

"Sakit nggak?" tanya Candra.

"Nyeri sedikit, Mas. Tapi, nggak apa-apa, aku masih bisa tahan. Kan, emang harus dipaksa biar cepat pulih."

Satu kecupan dari Candra mendarat di pucuk kepala Melisa. Sangat bangga dengan perjuangan wanita di sisinya ini. "Udah? Apa masih mau jalan lagi?"

"Udah dulu, deh. Nanti belajar pipis di kamar mandi, ya, Mas."

Candra mengiakan.

Melisa sudah kembali duduk ke ranjang. Bersamaan dengan pintu terbuka lebar. Sosok Hartanto dan Fyan muncul beberapa detik setelah itu.

"Mana keponakan aku?"

"Mana cucu papa?"

Anak dan ayah itu kompak mencari Xania. Candra dan Melisa sempat melongo. Baiklah. Mulai hari ini mereka harus rela anaknya dijadikan rebutan.

"Papa sama Abang udah cuci tangan belum?" tanya Melisa.

"Udah. Abang malah udah mandi sebelum ke sini," jawab Fyan.

"Papa juga," timpal Hartanto.

"Gantian, ya. Jangan rebutan."

"Papa dulu kalau gitu."

"Aku dulu, Pa." Fyan protes.

"Anak muda harus ngalah sama yang lebih tua."

"Nah, karena Papa udah tua, Papa nggak boleh lama-lama gendong bayi."

"Mana bisa gitu? Walau udah tua, Papa masih kuat."

"Pokoknya--"

"Abang, Papa," lerai Melisa. "Lima menit buat kalian."

"Sepuluh menit, ya?" tawar Fyan.

"Lima menit. Aku hitung pakai timer."

Fyan-lah yang lebih dulu mengambil Xania dari box bayi. Melisa menghidupkan timer di ponselnya. Namun, belum sampai lima menit, Xania yang tidak nyaman mulai merengek. Fyan merasa kecewa lantaran keponakannya menangis kencang padahal belum selesai. Mau tidak mau Fyan menyerahkan bayi itu ke ibunya.

"Abang sama Papa balik dulu sana. Xania mau susu."

Fyan dan Hartanto mendesah kecewa. Gagal sudah menimang Xania.

Melisa menepuk pelan pantat Xania agar tenang. Meminta bantuan sang suami menyusun bantal di perutnya. Xania berangsur tenang usai bertemu dengan sumber makanannya.

"Itu yang tadi gendong kamu namanya Om Fyan, Sayang. Nanti kalau ketemu lagi, jangan nangis lagi, ya." Melisa mengajak anaknya bicara. "Nah, Om Fyan itu punya kembaran, namanya Om Ryan. Tapi, sekarang Om Ryan nggak ada di sini. Om Ryan lagi sekolah di luar negeri. Terus, selain Om Fyan dan Om Ryan, Xania punya satu Om lagi, namanya Om Ahsan. Xania juga punya tante. Namanya Tante Yumna dan Tante Yusna. Orang yang sayang sama Xania ada banyak. Nanti kalau Xania udah ngerti, jangan nakal, ya, sama mereka."

Senyum di bibir Candra terbit melihat interaksi itu. Saking senangnya, Candra sampai menghadiahi ciuman di kepala anaknya. Sampai Xania menggeliat.

"Jangan diganggu, Ayah."

Candra mengerjap, panggilan itu terasa asing, tapi sukses mengguncang dadanya. Ia baru sadar mulai hari ini ada satu sematan di bahunya selain bar pangkat yang selama ini melekat.

Menjadi ayah dan resmi bertiga adalah hal yang tidak pernah terpikirkan dalam rencana hidupnya.


Kita happy-happy dulu ya, Bestie. Kita sambut anggota baru 🎉🎉🎉

Bacanya sa-ni-ya ka-mel

Pokoknya happy dulu sekarang. Cuma kalau kalian kangen huru-hara, kalau aku kasih jangan marah lho 🤣

Ada yang mau double update nggak? Kalo mau spam komen sebanyak-banyaknya. Habis update Konjungsi Rasa aku ke sini lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro